WAKTU RINDU[
[img]
[/img]
Kiranya, waktu kita tak pula jadi hakim adil.
Mendaulat purba rinduku.
Terekam pada lembaran akhir kalender usang yang mencantum hanya bulan bulan ganjil.
Letih sudah terbaring.
Lelap mendengarkan dongeng tentang baju hangat yang kau pakai dengan terbalik
resah sudah mengalah.
Santun tertunduk dibius wangi parfume yang selalu membuntuti.
Entah bila, atau mungkin nanti malam.
Rinduku akan menghampirimu lagi dengan bibir geletar.
Membawa tanya bagaimana atau mengapa yang seringkali terkadang batal dia sujudkan.
Mengajarinya tertawa layaknya anak-anak angin yang bersenda gurau dengan helai rambutmu.
Supaya dia faham, risau tak perlu dipelihara, sebaiknya segenap permintaan cukup dilintaskan dalam doa.
Ada cerlang dimatamu,
aku baca sebait kalimat penghantar di lembaran kertas yang ditulis pujangga piatu.
Puisi-puisi beraroma basah tanah.
Kata-kata yang bermuatan gundah.
Serta suara hening yang tertiup lamban daun-daun trembesi
Sejak malam itu. Kau akan sadar bahwasanya rindu tak ubahnya sepenggal dosa kecil yang akan dapat terampuni hanya dengan satu pertemuan.
Langkah kepergian hanya cara diriku membuktikan bahwa bumi ini bulat.
Berjalan menjauh agar bisa menemukanmu lagi.
TSM040120
Quote:
Original Posted By Lovembers►
Denpasar ...
Aku memang belum mengenalmu secara sempurna.
Sempurna layaknya ombak Serangan yang menghantam dentur serta anggun.
Pun menyajikanmu kisah romantis.
Laksana hamparan pasir hangat yang acap kau ceritakan padaku.
Buatku, mengenal dirimu ialah suatu persinggahan, tempat mencatat kisah-kisah usangku, yang sudah lama kumakamkan.
Lirik-lirik berserakan mencipta nada, entah lagu apa?
Akupun tidak sesumringah Legian di malam hari.
Dengan geriap nyala lampu club-club malam yang kerap aku ingin disana bersamamu.
Aku semata sejumput rumput liar di taman, seuntil pasir diantara hamparan pasir.
Yang rindu pada deburan air laut.
Membahang panas musim kemarau.
Bergeletar di musim basah.
Yogyakarta ...
Jejak-jejak langkah tak terekam pagi yang remang.
Mendapati engkau diceraikan bayu.
Menghantar satu jawaban atas alur cerita yang telah dituangkan.
Aku berangan alur itu sempurna terjalin dan menunggunya di pelataran hatimu dengan seikat kembang di tangan.
Laksana hasrat juga harapan.
Dekap udara Yogyakarta malam hari senntiasa aku rasakan sampai kini.
Mengiringku berada di kamar itu.
Menunggumu dan menyemburu.
Sekian tahun bukan tanpa arti.
Musim pasti beralih dan berganti.
Tafsiran itu akan genap sejalan dengan waktu.
Derai kuncup daun di lembah waktu terurai jatuh.
Aku tunggu dengan gagu dari hatimu hingga lebur.
Menjadi sebuah suluk yang menyembuhkanmu.
Pada jiwa dan raga nan keruh.
Hingga satu kepastian nasib ku rengkuh.
Tasikmalaya
Seperti rumput kering yang berserakan itu.
Hatikupun terserak jika berjumpa denganmu.
Lantas segalanya terurai untuk kita fahami.
Anak-anak rambutmu tersesat di pipi.
Di birai geliat matamu ada rindu yang tak pernah sunyi.
Kusembunyikan degup jantungku diantara senyuman penutup senja bersama desau angin.
Hanya malam tak juga di harap singgah, sebab hanya akan melahirkan gelisah.
Di Tasikmalaya, bersamamu aku rasakan hidup tak susah dijalani.
Di tempat ini saat denganmu aku rasa hidup tidak lagi pelik.
Jalanan tidak seterjal yang diomongkan.
Hanya kembali lagi ... hidup ini sebuah pilihan.
Aku dapat singgah kapan-kapan.
Dengan membawa segenap resah yang berambang di tamanmu nan telaga.
Dan tak harus menjadi perahumu.
Pilihan bilang bahwasanya jalanan berliku lebih baik dan menyenangkan
tsm 080120