- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Perjalanan Kebatinan Seorang Mei Kartawinata


TS
dewaagni
Perjalanan Kebatinan Seorang Mei Kartawinata
Perjalanan Kebatinan Seorang Mei Kartawinata
17 Januari 2020 , 19:46
Mei Kartawinata. Ist/dok

https://www.validnews.id/Perjalanan-...rtawinata-Jpv
sudah saatnya agama asli kita diakui
17 Januari 2020 , 19:46

JAKARTA – Kamis Kliwon, tanggal 16 September 1927, di sebuah rumah di pinggiran hutan kampung Cimerta, Subang, Purwakarta, Mei Kartawinata bersama dua sahabatnya M. Rasyid dan Sumitra tengah berbincang hangat. Kala itu, mereka bertiga ditemani Sukinah, istri Mei, sembari menggendong Mariam, anaknya yang masih berusia 40 hari.
Membahas tentang kehidupan dan ilmu kebatinan, sudah menjadi kegiatan rutin mereka bertiga. Namun, tidak seperti biasa, percakapan mereka kala itu menjadi sedikit panas, ketika Rasyid memaksa menurunkan ilmu kanuragan kepada Mei Kartawinata.
Mei menolak dengan santun. Karena bagi dia, keselamatan diri tidak harus digapai dengan memiliki ilmu kekebalan tubuh. Keselamatan menurutnya tergantung dari tekad, ucap dan lampahnya (tingkah laku) sendiri.
Penolakan itu membuat Rasyid geram, mengingat hal itu ternyata sudah berulang kali terjadi. Merasa diremehkan, Rasyid merebut Mariam dari pelukan ibunya, kemudian melemparnya dan pingsan. Mei juga dicurigai Rasyid memiliki ilmu yang selama ini disembunyikan.
Tapi, Mei sabar dan menahan emosi. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Bayinya digendong dan diletakan di atas kakinya yang bersila. Putrinya didoakan, diusap dan ditiupnya ubun-ubun. Tidak disangka, bayi itu langsung menangis kemudian, perlahan sadar dari pingsannya.
"Itulah bukti kuasa, perlindungan dan kasih sayang Tuhan Yang Maha Esa kepada makhluk-Nya," kata Mei, dikutip dari Buku "Riwayat Hidup Bapak Mei Kartawinata", karangan Drs. Adjum Djoenaedi.
Di situ, kesabaran Mei memang diuji oleh sahabatnya sendiri. Tak ingin adanya pertikaian, mereka bertiga saling menahan diri dan memilih untuk beristirahat, lantaran hari telah larut. Di tengah lelap, jelang tengah malam, satu keanehan terjadi. Tubuh Mei Kartawinata disinari cahaya terang. Kejadian itu sempat dilihat istri dan dua sahabatnya.
Rasa penasaran Rasyid semakin meningkat. Mei dibangunkan dan kembali berdebat tentang kanuragan. Mei menghindar dan kabur ke hutan, kemudian dikejar oleh Rasyid dan Sumitra. Tanpa sadar, matahari sudah memancarkan sinarnya. Sekiranya pukul 12 siang, Mei bersembunyi di sisi Sungai Cileuleuy, Kampung Cimerta yang berada di wilayah Subang, Purwakarta.
Ketika menenangkan diri dan beristirahat, Mei menatap aliran air Sungai Cileuleuy. Dari tatapan mata yang dalam hingga masuk ke dalam sanubarinya. Dia pun dikejutkan oleh “Suara Pitutur” atau nasihat yang kemudian dikenal dengan istilah “Wangsit“.
Merujuk buku Boedi Daja yang digitalisasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, wangsit itu berisi sebuah nasihat tentang perjalanan dan jasa "Sang Air" kepada sesama makhluk, sebelum kembali lautan. Wangsit itu kemudian dijadikan oleh Mei Kartawinata sebagai Ajaran Kebatinan Perjalanan (AKP).
Kata "perjalanan" dipilih karena mengandung makna filosofis. Hal ini berdasarkan pada pengamatannya terhadap ‘perjalanan’ air sungai yang mengalir menuju hilir. Dalam perjalanannya, air memberikan banyak manfaat bagi kehidupan. Tak hanya untuk manusia, namun juga bagi hewan dan tumbuhan.
Nilai itu yang kemudian diadopsi oleh Mei dalam mengembangkan ajarannya. Ia mantap meresapi hakikat bahwa setiap manusia harus memberikan manfaat bagi alam sekitar, sebelum perjalanan hidupnya berakhir.
Wangsit yang diterimanya juga dituliskan menjadi sebuah buku berjudul "Katineung", disampaikan dalam bentuk Pupuh (puisi/pantun dalam Bahasa Sunda), sebanyak 17 buah, sesuai dengan tanggal penerimaan wangsit.
Seperti diketahui, AKP erat kaitannya dengan kepercayaan Sunda Wiwitan. Karena itulah, penerimaan wangsit kepada Mei Kartawinata menyadarkan kembali kepercayaan tatar Sunda kepada wangsit yang sebelumnya sempat hilang.
Agama-agama leluhur orang Sunda sendiri memang begitu menghormati alam sebagai pusat kosmologi adat dan kepercayaan paling signifikan. Bagi para penghayat kepercayaan, alam semesta adalah tempat belajar dan menghayati segala keteraturan. Gunung, lembah, air, api, tanah, angin dan segala mahluk hidup diyakini menjalankan kodratnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia.
Tak heran jika pada akhirnya, Mei Kartawinata meletakkan alam sebagai "kitab suci". Menurutnya, alam adalah kumpulan tulisan Tuhan yang tidak bisa dibuat oleh manusia, berlaku universal, dapat dipelajari oleh semua makhluk tanpa membedakan usia, agama, bangsa, ras maupun gender.

Merujuk hasil penelitian dari jurnal Universitas Islam Negeri Gunung Djati, milik Ilim Abdul Halim, Ajaran Kebatinan Perjalanan (AKP) ini, bisa dikatakan sebagai aliran kepercayaan Agama. Sebab, unsur-unsur agama terdapat dalam Aliran Kebatinan Perjalanan itu. Dalam AKP terdapat nilai yang dianut yaitu sehat, baik, benar, pintar dan selamat.
Sejatinya, ada banyak nama yang diberikan untuk ajaran Mei Kartawinata. Di luar AKP, Agama Perjalanan dan Agama Buhun, orang-orang mengenalnya sebagai Agama Traju Trisna, Agama Pancasila, Agama Petrap, Agama Sunda, Ilmu Sejati, Permai atau Jawa-Jawi Mulya.
Bagi yang sedikit sinis, mereka biasanya menyebutnya "Agama Kuring". Dalam bahasa Sunda, Kuring adalah kosakata untuk "Aku" atau "Saya". Pendeknya, sebutan "Agama Kuring" bisa dimaknai sebagai upaya mendiskreditkan pemeluk agama ini, sebagai penganut agama ‘semau gue’.
Dalam proses perjalanannya, AKP sendiri tidak hanya berkait kelindan dengan kajian keagamaan, tapi juga tak lepas dari unsur politik. Mei gencar menyebarkan AKP sembari membangkitkan jiwa nasionalisme dan patriotisme. Hal itu dilakukan Mei, karena ia sadar pada saat itu bangsa Indonesia masih dalam cengkraman penjajah.
Mei pun mendirikan wadah untuk menampung para pengikut atau penghayat ajarannya yang namanya kerap berubah-ubah. Pertama, ia membentuk Perhimpunan Rakyat Indonesia Kemanusiaan (PRI Kemanusiaan) pada masa penjajahan Jepang. Usai pelaksanaan Pemilu 1955, nama PRI Kemanusiaan berubah menjadi Organisasi Perjalanan alias Lalampahan.
Jika melihat periode lahirnya aliran ajaran yang dikembangkan Mei Kartawinata, bisa dibilang kondisi Indonesia saat itu berada dalam masa kebangkitan, seiring dengan munculnya organisasi pergerakan seperti PNI, NU dan PKI. Pada tahun 1930 Mei Kartawinata kemudian menjadi aktivis perjuangan melawan penjajah.
Dia termasuk orang pribumi yang lantang dan aktif dalam menyerukan semangat kebangsaan dan kemerdekaan. Paham ini pun mulai menyebar ke daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tapi, semakin luas ajarannya, nyawanya semakin terancam. Pada saat itu, dia dianggap membahayakan oleh penjajah.
Pergerakan ajaran Mei tercatat dilakukan di berbagai wilayah Pulau Jawa di masa gerilya. Sepak terjang Mei yang semakin militan, membuat bangsa penjajah kesal. Tak heran jika ia masuk dalam daftar salah satu orang yang paling dicari.
Menurut beberapa sumber yang ada, Mei sempat merasakan hidup di bui, karena dianggap membahayakan dan merugikan kepentingan penjajah. Pada tahun 1937, ia ditahan di Bandung, kemudian di tahun 1942, dipenjarakan selama 2 bulan di tahanan Dainyi, Cigereleng (pinggiran Bandung Selatan). Selanjutnya, ia dipindahkan ke penjara Banceuy dan mendekam selama 2 bulan.
Beberapa waktu kemudian masih pada tahun 1942, Mei kembali ditangkap dan dijebloskan ke Penjara Sukamiskin untuk menjalani vonis selama 2 tahun. Saat di penjara Sukamiskin, seluruh warga ajarannya yang berada di Jawa Barat melancarkan protes. Mereka tak rela, tokoh penerima wangsit AKP dipenjara terus-terusan dan mendesak Mei segera dibebaskan.
Alhasil, ia pun hanya mendekam selama 3 bulan di Sukamiskin. Namun, pada tahun 1946 di Solo, Mei kembali ditangkap dan dipenjarakan di Cirebon, kemudian dipindah ke kota Yogyakarta.
Nama Mei Kartawinata pun sampai ke telinga Presiden Ir. Soekarno. Setelah dibebaskan dari penjara di Yogyakarta pada tahun 1949, dia dipanggil Presiden Soekarno yang meminta untuk meneruskan perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI.
Kemudian dia membentuk pasukan Gerilya "Macan Putih" yang pergerakannya berpusat di Gunung Wilis, Tulungagung. Pada tahun 1950 ketika berada di Jakarta, Mei kembali harus berurusan dengan aparat. Ia ditangkap di kawasan Matraman oleh Tentara Kala Hitam, karena dituduh terlibat Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Lagi-lagi, ia mendekam selama 3 bulan di Penjara Glodok, Jakarta.
Setelah bebas, dia semakin intens bertemu Presiden Soekarno. Keduanya berdiskusi dan saling bertukar pikiran dalam rangka menentukan nasib bangsa, termasuk merumuskan ide juga konsep Dasar Negara yang kemudian dikenal dengan Pancasila.
Dikutip dari buku digital Kemendikbud RI berjudul “Pancasila Dasar Salira”, sekalipun sedikit sekali, bahkan hampir tidak ada nama Mei tercantum dalam lembar catatan sejarah, pada kenyataannya, ajaran yang Mei sebarkan adalah ajaran Pancasila.
Dalam beberapa buku tuntunan karya Mei yang dicetak sebelum tahun 1945, isinya jelas sudah termuat konsep-konsep (isi dan makna secara spiritual dari Pancasila). Meski namanya tidak terkenal di sejarah bangsa, tapi pada masa-masa kemerdekaan Indonesia, Mei sempat dijuluki sebagai "si Agama Pancasila dan Agama Kuring".
Buku-buku milik Mei sendiri, selalu menyinggung lima dasar bangsa yang dulu ia sebut sebagai Dasar Salira. Lima dasar Salira ajaran Mei dalam bahasa Sunda adalah Katuhanan, Kamanusiaan, Kabangsaan Anu Buleud, Karakyatan dan Keadilan, tak jauh berbeda seperti sila-sila dalam Pancasila
Menjelang tahun 1955, Mei Kartawinata mendirikan Partai Permai (Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia). Hasilnya lumayan, Partai Permai mendapatkan dua kursi di konstituante. Partai Permai bisa dibilang, memiliki kemiripan dengan PNI, karena keduanya memiliki orientasi revolusi nasionalisme.
Ajaran yang disebarkan oleh Mei juga makin dekat kaitannya dengan politik, lantaran latar belakang pengikut dan penganut Aliran Kebatinan Perjalanan ini, banyak berasal dari kalangan politik.
Di masa-masa akhir dari perjuangannya, Mei menghabiskan waktu di Jl. Sukasirna, Cicadas, Bandung. Saat usianya menginjak 70 tahun, Mei meninggal dunia, tepatnya tanggal 11 Februari 1967 dan dikebumikan di Karangpawitan Desa Pakutandang Ciparay Kabupaten Bandung. Tempat dikebumikannya (Pasarean) adalah tempat bekas kamar tidurnya ketika ia sempat tinggal di wilayah itu.
Sebagai penghormatan kepada dirinya, para pengikut ajaran AKP selalu melakukan ritual sedekah bumi yang dibingkai dalam perayaan Tanggap Warsa 1 Sura, setiap tanggal 1 Sura Saka (kalender jawa). Dalam perayaan Tanggap Warsa, banyak sajian hasil bumi yang dihidangkan.
Sesajen sengaja disediakan dengan beragam macam, mulai buah-buahan, sayur mayur, buah padi, beras merah dan putih, serta hasil-hasil bumi lain yang ditaruh menggunung menggunakan alas ataupun diikat lalu digantung di pepohonan atau tiang-tiang kayu yang sedia telah dipajang. Tiap sesajen hasil panen para penghayat, memiliki makna dan perlambangan tersendiri.
AKP secara resmi masuk menjadi bagian dari Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa pada 5 Februari 1979. Ajaran tersebut, di bawah naungan Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (Gisesya Ranggawari)
https://www.validnews.id/Perjalanan-...rtawinata-Jpv
sudah saatnya agama asli kita diakui






4iinch dan 3 lainnya memberi reputasi
4
3.3K
7


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan