skemer21
TS
skemer21
Promise Me, Ma!


Aku menemui Mama yang sedang memasak di dapur. Menatap beliau yang begitu lihai memasak, seperti penari di atas panggung. Beliau mampu memadu padankan bumbu yang tak kutahu namanya apa. Sebab, masih dini. Aku hanya tahu tomat yang tiap hari kumakan mentah-mentah.

“Mama, ntiajalin Shella macak, ya?" Aku menghampiri Mama sambil memeluk boneka Barbie.

"Iya, nanti kalau Shella udah besar."Mama tersenyum sambil mengulek bumbu.

"Shella penenmacak gini, penen buat tue."

"Iya, Shella."

"Dandi, Ma?"

"Iya, janji."

Aku bersorak ria, tak sabar ketika besar nanti akan lihai menari di dapur. Memotong sayur, merebus, menggoreng lauk, menanak nasi, memanggang kue, dan lainnya. Umurku masih tiga tahun saat itu, untuk pegang pisau saja masih dilarang.

"Danil, nti aku diajalinmacak cama Mama."

Danil tak menjawab, hanya sibuk dengan tangan-tangan barbie yang patah.

"Danil, ntibesal aku macakin kamu, bitinintue ...."

Lagi, ia tak menjawab celotehanku. Aku maklumi, sebab umurnya masih dua tahun, bicaranya pasti lebih tidak jelas di banding aku.

"Danil, ayo teluar. Main cama Wiwi."

Danil mengangguk, lalu berjalan mengikutiku dengan boneka barbie yang berada di tangannya.

Kami bermain sampai lupa waktu. Masak-masak, main boneka barbie, baju-baju, bongkar pasang. Semua sudah kami geluti.

Masa kecil itu menyenangkan. Aku terluka hanya karena jatuh, bukan karena masalah hidup yang membuatku rapuh.

****

"Aku pulang dulu ya, mandiin anak-anak,” ucap Papa kepada Mama.

"Iya, tapi jangan lama-lama. Bawakan baju kesukaanku, ya!" pinta Mama dengan suara parau.

"Tapi mandiin anak-anak lama, nggakapa, ya, kalau lama?"

"Iya, nggak apa," lirih Mama. Tersenyum, menatap aku dan Danil lamat-lamat.

Mama sakit dan harus dilarikan ke rumah sakit. Penyakit asmanya kambuh lagi, akibat gempa beberapa bulan lalu di kotaku. Gempa yang terjadi pada waktu subuh, tahun 2005.

Beberapa orang masih tertidur lelap, sebagiannya lagi sedang melaksanakan salat subuh. Rasanya memang kalap. Apalagi roman-roman tsunami Aceh pada tahun 2004 masih menyelimuti.

Seluruh warga berlarian ke arah gunung. Mencari dataran tinggi. Teriakan tsunami menggema di udara, orang-orang bak semut kembali ke bawah tanah. Bersembunyi, mencari tempat teraman dari serangan di luaran sana.

Tapi, itu semua hanya tipuan semata. Tsunami tidak ada, berita hoax merajalela.

***

"Papa, ayo ke lumahcakit cama Mama."

"Tunggu sebentar, Papa masih mandiin Danil."

"Danan lama-lama, tatian Mama tendilian."

"Iya, Shella."

Setelah memandikan Danil, papa memakaikan aku dan adikku baju, minyak telon, dan bedak tebal memenuhi seluruh wajah hingga leher kami.

"Siap?" tanya Papa di atas motor.

"Ciap!"

Motor melaju, menyatu bersama kendaraan lainnya. Dengan aku yang berada di depan, Danil di belakangku, dan papa mengemudikan kuda besi bak Valentino Rossi. Papa selalu mengendarai motor di atas rata-rata. Makanya aku menjulukinya Valentino Rossi KW.

"Papa, Awas ayam!"

Ayam betina hampir saja tertabrak, untung papa sangat sigap menarik rem motornya.

"Papa, pelan-pelan aja," ucapku, menengadah ke atas, melihat Papa.

"Iya, daripada nabrak ayam lagi," ucap Papa.

Sampai di rumah sakit, ruangan Mama ramai. Perawat dan dokter ke sana kemari di dalam sana. Kain putih membungkus seluruh tubuh Mama.

'Apa yang terjadi?'

Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Ia diam ketika aku menggoyang tubuhnya, ia tidak menyahut ketika aku memanggil. Tangan mama dingin ketika aku menyentuhnya.

Tangisan Danil pecah, aku semakin bingung. Padahal dia lebih dini dariku. Kenapa dia seolah mengerti?

Batin Danil lebih erat dengan mama.

Perlahan aku mengerti dan tahu. Kain putih itu memang pantas membungkus tubuh mama, karena ... mama pergi.

 

***

Aku selalu terjebak dalam kubangan rindu. Di mana semesta menangis dalam klandestin. Kedinginan, sembari memeluk erat ulu hati dan terpekur dalam asa yang menggerogoti.

Senyap. Rinduku ditemani kegelapan. Mendung yang menikam tanpa belas kasihan. Terpekur di ujung masa silam yang mengundang kerapuhan. Cahayaku redup, dilahap oleh kesakitan tanpa cukup.

Aku tergugu dibalik sembilu yang kian membiru. Berlutut di lantai bumi, berubah menjadi beringas, menggonggong ganas. Jemari berjentik dalam temaram, melempar meriam.

Siapa yang sangka?

Aku pernah ditikam dari belakang oleh nestapa. Tembus hingga rongga-rongga yang menganga. Sakit, sampai berdengung di telinga.

Hatiku dirajam. Dilempari batu dari arah mana pun. Awalnya lebam-lebam, lalu berakhir mengenaskan tanpa ampun.

Aku marah pada mata jelalatan yang terus menyusuri hidupku. Seolah ingin tahu, tapi tujuannya ingin melempar belati ke tubuhku.

Saat sepotong hatiku pergi. Menuju tempat yang abadi. Berdoa penuh harap akan kembali. Bersamaku, di sini.

ALLAH, KENAPA CEPAT MENCABUT NYAWANYA?

Aku pernah berteriak marah. Membenci keadaan tanpa kata lelah. Menangis di bawah rinai hujan dengan resah. Aku juga rapuh, saat menangis di atas sajadah.

Saat itu aku masih dini. Belum tahu apa itu makna dari jati diri. Berbicara pun belum fasih. Namun, air mataku bercucuran. Membentuk anak-anak sungai di pipi, lalu bercampur bersama petrikor yang menguar.

ANAK KECIL TAHU APA?

Tahuku, mama telah pergi. Katanya tak mau kembali. Meninggalkanku bersama senyap dan sepi.

Aku terdiam di samping tubuh kaku. Memegang tangannya erat. Sampai matahari berpendar ke arah barat.

TAHUKAH? INI ADALAH MALAIKAT.

Beliau malaikatku!

Dulu pernah menjadi penikmat candramawa.

Membawa sepotong hati dengan kisah pilu. Membawa rindu yang selalu berujung sendu.

Aku tak bisa merobek bayangan yang pernah terpatri. Biarlah semua menjadi kenang dalam malam-malam panjang. Selalu menggeluti sajak tanpa tapi. Sesekali mencecap nestapa. Dalam kubangan rindu dan awan kelabu.

Boleh aku rindu?

 

Pulpenku berhenti pada tanda tanya bersama tangisan yang sedari tadi sudah pecah. Aku tak mampu menahan sesak di dada. Mengingat segala tentangnya, Mama. Aku masih terlalu dini, bahkan mengingat wajahnya saja masih amat patah-patah. Sesak itu menggerogoti, air mata tak mau berhenti. Membasahi kertas yang berisi cerita tentangnya. Sungguh, aku rindu. Akan peluk yang selalu menenangkan kalbu.

Segera, kuhapus air mata. Menemui beliau yang sudah lama tak pernah bersua denganku tanpa kata. Rindu itu memang menyiksa, aku sudah tak tahan bila hanya mengumpulkan kenangan yang tak pernah bersisa.

 

***

 

 

'05 - 05 - 2005'

 

Angka itu terpahat rapi di batu nisan Mama. Kejadian empat belas tahun lalu masih teringat jelas, meninggalkan kenangan miris. Apabila selalu mengingatnya, hatiku seperti teriris lalu menangis.

Mama, kenapa mama pergi?

Padahal kita belum masak sama-sama.

Mama, kenapa mama pergi?

Padahal aku belum lihai dalam membuat kue.

Mama dulu pernah berjanji ' kan? Tapi mama mengingkari.

Ya sudah, Ma. Aku hanya ingin memberitahukan kepadamu. Sekarang, aku sudah pandai membuat brownies, pisang ijo, onde-onde, kue lumpur, kue cara, risoles.

Hanya itu, kue kering belum bisa sama sekali.

Mama tahu? Aku nyaris saja bertemu denganmu. Karena kejadian yang sama. Aku ... hampir mati. Saat gempa 28 September pada tahun lalu.

Mama, maukah berjanji lagi?

Tetap tenang di alam sana. Jangan merasa tersiksa.Sebab, anakmu ini, telah tumbuh dewasa dan tak akan melupakan segala kenangan barang secuil saja.

 

Selamat hari Ibu, untukmu. Sekali lagi, aku rindu. Kuatkan aku dengan senyum yang berpendar di dalam malam-malam, katakan saja kita akan segera bertemumeski dibawa pergi oleh temaram.
Diubah oleh skemer21 05-01-2020 08:45
Gimi96NadarNadznona212
nona212 dan 25 lainnya memberi reputasi
26
3.1K
39
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan