Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

WardahRosAvatar border
TS
WardahRos
Tangan Beraroma Surga

Cerpen Religi
Tangan Beraroma Surga


Seorang pria muda berperawakan tinggi besar memakai rompi berbordir lambang suatu majelis dakwah terlihat duduk untuk minum air mineral dari botol kemasan. Melepas penat setelah mengantar dengan selamat seorang Habib yang tadi pagi mengisi kajian di masjid, menuju ke mobilnya. Mobil itu akan membawa Habib beserta keluarganya dan beberapa panitia ke hotel untuk istirahat. Nanti sore setelah shalat Ashar, Habib harus mengisi kajian kembali di masjid yang berbeda, namun masih satu kota.

Saat ia menandaskan setengah isi botol untuk membasahi kerongkongannya, perhatiannya tiba-tiba tertuju kepada seorang kakek yang tergugu di atas becak. Pria yang bernama Harits itu mendekati si kakek. Bahu bapak tua itu terlihat berguncang, air mata meleleh membasahi kulitnya yang coklat dan keriput.

Dengan hati-hati Harits menyapanya, “Assalamu’alaikum, Kek.”

Kakek itu mengangkat wajahnya yang sembab, lalu menyeka lelehan air mata dengan punggung telapak tangan. “Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh,” jawabnya sambil mencoba menyunggingkan senyum.

“Maaf, Kek. Apa yang bisa saya bantu? Saya panitia masjid ini,” ujar Harits.

Kakek terlihat semringah, “Benarkah?” Harits mengangguk, kakek itu melanjutkan kalimatnya, “kalau begitu kamu bisa bantu saya. Kasih tahu saya, mobil Habib tadi membawanya ke mana?”

Harits tampak mengerutkan dahi, “Ke hotel,” jawabnya singkat.

“Hotel apa? Saya mau ke sana sekarang,” tanya kakek itu lagi.

“Maaf, Kek, saya tidak bisa memberi tahukan informasinya. Karena demi keamanan Habib dan keluarganya. Kakek tahu sendiri, kalau ada sekelompok orang yang tidak suka dengan Habib dan membuat huru-hara untuk membubarkan pengajian. Alhamdulillah tadi ada bantuan dari aparat yang ikut mengawal, jadi pengajian tetap bisa digelar.”

“Jangan kuatir, Nak. Saya tidak akan mencelakakan Habib. Saya cuma ingin mencium tangannya saja. Tadi saya tidak sempat bersalaman dengan Habib. Kalah sama dengan anak-anak muda yang mengerumuni Habib. Apa daya, kakek ini badannya sudah ringkih.”

Harits terlihat mengulas senyum, “Nanti sore lepas Ashar, Habib mau mengisi kajian lagi di Masjid Al Huda. Bapak bisa bertemu lagi dengan Habib di sana.”

“Masjid Al Huda itu di mana?” tanya si kakek, Harits kemudian memberitahukan alamatnya.

“Terima kasih, Nak. Kakek harus segera berangkat ke Masjid Al Huda, supaya dapat shaf yang paling depan, biar bisa ketemu Habib. Tadi pagi tidak bisa dapat shaf depan, karena kesiangan sampainya ke sini. Padahal Kakek sudah berangkat dari jam dua. Besok-besok berangkat Isya saja, supaya bisa bermalam di masjid, dan tidak ketinggalan pengajian,” ujarnya.

Harits terperenyak, “Kakek berangkat dari mana?”

Si kakek menjelaskan kalau ia berangkat dari sebuah desa, masuk wilayah kabupaten di luar kota yang Harits tempati. Kakek berangkat mengayuh becak tuanya dari rumah sampai ke masjid tempat kajian Habib yang ingin ditemuinya digelar.

“Masyaa Allah, Kek, jauh sekali,” ucap Harits sambil menatap haru si kakek.

“Tidak mengapa, Kakek sudah biasa. Kakek sehari-hari kerjanya narik becak. Kakek juga tidak punya kendaraan lain, jadi ya ke sini pakai becak saja,” ujar kakek itu sambil tersenyum, membuat guratan halus di sekitar sudut netranya semakin dalam.

“Apa Kakek sering ikut pengajian Habib?” tanya Harits, kali ini ia duduk beralaskan sendalnya di depan becak. Si kakek terlihat canggung, menawarkan Harits duduk di becaknya, namun Harits menolak dengan halus. Lebih baik Kakek yang duduk di becak, karena ia lebih tua, tak santun rasanya.

“Sebisa mungkin semua Habib yang datang, kakek datangi. Sayangnya desa kakek itu tempatnya terpencil. Jadi sampai sekarang belum ada seorang habib yang berkunjung. Jadi kakek yang harus keluar mendatangi mereka.”

“Oh begitu, Kakek suka sekali mendengar pengajian dari mereka?”

“Iya, kakek ingin sekali masuk surga. Kakek bukan orang kaya, ga bisa amal sodaqoh. Kakek cuma bisa mendatangi pengajian dan mencium tangan mereka.”

“Kenapa Kakek ingin sekali mencium tangan Habib? Apa setiap kali ada habib, Kakek akan berusaha mencium tangan mereka?” tanya Harits lagi.

“Kakek sangat sayang dengan Nabi Muhammad, kakek ingin bisa ketemu dengannya. Sangat-sangat kangen, sayangnya Nabi tidak ada, jadi kakek ingin mencium tangan cucu-cucu keturunannya. Membayangkan kalau mereka wajahnya mirip dengan Rasulullah. Entah kenapa mereka memiliki wajah dan bau surga. Sayang sekali tadi kakek belum bisa mencium aroma surga, kakek sudah sangat rindu,” ujar Kakek dengan tatapan sedih.

Sudut-sudut bibir Harits terangkat, sehingga lengkungan indah tercetak pada wajahnya. Harits segera beranjak dari duduknya, “Kakek tunggu di sini ya, Harits tinggal sebentar,” pintanya kepada si kakek.

Si kakek terdiam di atas becak, menatap heran kepergian Harits.

Tak berapa lama Harits datang kembali, menaiki sebuah motor skuter. “Ayo, Kek, saya antar ke tempat Habib,” ujarnya sambil menyodorkan sebuah helm ke hadapan si kakek.

Senyum terkembang di wajah si kakek. Ia kemudian melepas songkok hitamnya, lalu memasukkannya ke dalam saku baju Koko putih yang ia kenakan. Ia memakai helm yang diberikan Harits, lalu membonceng di belakangnya.

***

Sekitar tiga puluh menit kemudian, mereka sampai ke depan sebuah hotel. Harits menyerahkan KTP dan STNK kepada seorang sekuriti penjaga pos keamanan sebelum sampai di tempat parkir. Setelah memarkirkan motornya, Harits mengantarkan si kakek ke depan pintu hotel. Terlihat seorang doorman berbaju batik menyapa mereka. Harits meminta si kakek masuk lebih dulu. Dengan canggung si kakek melepas sandal yang dipakainya. Harits sigap menunduk dan memakaikan sandal kembali kepada si kakek, “Dipakai saja, Kek. Ini bukan masjid,” ujar Harits sambil tersenyum.

Harits meminta si kakek duduk di sofa ruang lobi. Harits mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.

Berselang beberapa menit, seorang pria yang memakai rompi seperti Harits keluar dari lift area lobi. Harits segera berdiri lalu bersalaman dengannya. “Ini Kakek yang anaa ceritakan tadi,” ujar Harits.

“Saya Naryo, nama Kakek siapa?” tanya Naryo sambil mengulurkan telapak tangan ke Kakek.

“Saya Hasan,” jawab si kakek.

“Mari saya antar, Kek.”

Kakek Hasan dan Harits mengikuti langkah Naryo. Melewati sebuah ruangan yang banyak tempat duduk juga meja. Seperti sebuah ruang makan besar.

“Kakek silakan duduk dulu. Habib mau turun ke sini sebentar lagi,” ujar Naryo sambil menarik sebuah kursi untuk diduduki Kakek Hasan.

Kebahagiaan membuncah pada dada Kakek Hasan, meskipun sosok Habib belum ia temui, namun kata-kata Naryo membuatnya yakin jika harapannya terkabul.

Harits menyentuh pundak Kakek Hasan, menepuk-nepuk ringan.

Tak berapa lama, seorang pria berusia kepala empat, memakai gamis putih panjang mendatangi mereka. Kakek Hasan langsung berdiri dan mendekati pria yang ia panggil Habib itu.

Tanpa ijin Habib, Kakek Hasan langsung meraih telapak tangannya, dan menciumnya. 'Aroma surga' yang Kakek Hasan rindukan, menelusup ke indera penciumannya. Air matanya berlinang. Habib mengelus bahu Kakek Hasan sambil tersenyum.

Kakek Hasan melepaskan ciumannya, kala ia menyadari bahwa terlalu lama ia mencium tangan Habib. “Maaf, saya merepotkan Habib,” ujar Kakek Hasan.

Habib menggeleng, lalu mengajak Kakek Hasan dan yang lainnya duduk bersama. “Maaf, ini belum jam makan siang, jadi belum ada hidangan utama yang disediakan. Tapi saya tadi sudah memesan beberapa menu untuk kita makan bersama,” ujar Habib. “Sambil menunggu makanan datang, kita ngobrol lebih dulu.”

“Pak Hasan, asalnya dari mana?” tanya Habib.

Kakek Hasan menjelaskan alamat rumahnya. Terlihat Habib sangat antusias mendengarkan penuturan Kakek Hasan. Kemudian Habib tertarik untuk mengetahui lokasi desa Kakek Hasan dan mengadakan pengajian rutin ke sana. Mungkin sebulan sekali, ia meminta Harits dan Naryo membicarakannya nanti bersama panitia penyelenggara dakwah.

Kebahagiaan tak terkira Kakek Hasan rasakan. Ia akan lebih sering bertemu Habib, keturunan Rasulullah.

“Terima kasih, Habib. Saya senang sekali. Saya jadi lebih sering bertemu dengan cucu dari kekasih Allah yang saya rindukan.”

“Masyaa Allah, semoga Bapak bisa bertemu dengan Baginda Rasulullah di surga. Semoga kita bertetangga di sana,” ujar Habib dengan netra yang berlinang. Menatap haru ketulusan Kakek Hasan.

“Benarkah saya bisa masuk surga?” tanya Kakek Hasan. “Saya orang miskin Habib, tidak bisa beramal sodaqoh.”

“Kenapa Bapak tidak percaya dengan sabda Rasulullah?”

Kemudian Habib mengutip sebuah hadis, “Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, beliau mengatakan, “Ketika saya dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari masjid, kami ditemui oleh seorang lelaki di sisi masjid lalu orang itu bertanya, “Wahai Rasulullah! Kapankah hari kiamat itu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menyambut kedatangannya?” Orang itu terdiam lalu menjawab, “Untuk menyambutnya, saya tidak menyiapkan shalat yang besar, tidak juga puasa yang besar serta tidak sedekah yang besar, akan tetapi saya mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersada, “Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” ... jika Bapak mencintai Rasulullah, sedangkan Rasulullah tempatnya di surga, bukankah Bapak juga akan ke surga?”

Kakek Hasan tak henti-hentinya menangis, bahu ringkihnya berguncang. Habib segera mendekatkan diri lalu memeluknya.

Kemudian beberapa pegawai hotel mendekat, membawakan makanan yang telah Habib pesan. Sebuah mangkuk berisi air sengaja diminta oleh Habib. Saat semua pegawai hotel meninggalkan mereka. Habib meminta ijin untuk memegang tangan Kakek Hasan. Dengan tatapan penuh tanda tanya, Kakek Hasan mengiyakan.

Habib kemudian meraih telapak tangan Kakek Hasan lalu mencucinya dalam mangkuk besar yang terletak di hadapan mereka. Kakek Hasan terperenyak, ia berniat menarik tangannya, “Saya bisa sendiri, Habib.”

“Tidak mengapa, Bapak. Ini kewajiban saya memuliakan tamu. Ini ajaran Rasulullah. Biarkan saya melaksanakan kewajiban,” ujar Habib sambil tersenyum.

Harits menyewa sebuah kendaraan bak terbuka untuk mengantarkan Kakek Hasan beserta becaknya, pulang. Habib terenyuh mendengar cerita kalau Kakek Hasan mengayuh becak puluhan kilometer, demi bisa bertemu dengannya. “Berapa harga sewanya, Harits? Saya mau ganti,” tanya Habib.

“Tidak perlu, Habib. Ini bagian saya,” jawab Harits.

“Kau menduluiku untuk berbuat amal, Harits, aku iri padamu,” timpal Naryo.

Habib tertawa gembira mendengarkan obrolan orang-orang di sekitarnya. “Ya Allah, betapa semua orang rindu kepada Rasulullah. Mereka berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan. Maka tempatkanlah kami bersama Rasulullah yang kami rindukan,” doa Habib yang kemudian diaminkan yang lainnya.

Surabaya, 2 September 2019


Terima kasih atas kunjungan kalian di postingan pertama saya. Jangan lupa beri cendol dan tinggalkan komentar. Wasalam 😊🙏

Sumber: cerpen pribadi
Sumber gambar: https://storage.nu.or.id/storage/pos...1570983705.jpg
Diubah oleh WardahRos 11-01-2020 00:15
Gimi96
NadarNadz
nona212
nona212 dan 23 lainnya memberi reputasi
24
2K
18
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan