anna1812
TS
anna1812
Misteri Suara Gamelan di Pos Samarantu, Simak Kisahnya!


Hai, Gansis? Apa kabar hari ini? Moga selalu sehat dan dilimpahi rahmat oleh Yang Maha Kuasa, ya. Aamiin.

Jujur ane baru pertama kali bikin cerita horor. Kalau pengalaman, sebenernya pernah beberapa kali, sih. Cuma beda latar. Jadi, cerita yang ane bikin di bawah ini hanya fiksi semata. Apabila ada kejadian dan tokoh yang sama, itu hanya kebetulan belaka.

***

Segala perlengkapan mendaki telah disiapkan. Kami memilih lewat jalur Bambangan, Desa Kutabawa, Purbalingga. Menurut cerita salah satu teman yang sudah pernah menaklukan puncak Surono--nama puncak Gunung Slamet--jalur ini adalah jalur paling cepat untuk sampai ke sana. Aku yang baru pertama kali mendaki Gunung Slamet pun dinasehati hal-hal yang dilarang pada saat naik nanti. Salah satunya adalah jika mendengar suara gamelan, tidak usah dibahas. Terdengar aneh memang. Mana ada gamelan di tengah hutan. Tapi kami tetap meng'iyakan'.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat jam, aku, Wiwit, dan Tyas tiba di basecamp Bambangan. Kami numpang salat dan istirahat sebentar. Setelah itu, melanjutkan perjalanan mumpung hari masih terang.




Butuh waktu hampir dua jam untuk sampai ke pos 1. Jalur yang kami lewati berupa jalan setapak. Sisi kanan kiri jalan adalah perkebunan warga. Pemandangan hijau yang terpampang menyejukkan mata. Kicauan burung--entah burung apa--menjadi teman perjalanan kami. Embusan angin membelai wajah. Sesekali kami berhenti mengamati sekeliling. Ada beberapa gubug kecil sebagai warung tempat warga menjual makanan dan minuman hangat.

"Lo udah cape belom, Yas?" Aku menoleh ke arah Tyas yang berdiri di samping Wiwit. Dia cewek satu-satunya yang selalu setia ke mana pun aku muncak. Sahabat sejak SMP yang berpenampilan tomboy.

"Elah, ngece! Kek gak tau gue aja, lo, Bro!" sahutnya penuh percaya diri. Wiwit hanya tertawa lebar mendengarnya.

"Ya udah. Kuy, lanjut! Ntar keburu gelap nyampe di pos 4. Pos yang katanya menyimpan sejuta cerita mis--." Spontan kubekap mulut Wiwit.

"Ngomongnya direm dikit, jangan sembarangan. Kalo kejadian, nyaho, lo!" lirihku di cuping telinga dia yang tertutup penutup kepala. Lalu kulepas bekapan di mulutnya.

Wiwit mengatur napas. Pengap barangkali. Ah, bodo amat. Dia memang suka kelepasan. Di tempat seperti ini, sudah selayaknya jaga ucapan. Walau yang dia katakan mungkin suatu kenyataan.

Setelah menenggak beberapa teguk air mineral, kami menyeret langkah kembali. Menyusuri setapak demi setapak yang sudah tidak mulus lagi.
Satu jam setengah terlewati dengan aman hingga kami tiba di pos 2. Di sini, pepohonan sudah mulai rimbun dengan pohon pinus mendominasi. Jaket tebal yang kupakai cukup membantu melindungi tubuh dari dinginnya udara yang mulai menusuk.

Kami terus melangkah. Jalan bebatuan yang lumayan licin, membuat harus ekstra hati-hati kalau tidak mau tergelincir. Langit sore masih menyajikan keindahannya. Suara daun-daun yang bergesekan tertiup angin, menambah suasana sedikit mencekam. Ketika tiba di tanah agak lapang, kami berhenti. Memakan bekal dan melakukan kewajiban sebagai seorang muslim. Setelah dirasa cukup, kami lanjutkan perjalanan.

Satu jam telah terlewati. Kami telah tiba di pos 3 yang merupakan percabangan jalur via Pemalang. Di sini, hutannya cukup luas dengan medan tanah. Jalan yang berkelok-kelok dan mulai menanjak, membuat napas sedikit terengah.

"Berhenti bentar, donk. Gue haus, nih!" Wiwit yang berada paling belakang berteriak.

"Yas, istirahat dulu, deh," seruku pada gadis berkerudung biru di depan sana.

"Oke," sahutnya, lalu segera duduk di bawah pohon yang cukup besar. Aku mendekat. Disusul Wiwit dengan napas terengah.

Kami berbincang sambil menikmati kopi panas yang disimpan dalam termos kecil. Beberapa makanan ringan pun telah berpindah ke perut. Langit sudah hampir gelap. Ketika akan meneguk kembali cairan hitam itu, ekor mataku menangkap sekelebat bayangan dari sisi kiri.

"Gaes, jalan lagi, yuk. Udah cukup, kan minumnya?" Aku membereskan peralatan minum dan menyimpannya kembali, lalu segera bangkit. Menepuk beberapa kali celana bagian belakang.

"Ayolah. Kita harus cepet, nih. Ntar keburu gelap nyampe di pos 4." Tyas menimpali.

Wiwit yang sedang berdiri memindai sekeliling pun menyahut, "Kalo nyampe sana udah keburu gelap, gimana? Lanjut apa masang tenda, nih? Gue ada firasat gak baek, Gaes."

"Liat ntar, deh. Kalo menurut nasehat kakak senior di basecamp tadi, sih, baiknya lanjut aja," cetusku, mengingat pos itu terkenal akan kemistisannya. Dan bayangan yang kulihat tadi ... ah mungkin hanya halusinasiku saja.

Kami bergegas meninggalkan pohon besar tempat berteduh tadi. Medan kian berat dirasa. Tapi kaki harus terus melangkah. Kurasakan seperti ada yang memperhatikan. Mempercepat langkah walau agak kepayahan. Ditambah beban yang kugendong di kedua bahu.
Dari jarak kurang lebih 300 meter, papan plang pos 4 sudah terlihat di depan sana.




Langit telah gelap ketika kami tiba di pos 4 ini. Pos Samarantu, yang artinya hantu yang samar. Pos yang konon adalah gerbang menuju alam gaib. Memang, ada dua pohon besar bersisian yang sekilas layaknya pintu gerbang. Pohon-pohon besar dengan akar menggantung, langsung menyambut pandangan begitu kami masuk. Menambah suasana makin menyeramkan. Menurut cerita, banyak pendaki yang diganggu di sini.


"Aaw!" Suara Tyas mengagetkanku yang tengah mengamati sekeliling. Kulihat tubuhnya ambruk.

"Lo kenapa, Yas?" Aku dan Wiwit segera mendekat, lalu membantu Tyas berdiri.

"Seperti ada yang nendang kaki gue, Bro," jawabnya seraya berusaha berdiri. Jalannya terpincang-pincang.

"Ah, perasaan lu aja kali." Wiwit menyahut.

"Beneran. Masa gue bohong," seru Tyas sambil meringis menahan sakit.

Bayangan itu berkelebat lagi. Firasatku tidak enak. Mau melanjutkan perjalanan, tapi ragu melihat kondisi Tyas. Samar-samar telingaku menangkap suara gamelan. Kadang dekat, lalu menjauh lagi.

"Lu denger gak, Gas? Kaya ada suara gamelan. Kok aneh, ya? Di tengah hutan gini, loh." Wiwit bersuara yang langsung kuberi isyarat meletakkan telunjuk di bibir supaya diam. Dia lupa atau bagaimana. Padahal sudah diingatkan akan hal itu sebelum naik.

Aku menoleh ke arah Tyas. Ada kegelisahan terpancar dari wajahnya yang tersorot headlamp yang kupakai.
Kutepuk pelan bahunya, sebagai isyarat bahwa semua akan baik-baik saja.

Tiba-tiba dari arah depan ada bayangan hitam tinggi besar mendekat. Spontan kutarik lengan Wiwit dan Tyas untuk menjauh. Tyas terpincang-pincang karena kakinya belum pulih benar. Kami terus berlari, menerobos semak belukar, menembus pekat malam. Suara burung hantu menyapu gendang telinga, membuat bulu kuduk berdiri. Beberapa kali kakiku tersangkut sesuatu entah apa. Tubuh limbung hingga pegangan tanganku terlepas.

"Gas! Bagas! Lo di mana?" Itu suara Tyas. Aku bisa mendengarnya, tapi tak kulihat kerlip dari headlamp yang dia pakai.

"Gue di sini, Yas! Tyaas!" Suaraku menggema di antara bunyi binatang malam di hutan menyeramkan ini.

"Bagaas!" Tyas masih memanggil. Namun, di mana dia?

Shit! Ada apa dengan mataku?

Aku masih mengucek mata berkali-kali ketika tiba-tiba sebuah tangan dingin menepuk bahu. Seraut wajah rusak berlumuran darah yang sebagian tertutup rambut, tepat berada di hadapan manakala aku menoleh. Tubuh mendadak kaku, ingin berteriak tapi tak ada suara yang keluar. Merapalkan do'a-do'a dalam hati. Hanya itu yang mampu kulakukan.

Detik berlalu. Kupejamkan mata. Memasrahkan segalanya pada Tuhan. Namun, tiba-tiba ada tangan yang menyeretku.

"Syukurlah, akhirnya gue bisa nemuin lo. Ayo, Gas. Kita harus cepet pergi dari sini!"

Kubuka mata. Sedikit tak percaya dengan yang ada di hadapan. Kurasakan tubuh juga telah kembali normal. Makhuk yang tadi di depan mata pun telah hilang. Lalu tanpa babibu, segera ambil langkah seribu sebelum makhluk menyeramkan itu kembali menampakan diri.

"Wiwit mana, Yas?" tanyaku dengan napas terengah setelah berlari cukup jauh dari tempat tadi.

"Gue kehilangan jejaknya, Gas. Gue udah cari ke mana-mana tapi gak ketemu. Waktu lo jatuh tadi, gue masih liat dia. Selanjutnya gue gak tau dia ke mana." Ada penyesalan dalam nada bicaranya.

"Ya udah, habis ini kita cari bareng-bareng. Terus, kaki lo? Kok bisa buat lari? Emang udah gak sakit, Yas?" Aku menoleh ke arah kakinya.

"Gak, Gas. Waktu gue nyariin lu berdua, gue ketemu sama kakek-kakek. Dia yang nyembuhin kaki gue. Dia juga yang bantuin nunjukin keberadaan lu."

Aneh sekali. Lalu mengapa kakek itu tidak sekalian menunjukan di mana Wiwit berada?

Kami terus berlari. Sesekali berhenti, mengatur napas. Lalu berlari lagi sambil memanggil-manggil Wiwit. Hingga kami kelelahan, tidak ada tanda-tanda atau petunjuk keberadaan Wiwit.

Kami memutuskan mendirikan tenda demi memulihkan tenaga untuk melanjutkan pencarian besok pagi. Membuat perapian untuk menghangatkan tubuh. Aku berjaga di luar. Sesekali mata terpejam karena kantuk yang mendera.




Pagi menjelang. Kami bergegas melanjutkan pencarian setelah menelan beberapa potong roti dan meneguk air mineral sisa cuci muka dan gosok gigi.

Di tengah perjalanan, kami bertemu beberapa pendaki yang turun. Mereka bercerita bahwa di pos 6 ada sesosok mayat laki-laki di bawah pohon besar. Diduga dia adalah pendaki yang tersesat. Ciri-ciri yang mereka sebutkan, mirip sekali dengan Wiwit.

"Sekarang mayat itu sedang dibawa turun oleh tim penolong, Bang." Salah satu dari mereka memberi informasi.

"Oke, tengkyu infonya, Kak. Ayok, Yas. Kita harus cepat ke sana," ajakku pada Tyas yang masih tertegun.

Kami mempercepat langkah ke pos yang dimaksud. Tak peduli dengan tatap heran para pendaki itu. Harus kupastikan, bahwa mayat yang mereka temukan itu bukanlah Wiwit.

Namun, ekspektasi tidak sesuai kenyataan. Tulang di tubuhku seperti dilolosi manakala netraku menatap jaket yang melekat pada mayat di depan sana. Tyas ... dia tak ubahnya denganku. Kulihat tubuh berbalut jaket biru itu gemetar menahan tangis. Segera kuraih bahunya dalam dekapan.

Jenazah itu adalah Wiwit. Teman seperjuangan yang beberapa jam yang lalu masih berbagi tawa denganku dan Tyas. Masih terngiang segala kekonyolan yang dia perbuat. Juga sifat sedikit keras kepalanya. Sekarang semua itu tinggal kenangan yang tersimpan abadi dalam memori.

Menurut juru kunci Gunung Slamet, bunyi gamelan yang kami dengar kemarin malam adalah sebagai tanda sedang terjadi pernikahan gaib. Dan Wiwit yang kelepasan membicarakannya, harus menjadi salah satu pengiring pengantin pada upacara gaib itu.

Selamat jalan, Kawan. Semoga kau tenang di sisi-Nya. Aamiin.

Tamat

Cilacap, 29 September 2019
Diubah oleh anna1812 29-09-2019 14:20
zafinsyurganona212p0cahontas
p0cahontas dan 34 lainnya memberi reputasi
35
7.5K
109
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan