jkamy02Avatar border
TS
jkamy02
About Destiny (Kumpulan Cerpen Cinta)
Another Shape of Love
****


šŸŒ¹šŸŒ¹šŸŒ¹šŸŒ¹
Kiran mengurut kening. Pikirannya terasa penuh setelah membaca sebuah pesan dari seseorang. Jemarinya berhenti bergerak, meletakkan ponselnya di meja dan membiarkan tetap menyala dengan layar panggilan masuk. Mas Aryo memanggil.

Mata sayu itu perlahan terpejam. Cairan bening dan hangat meluncur pelan.

"Astaghfirullah ...," gumamnya pelan. Gadis 27 tahun itu terisak dengan suara tertahan. Sakit dan menyesakkan.

"Kenapa sekarang?" tanyanya pada diri sendiri.

[Temui aku di taman, besok ba'da asar!]

Akhirnya hanya kalimat itu yang bisa Kiran kirim.

*****

"Apa ini penting?" Suara berat yang selama ini membuat Kiran bergetar, memecah keheningan. Suara angin sore dan gemirisik daun mahoni di atas mereka seolah tak terdengar.

"Apa Mas pikir tidak?"

Hanya itu yang mampu keluar dari bibir Kiran. Padahal sejak semalam dia sudah merangkai semua kalimat untuk diajukan kepada lelaki yang telah membuatnya resah.

"Apa ada hubungannya dengan ajakanku semalam?" tanya Aryo hati-hati. Mengenal Kiran sejak lima tahun silam membuat lelaki 32 tahun itu paham bagaimana sifatnya.

"Kenapa baru sekarang?" Kiran menoleh, menatap Aryo yang juga sedang menatapnya. Lelaki berkacamata itu bergeming.

"Apa ada yang ...."

"Salah! Kenapa baru sekarang? Kenapa?" Kiran menunduk, menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Dia menangis.

"Aku pikir ...."

"Bertahun-tahun aku menunggunya, Mas baru mengatakannya sekarang. Kenapa? Sudah tidak menemukan wanita lain?"

Aryo terdiam.

"Apa Mas tahu bagaimana sakitnya menunggu yang tidak pasti? Tidak, 'kan?"

"Aku menunggu waktu yang tepat, Kiran. Kurasa ... sekarang waktunya. Apa ada yang salah?"

Bukan jawaban yang diberi Kiran, tapi tangisnya yang semakin meratap.

"Apa aku terlambat?" tanya Aryo pelan.

Bahu Kiran berguncang, tangisnya tak kunjung reda. Aryo hanya meremas celana jeans-nya, tidak tahu harus berbuat apa.

"Aku sudah menerima khitbah lelaki lain."

Dingin dan tenang. Namun, nyatanya membuat Aryo seolah dihantam batu panas. Jantungnya seakan berhenti berdetak.

"Kenapa baru sekarang?"

Hening. Pertanyaan Kiran seolah tanpa jawaban. Aryo sibuk menata segenap rasa yang mengoyak jiwanya hingga tercerai berai. Kiran sibuk menenangkan hatinya yang bergejolak.

Pertemuan sore itu tanpa pamit perpisahan. Pun ruang chat mereka tak lagi bersuara sejak itu. Aryo hanya melihat lampu hijau milik akun Kiran. Hingga akun itu off. Begitu juga yang Kiran lakukan. Jemari mereka tak lagi ringan untuk mengetik kalimat pembuka percakapan seperti biasa.
*****

"Sore ini kita take foto di butik. Ada gaun model baru dari desainer baru. Katanya si konsep syar'i. Ya, lumayan lah." Endi mengangsurkan selembar alamat pada Aryo.

"Hhmm, oke. Aku sendiri, ya?" tanya Aryo memastikan. Endi yang sibuk membersihkan kameranya hanya mengangguk.

"Oke, aku jalan dulu." Aryo mengambil tas dan berlalu.

Aryo memilih sholat asar di masjid yang tak jauh dari lokasi butik. Sekalian mengamati lokasi, pikirnya.

[Assalamu'alaikum. Apakah sore ini kita jadi take foto untuk gaun pengantin?]

Terkirim dan centang dua biru. Aryo tak berkedip menatap layar WA. Sedang mengetik.

[Wa'alaikumussalaam. Jadi. Kami sudah siap.]

Tanpa membalas, Aryo segera meluncur.

Butik dengan nuansa serba putih itu terlihat nyaman. Furniture serba kayu dengan patung berbusana muslim terlihat menenangkan. An-nisa Collection, begitu nama yang tertera di samping pintu masuk.

Seorang wanita muda dengan pakaian syar'i menyambut kedatangan Aryo. Lelaki itu canggung ketika mendapati lima wanita muda dengan pakaian sama tengah sibuk menata berbagai gaun pengantin. Di ruang lain dua wanita sedang berkutat menempelkan berbagai aksesoris pada seorang wanita yang sudah bergaun pengantin.

"Dari Ar-rahman fotografi, ya?" Aryo berbalik mencari sumber suara. Hatinya berdesir. Di depannya, seorang wanita dengan pakaian tertutup serba hitam lengkap dengan cadar sedang menunggu jawaban darinya.

"I-iya. Saya sendiri." Aryo meremas tali kamera, gugup. Dia segera menunduk melihat wanita di depannya juga menunduk.

"Studionya sebelah sana, mari!" Wanita itu berjalan mendahului. Aryo mengekor.

Hingga jam lima sore, pemotretan selesai. Aryo membereskan peralatan dan memasukannya ke tas.

"Mbak Kiran, ada yang ambil pesanan kemarin," teriak seorang wanita dari luar.

Aryo tersentak. Lantas menatap wanita yang sedang sibuk mencari sesuatu dari tumpukkan barang di lemari.

"Kiran?" panggilnya. Sang wanita bercadar menghentikan gerakan mencarinya. Matanya hanya melirik sekilas.

"Kiran?" Kali ini suara Aryo penuh kepastian. Panggilan yang diulang tak membuat wanita di depannya menoleh. Dia justru berdiri dengan membawa barang yang dia cari dan meninggalkan Aryo yang masih mematung.

Aryo melangkah cepat untuk mengejar. Langkahnya terhenti di depan pintu. Matanya menatap wanita yang dikejarnya sedang berdiri di depan sebuah mobil dengan seorang lelaki yang tengah mengendong anak kecil. Perlahan sendi tubuhnya seolah lumpuh. Tanpa menoleh lagi, lelaki yang kini berjenggot itu meninggalkan butik.
*****

Bayangan lelaki yang mengusap kepala Kiran terus terbayang. Membuat mata minus lima milik Aryo tak kunjung terpejam.

"Astaghfirullah, ikhlaskan, ya Allah," gumamnya pelan sembari mengusap wajah.

Tak juga kunjung terlelap, Aryo memilih membuka media sosialnya. Entah kekuatan dari mana dia mengetik nama Hamba Dhoif-akun facebook Kiran- di kolom pencarian. Padahal sudah dua tahun ini dia tidak pernah melakukan itu.

Ada ikon tambahkan teman, Aryo bergeming. Lelaki itu baru tahu jika mereka tidak berteman lagi. Jemarinya berhenti menekan mouse. Dia hanya menatap akun dengn foto profil tulisan An-nisa Collection. Lantas terdiam membaca tiga kalimat bio di bawah namanya, Tidak Lagi Sendiri.

Hingga subuh Aryo tidak melakukan apapun. Dia tidak ingin menelusuri wall akun itu, pun tak ingin memulai percakapan. Ada rasa sakit yang mungkin terjadi jika dia melakukannya.
*****

"Bukannya kamu kenal sama owner butik itu?" tanya Endi yang sedang memroses deretan foto yang kemarin diambil Aryo.

"Dulu," jawab Aryo singkat. Tangannya sibuk mengelap lensa, padahal hati dan pikirannya sibuk dengan urusan lain.

"Kasian dia." Aryo berhenti mengelap. Ditatapnya rekan kerja selama lima tahun itu.

"Beruntung semua bisa menerima keputusannya. Kalau tidak? Entah ...."

"Apa maksudmu?" Aryo memotong dengan cepat. Endi mengernyitkan dahi. Seolah bertanya, apa si?

"Dia membatalkan pernikahannya. Dua tahun lalu. Sekarang dia ...."

Belum selesai Endi bercerita, Aryo menyambar kunci motor dan bergegas keluar.

"Kenapa tu anak?" Endi urung mengejar ketika mendengar deru motor matic Aryo.
*****

Aryo memainkan kakinya di rumput taman depan butik. Sesekali menekan kakinya sendiri, lain kali mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya. Tangan yang sudah berkeringat itu tak henti saling meremas. Cemas.

"Mau ambil pembayaran, ya? Nanti saya transfer." Aryo mendongak menatap sang pemilik suara. Yang ditatap hanya menundukkan wajah.

"Bisa minta nomor rekeningnya? Kemarin aku lupa."

Aryo tetap terdiam. Matanya tak berkedip menatap wanita yang kini mengenakan pakaian serba cream dengan garis hitam di ujung gamis dan jilbabnya.

"Baiklah, nanti WA saja, ya!" Wanita itu berbalik hendak meninggalkan Aryo yang masih saja diam.

"Aku ke sini mengambil yang lain." Langkah wanita itu terhenti.

"Aku harap, aku tidak lagi terlambat."

Perlahan Aryo melangkah maju, memperpendek jarak antara mereka.

"Maukah kamu menikah denganku, Kiran?"

Diam. Hanya terdengar degup jantung yang tidak seperti biasanya, oleh mereka sendiri.

"Apa kamu sudah memastikan bahwa aku sudah ...."

"Aku tidak peduli. Bukankah kamu yang bilang, ungkapkan apa yang dirasakan sebelum terlambat? Apapun yang terjadi."

"Iya, tapi aku sudah ...."

"Menerima orang lain?"

"Aku sedang menunggu orang lain di rumah."

Aryo mendekat, Kiran menghindar. Wanita itu bahkan memasuki butiknya dan menutup pintu dengan cepat. Tinggalah Aryo yang mematung di depan pintu kaca, menatap Kiran yang masih membelakanginya. Lewat celah pintu yang terbuka sedikit, Aryo mendekatkan wajah.

"Maaf, jika aku kembali terlambat." Aryo meninggalkan pintu.

"Aku menunggu kedatanganmu beserta keluarga besok malam. Atau kamu akan terlambat ... lagi."

Aryo berbalik tak percaya. Namun, Kiran sudah berlari masuk, menghilang di balik jejeran patung berpakaian syar'i.

"Alhamdulilah," ucapnya pelan dengan senyum
*****

Cinta bukan hanya tentang memiliki. Kadang juga tentang menunggu yang tidak pasti. Ah, cinta memang kadang sedrama itu.
-End-
šŸŒ¹šŸŒ¹šŸŒ¹

embunsuci
tata604
lina.wh
lina.wh dan 4 lainnya memberi reputasi
5
1K
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan