Merupakan cerita horor sekuel yang langsung dialami oleh penulis. Benar atau tidak, penulis hanya menuliskan semua kejadian yang pernah penulis alami sendiri. Percaya atau tidak, penulis serahkan sepenuhnya kepada pembaca. Karena kebenaran yang sejati hanya milik-Nya semata.
Selamat membaca.
Part 1. Rumah Kost Tua
Cerita ini terjadi di tahun 2015 lalu.
Mendapat pekerjaan setelah lulus sekolah adalah dambaan semua orang, begitu pula denganku. Lulus kuliah aku langsung mendapat pekerjaan di sebuah sekolah X di Kota Apel. Kebetulan tempat kerjaku ini berada di luar kota kelahiranku. Mencari rumah kost adalah satu-satunya solusi yang masuk akal untuk bertahan hidup. Siapa sangka bahwa pencarian rumah kost ini adalah awal kehidupanku bersentuhan dengan kehidupan lain.
Waktu itu aku mendapat tawaran dari teman sejawat, bahwa di dekat tempat kerjaku ada rumah saudaranya yang kebetulan hanya ditempati dua orang wanita. Ada satu kamar kosong, dan aku diminta untuk menempatinya dengan biaya yang lebih murah, lumayan pikirku waktu itu. Rumah ini dekat dengan kampus swasta kesehatan.
Pemilik rumah adalah seorang ibu kisaran usia 45 tahun dan seorang Nenek kisaran usia 70 tahun yang kondisinya sedang sakit (tidak bisa melihat, katarak). Sedikit gambaran tentang kostku. Rumah tua dengan pohon mangga di halaman depan. Tanpa pagar dan gapura masuk rumah. Ada beberapa ruangan di rumah ini. Aku memilih kamar paling depan, dekat dengan jalan raya. Terletak di samping ruang tamu. Sebelah kamarku adalah kamar pemilik rumah beserta Nenek. Sebelah kamar Ibu ada gudang yang di dalamnya berserakan kotoran tikus, seberang gudang ada dapur kecil. Sebelah dapur ada pintu menuju kamar mandi dan tempat menjemur cucian. Semua lantai rumah masih ubin zaman dulu.
Ukuran kamarku cukup luas, 3 x 4 meter. Dengan satu lemari kayu di pojok ruangan yang bercermin oval di bagian tengahnya. Ranjang tidur dari besi seperti zaman dulu. Sebuah meja bundar juga dari besi yang permukaannya bolong-bolong kecil seperti diplong kertas dengan vas bunga kecil di atasnya. Serta sarang laba-laba yang menempel di beberapa bagian dinding. Tentu saja lantai kamar masih dari ubin.
Semenjak pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini, aku mencium aroma keganjilan yang tak dapat dijelaskan. Bangunan tua berkolaborasi dengan kesunyian mengundang rasa penasaranku untuk mengulik kehidupan di dalamnya. Sepertinya aku bisa merasakan aura itu dalam rumah ini, di kamarku.
Setelah beberes kamar dan memasukkan beberapa baju ke lemari, aku merebahkan diri di kasur kapuk sambil bermain HP. Kasur kapuk berseprei corak bunga warna merah yang melengkung di bagian tengah, seakan pernah ada seseorang yang telah lama tidur di atasnya. Selimut garis yang kerap kita temui di ranjang rumah sakit, juga terlipat rapi di sana.
Aku masih ingat waktu itu pukul 4 sore. Aku merebahkan diri sambil mendengar musik dangdut melalui headset. Tiba-tiba samar aku mendengar suara orang sedang ngobrol di luar. Pikirku mungkin Ibu sedang ngobrol dengan Nenek. Seperti sedang asyik berbincang menggunakan bahasa Indonesia. Oh ya, Ibu kostku asli Kalimantan, jadi tidak begitu lancar berbahasa Jawa.
Setelah melepas lelah, aku keluar kamar berniat ikut nimbrung dengan mereka supaya lebih akrab, sekalian mau mandi. Ketika sudah di luar, aku hanya menjumpai Nenek sedang duduk di depan TV yang tidak menyala. Aku tidak menaruh curiga waktu itu, karena pikirku Ibu sudah pergi. Ok, aku langsung mandi.
Setelah mandi aku menemui Ibu yang sedang memasak di dapur, kemudian aku iseng bertanya.
Aku: “Tadi ngborol apa Bu sama Nenek, kok seru sekali?”
Ibu: "Ngobrol apa, Dik? Kapan?”
Aku: “Barusan sih, Bu. Sebelum aku mandi.”
Ibu: “Lah! Mana mungkin wong Ibu dari tadi ke warung beli sayur ini mau dimasak. Pintu depan Ibu kunci kok. Memang Adik dengar bagaimana?”
Aku mulai curiga tapi masih bisa kusamarkan.
Aku: “Hmmm lupa deh, hehe. Mau masak apa nih, Bu? aku bantu ya."
usahaku mengalihkan pembicaraan.
Ibu: “Masak tumis saja ya, nanti buat makan malam kita.”
Aku: Oke siap!"
Kami asyik ngobrol sambil menyiapkan masakan. Tentang asalku. Mengapa aku memilih bekerja jauh dari kota asal. Mengapa Ibu kost bisa merantau ke Jawa, dan masih banyak lagi.
Sampai akhirnya Ibu kost mengatakan hal yang menjadi tanda tanya bagiku.
Ibu: “Dik, nanti kalau misal Adik mendengar atau melihat Nenek bicara sendiri, seperti ngobrol dengan seseorang begitu, jangan hiraukan ya. Jangan takut, jangan didekati. Kecuali pas ada Ibu."
Karena penasaran, aku bertanya menuntut penjelasan dari Ibu.
Aku: “Mengapa, Bu?"
Ibu: “Hmmm bagaimana ya mengatakannya. Ibu takut kalau Adik jadi tidak nyaman tinggal di sini.”
Aku: "Tidak apa-apa. Ibu cerita saja daripada aku penasaran.”
Ibu: “Nenek itu memang mata lahirnya tidak bisa lihat, tapi mata batinnya bisa.”
DEG! Jantungku seakan mau lompat dari tempatnya. Jawaban Ibu masih belum menghilangkan tanda tanya di kepalaku. Aku mengulang lagi pertanyaanku.
Aku: "Maksud Ibu bagaimana ya?”
Ibu: “Jadi Nenek itu bisa lihat yang begituan.”
Aku: “Yang begituan apa sih, Bu?”
Ibu: “Nenek bisa lihat sesuatu yang tidak bisa kita lihat pakai mata lahir, Dik.”
Aku: "Maksud Ibu hantu?”
Ibu hanya menjawab dengan anggukan.
Aku tidak membalas anggukan Ibu. Aku cukup kaget dengan pernyataan Ibu barusan. Berusaha menenangkan diri karena belum ada 24 jam aku di rumah ini, dan sudah harus mengetahui bagaimana kondisi di rumah ini.
Aku terbangun tepat saat azan Subuh terdengar dari pengeras Masjid dekat perumahan. Kusibak selambu dan kulihat bapak-bapak yang berjaga semalam masih terlelap di teras. Kubiarkan saja mereka bangun dengan sendiri, karena kupikir mereka tidur larut karena menjaga kami.
Dengan langkah gontai aku meraih handuk dan melangkah menuju kamar mandi. Di ruang tengah, masih terlihat anak-anak tidur saling berpelukan. Ruang belakang dibiarkan kosong, bahkan kamar Dewi masih terbuka dan berantakan di bagian depan. Aku langsung menuju kamar mandi.
Selesai mandi dan solat Subuh, kuberanikan diri menuju dapur, menyeduh kopi untuk bapak-bapak yang sudah berjaga. Ketika melewati kamar Dewi, diri ini seakan tertarik untuk sekadar menoleh dan melihat bagian dalam. Namun, logikaku menahan dan melawan sehingga aku berhasil melewati kamar itu tanpa menoleh sedikitpun. Hanya tercium bau bunga melati dan dupa sisa semalam. Selebihnya, tetap kubiarkan peralatan mereka berserakan di lantai depan kamar.
Selepas dari dapur, aku melihat Dewi sudah bangun di antara yang lain. Posisinya duduk membelakangiku. Dia hanya duduk diam, tak bergerak dan tak bersuara. Aku melewatinya begitu saja. Memang sengaja kubiarkan dia dalam diam. Sampai di teras, ternyata beberapa bapak sudah bangun. Kuletakkan kopi di dekat pintu masuk. Setelah mempersilakan, aku kembali masuk untuk mempersiapkan diri berangkat kerja. Langkahku berhenti sejenak untuk mengamati Dewi yang masih saja duduk diam memeluk lutut. Kudekati dan kusapa dia.
“Dew, ngapain kok ngelamun?” suaraku sengaja kupelankan agar tak mengganggu yang lain. Namun, Dewi masih saja diam. Kuulang lagi pertanyaanku. “Dew, kamu dengar Mbak kan? Jangan ngelamun, nggak mau lagi kejadian semalam terulang kan?”
Dewi mengangkat kepalanya. Menyeringai ke arahku. Aku mundur beberapa langkah mendapati Dewi di depanku bukanlah Dewi yang sebenarnya. Ada sesuatu di dalam diri Dewi. Ingin teriak untuk membangunkan anak-anak atau bapak-bapak di teras, namun suaraku seperti tertahan di tenggorokan. Kakipun rasanya kaku, tak bisa digerakkan sama sekali. Dalam kondisi seperti ini, aku hanya bisa berdoa dan berharap Dewi tetap dalam posisi duduk saja.
Tapi, harapan tak sesuai dengan kenyataan. Dewi perlahan berdiri dan berjalan mendekatiku. Rambut menutup sebagian wajahnya, sementara wajah yang lain tampak sangat pucat dan sedikit keriput. Langkahnya pelan melewati anak-anak yang masih lelap. Kini, jarak kami hanya sekitar 2 meter. Dewi membuka mulut, menampakkan giginya yang menghitam.
“Dia sudah kurang ajar. Mengobrak-abrik rumahku.” suara Dewi terdengar berat, seperti suara nenek-nenek. Aku masih tercekat diam. Tak sepatah katapun mampu kuucap. Apalagi untuk berteriak. Tangan dan kaki juga sangat sulit digerakkan. Setelah mengatakan itu, Dewi melakukan hal yang membuatku tercengang. Dia menjambak rambut dan memukuli kepalanya sendiri.
Persendianku seakan lepas dari tempatnya, aku goyah. Jatuh terduduk lemas setelah dipaksa melihat pemandangan mengerikan di depanku. Ya, aku hanya bisa diam melihat tanpa bisa melakukan apapun. Sedangkan anak-anak seperti tersihir dan tak kunjung bangun dari tidur mereka. Sampai akhirnya aku tergeletak, dan tiba-tiba semua gelap.
***
Aku tersadar, mendengar beberapa orang mengobrol di ruang tengah. Aku mengenali salah satu suara di antara mereka. Suara Mas Boy. Kugapai HP, kulihat beberapa kali panggilan tak terjawab dan beberapa pesan masuk darinya. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.30. Ah, aku terlambat masuk kerja.
“Dik, sudah bangun?” suara Mas Boy terdengar khawatir. “Aku telepon kamu berkali-kali tapi nggak kamu angkat. Aku khawatir, makanya langsung ke sini. Ternyata kamu ditemukan pingsan di depan kamar Dewi. Ada apa? Kok kamu nggak cerita?”
Ha? Aku pingsan di kamar Dewi? Bukankah posisi terakhir yang aku ingat, aku sedang berada di ruang tengah bersama Dewi yang kesurupan? Tidak, aku tidak mau menceritakan semuanya di sini.
“Mas, ayo antar aku kerja. Aku sudah terlambat. Nanti akan kuceritakan semuanya. Ayo, Mas.” tak kupedulikan pertanyaan Mas Boy dan langsung bersiap berangkat kerja.
“Mbak, sudah sehat? Mbak kenapa?” tanya Mega yang tiba-tiba sudah ada di depan kamarku.
“Hai, Meg. Nggak apa-apa kok. Mungkin kelelaan aja. Nggak usah khawatir ya.“ jawabku seraya melangkah keluar dan menutup pintu kamar. Kondisi rumah cenderung sepi. Aku hanya melihat Mega dan Yesi di ruang tengah.
“Mana yang lain, Meg? Kok hanya ada kamu dan Yesi?”
“Ida dan Ega mengantar Dewi dan Rina ke rumah Bu Yulis, Mbak. Katanya ada yang mau diselesaikan.” Mega menjawab dengan raut muka khawatir. Sementara Yesi hanya berdiri menyimak obrolan kami. Sebelum berangkat kerja, aku berpesan kepada mereka untuk keluar saja, jangan tinggal di rumah sendirian dalam kondisi begini. Mereka mengiyakan. Memang sedang ada jadwal kuliah pagi. Sebentar lagi juga berangkat.
Selasa, hari yang panjang. Menurutku. Apakah semua sudah selesai? Ternyata belum.
***
Kugeser pintu pagar, menimbulkan suara yang nyaring di tengah kondisi rumah yang sepi. Lampu teras masih padam. Menandakan rumah dalam kondisi kosong. Mas Boy masuk dan memarkirkan sepedanya di depan pintu garasi. Kuraih ransel dan mencari kunci pintu depan. Tapi aneh, saat kumasukkan kunci pada lubangnya, pintu depan dalam kondisi tidak terkunci. Mungkinkah sudah ada yang masuk, atau anak-anak tadi lupa tidak menguncinya. Entahlah, kudorong pintu dan kudapati lampu ruang tamu sudah menyala sedangkan ruang tengah dan belakang masih gelap.
“Mas, kok nggak dikunci ya? Mungkin anak-anak sudah ada yang datang.” suaraku memecah keheningan seraya membuka pintu kamar. Mas Boy masih tertegun menghadap ke arah belakang.
“Mas? Kok gitu sih lihatnya. Jangan nakutin ah!”
“Itu sepertinya adik kostmu ada yang sudah datang. Tadi aku lihat dia keluar dari kamar mandi terus jalan ke dapur. Dari perawakannya sih kecil, seperti Ida.” jawab Mas Boy masih tetap memandang ke arah belakang. Padahal aku dari tadi tak melihat apapun.
Mas Boy duduk di ruang tamu, sedang aku berganti pakaian siap untuk mandi. Sialnya, ketika aku masuk kamar mandi lampu mendadak padam. Listrik mati. Aku teriak memanggil Mas Boy, memastikan bahwa listrik benar mati seluruhnya.
“Mas, mati listrik ya?” suaraku terdengar di antara suara kran air. Tak kudengar jawaban dari Mas Boy. Aku masih berpikir positif, mungkin memang tidak dengar. Kumatikan kran air, dan kuulang pertanyaanku sedikit lebih keras.
“Mas? Mas Boy? Mati listrik kah?” karena masih tak kudapati jawaban, akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari kamar mandi. Ternyata semua ruang dalam kondisi gelap. Lalu, ke mana Mas Boy?
Pelan aku berjalan menuju ruang tamu. Sambil meraba menurut tembok, berharap tanganku tak menyentuh sesuatu yang mengerikan. Jujur, aku paling benci kondisi gelap. Karena dada serasa sesak dan tak bisa bernapas karena mata tak bisa menangkap apapun. Dalam kondisi gelap, aku selalu merasa diperhatikan oleh banyak mata. Mungkin saja, eksistensi “mereka” lebih gencar ketika kondisi gelap.
Di ruang tamu, kembali aku bersuara untuk menanyakan keberadaan Mas Boy. Karena memang tak terlihat apapun. “Mas, Mas Boy? Mas Boy di mana? Nggak lucu ah bercandanya. Jangan gitu dong, aku takut beneran lho.” suaraku mungkin terdengar parau, karena memang aku menahan tangis. Sampai detik ini, aku masih tak mendengar jawaban dari Mas Boy. Suasana sangat hening, bahkan aku bisa mendengar suara napasku sendiri.
Aku masih diam di tempat. Takut untuk bergerak. Perasaanku mengatakan bahwa ada seseorang yang berdiri tak jauh dariku. Karena aku dengar ada suara napas yang lain, selain napasku. Mungkinkah itu Mas Boy?
“Mas Boy, jawab dong Mas di mana? Jangan bercanda begitu. Huhuhu...” kini tak bisa lagi kutahan tangisku. Aku benar-benar merasa tertekan karena ketakutanku sendiri. Sekali lagi, jawaban Mas Boy tak kunjung kudapatkan. Namun, suara napas yang berat itu masih ada. Kurasa, suara itu berasal dari belakangku. Dari arah ruang makan. Mungkin hanya berjarak 3 meter. Tapi, nyaliku ciut untuk sekadar menoleh dan memastikan suara napas siapa.
Dalam hati aku berdoa semoga itu benar Mas Boy yang sedang mengerjaiku. Namun, jawaban lain yang kudapatkan. Apa itu? Bau bunga kenanga. Samar aku mencium bau bunga itu. Awalnya masih samar, lama-lama semakin tercium kuat, seakan sumber wangi itu sedang berjalan mendekat. Aku tentu tahu siapa sumber wangi itu.
Aku masih berdiri gemetar. Ketakutan itu semakin kuat menekanku. Aku menangis terisak. Lama-lama, kaki ini tak kuasa menahan badan. Aku terduduk lemas. Pasrah akan keadaan yang akan terjadi. Mau teriakpun percuma. Mau lari, aku tak bisa melihat arah dalam kondisi gelap begini. Yang bisa kulakukan hanya berdoa di antara isak tangisku. Aku duduk meringkuk memeluk lutut. Suara itu semakin mendekat, wanginya semakin kuat.
Sampai akhirnya...
KLAP!!!
Lampu menyala seluruhnya. Aku bangkit, mengedarkan pandangan. Kupikir aku berada di ruang tamu, ternyata aku berada di pintu kaca antara ruang tengah dan ruang belakang. Bukankah aku tadi berjalan ke kiri, ke arah ruang tamu? Sudahlah, yang penting lampu sudah menyala. Tapi, di mana Mas Boy?
“Mas, Mas Boy di mana?” teriakku entah untuk yang keberapa. Berharap kali ini mendapat jawaban.
“Ya, Dik. Aku di belakang. Sebentar.” suara Mas Boy terdengar dari arah belakang. Aku diam menunggu kemunculannya. Tak lama, Mas Boy terlihat berjalan dari arah sisi dapur. Sambil tersenyum dia berkata, “Malam ini sepertinya akan seru. Lebih baik kamu tidur mengungsi saja. Aku yakin, adik kost tidak ada yang berani untuk pulang.”
“Bukankah tadi Mas bilang Ida sudah ada di kost? Mas lihat Ida di dapur kan?”
“Coba sekarang kamu hubungi semua.”
Aku langsung menuju kamar, mangambil HP dan mengirim pesan di grup whatsapp penghuni kost. Pesan yang sangat singkat.
Dik, kalian di mana?
Tak butuh waktu lama, Mega yang menjawab pertama.
Aku dan Yesi masih di kampus, Mbak. Mungkin menginap untuk persiapan kegiatan diklat besok.
Aku pikir itu hanya alasannya saja agar tidak tidur di kost malam ini.
Beberapa menit kemudian, pesan balasan dari Ida masuk.
Aku masih di warnet, Mbak. Setelah ini kerja kelompok makalah. Mungkin juga menginap di kost teman, karena besok kelompok kami presentasi.
Lagi-lagi jawaban yang menurutku hanya sebagai alasan dari mereka untuk menghindari tidur di kost. Aku kembali ke ruang tengah, Mas Boy masih duduk tenang sambil mulutnya terus merapal doa.
“Mas, anak-anak mungkin tidur di luar. Aku tidur di rumah Mbak Lilis saja. Ayo antarkan aku.” ucapku yang dijawab anggukan oleh Mas Boy. Aku kembali ke kamar dan menyiapkan baju kerja untuk besok, semua perlengkapan mandi dan kerja kumasukkan dalam satu tas ransel. Malam itu, aku akan mengungsi tidur di rumah Mbak Lilis, teman sekantorku. Setelah semua selesai, kami bersiap keluar dan duduk sebentar di teras untuk kembali menata bawaan.
Tak kuduga, Mas Boy beristighfar sangat keras dan menyuruhku untuk bergegas pergi dari rumah itu. Karena tak lama, kami mencium bunga kenanga yang sangat kuat. Aku menduga anak kecil itu berada tak jauh dari kami. Benar saja, tak lama setelah itu lampu ruang tamu terlihat kedip-kedip mati menyala dengan sendirinya. Setelah itu, pintu depan yang sudah kukunci seakan didobrak dari dalam sehingga menimbulkan suara yang keras. BRAAK...BRAAK... begitu berkali-kali. Aku yang panik segera membawa barangku sekenanya. Mas Boy sudah siap di atas sepeda motornya.
Ketika aku akan menutup pagar, sempat aku melirik jendela ruang tamu. Anak itu berdiri sambil menyeringai ke arahku. Tubuh kecil dengan muka keriput dan rambut yang berantakan. Jauh dari kesan manis yang selama ini dia selalu tunjukkan. Malam itu, dia sangat mengerikan. Aku mempercepat gerakanku dan mengunci pagar sebisanya. Tanpa komando, Mas Boy sudah menghidupkan mesin motor. Setelah aku naik, dia langsung tancap gas meninggalkan rumah itu.
Setelah hampir sampai di ujung perumahan, sekali lagi aku menengok ke belakang, ke arah rumah itu. Terlihat rumah sudah dalam kondisi gelap total. Padahal rumah lain kondisi lampu menyala terang. Aku teringat, lalu kutanyakan saja pada Mas Boy.
“Mas, tadi beneran mati lampu ya? Pas aku mau mandi? Terus Mas Boy ke mana sih kok aku panggil nggak jawab?”
“Nanti saja aku cerita. Ayo cari makan dulu, aku lapar.”
Tak lama, motor Mas Boy sudah terparkir di tempat biasa kami bertemu. Setelah memesan makanan, Mas Boy bersiap untuk menceritakan yang terjadi.
“Dik, lebih baik kamu cari tempat baru. Kondisi sudah tidak aman. Karena adik kost kamu sudah melewati batas.” raut Mas Boy tampak serius mengatakan itu. Dia melanjutkan kalimatnya.
“Tadi sebenarnya tidak mati lampu, dia yang mematikan saklar pusat listrik di dapur. Karena itu, aku langsung menuju ke dapur untuk menyalakannya lagi. Belum sampai aku meraih saklar, dia menahanku. Dia sangat marah. Karena dia merasa selama ini dia tidak pernah mengganggu, tapi teman-temanmu yang mengganggunya. Saranku, kamu harus pindah. Kalau bisa besok.”
“Tapi Mas, bagaimana bisa dia menerorku seperti itu. Aku kan tidak ikut main kemarin.”
“Sudahlah, itu tidak penting. Yang penting kamu harus cari tempat yang baru. Bukankah kamu menginginkan tempat yang nyaman dan tenang?”
Benar apa yang Mas Boy katakan. Aku tak lagi mendebatnya. Besok, aku akan cari tempat kost baru. Malam ini aku akan tidur di rumah Mbak Lilis. Dia adalah teman sekantorku. Setelah makan, kami menuju rumah Mbak Lilis, yang sebelumnya sudah kutelepon.
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 ketika kami sampai di halaman rumah Mbak Lilis. Setelah menunggu beberapa lama, Mbak Lilis membukakan pagar dan mempersilakan kami masuk. Tentu tak kujelaskan alasan mengapa aku menumpang tidur di rumahnya. Aku hanya mengatakan kalau aku tidur sendirian di kost.
Di sini, dia hanya tinggal berdua dengan anaknya, sementara suaminya bekerja di luar kota. Sedikit gambaran rumah Mbak Lilis. Rumah yang cukup besar dan memanjang, terhitung besar jika hanya di tempati oleh dua orang.
Bagian samping rumah, ada bangunan bekas toko yang dikosongkan dan dijadikan garasi. Bagian depan ada teras, kemudian ruang tamu. Seberang ruang tamu ada satu kamar utama. Sebelah kamar utama ada ruang keluarga. Sebelah lagi ada dua kamar berjejer, yang satu difungsikan untuk tempat ibadah.
Kemudian ada beberapa tangga menurun menuju ruang makan, gudang, dapur, dan toilet. Di seberang ruang makan ada tiga kamar berjejer. Satu kamar paling depan untuk tempat lemari pakaian, kamar tengah untuk tempat tidur tamu, kamar paling belakang adalah gudang. Total ada enam kamar. Dapur ada di sebelah kamar gudang, dibatasi pintu kayu model kuno.
Oh iya, di sebelah tangga menurun ada pintu kayu lagi, menuju ke toilet dan jemuran di lantai dua. Sebagai tambahan, di kamar gudang ada tangga kayu menuju kamar di lantai dua. Belakangan kuketahui bahwa di kamar itu dulu dijadikan sarang burung walet. Sekarang kondisinya kosong setelah mengalami kebakaran beberapa waktu lalu.
Di rumah inilah beberapa hari ke depan aku akan mengungsi. Dan pada akhirnya, aku juga akan pindah ke rumah ini. Dengan modus untuk menemani Mbak Lilis yang memang kerap sendirian di rumah, padahal aku ingin lari dari ketakutan di rumah kost. Namun, siapa sangka bahwa rumah ini justru menyimpan lebih banyak penghuni dan misteri masa lalu.
Mantap gila,serem banged cerita yg part ini... Dewi sama Rina kurang kerjaan banged sih,org tg gak ada hubungan sama keisengan mereka kena imbasnya juga
Original Posted By sukaskusuka►Dewi Rina dan yg lain mungkin sudah lulus kuliah, karena peristiwanya kan sudah 4 tahun yg lalu. Tidak ada komunikasi lagi dengan mereka. Terakhir komunikasi tahun 2017 pas saya nggak sengaja ktm di tempat makan, itupun mereka sudah pindah kost.
Tp kan ada grup WA? emang sudah nggak nyambung?
Iya, saya memutuskan keluar grup juga setelah saya pindah dari kost itu. Tujuannya jelas untuk mendapatkan ketenangan dan melupakan peristiwa di sana...
Original Posted By sukaskusuka►DIBUKA SESI TANYA JAWAB TERKAIT KOST SAYA. BAIK YG LAMA MAUPUN YG BARU, SAYA TUNGGU SAMPAI JAM 22.00, SAMBIL NYICIL NULIS PART 13.
SILAKAAANNN....
Kost yg baru juga ada penghuni yg tak kasat mata mbak???
Original Posted By sukaskusuka►DIBUKA SESI TANYA JAWAB TERKAIT KOST SAYA. BAIK YG LAMA MAUPUN YG BARU, SAYA TUNGGU SAMPAI JAM 22.00, SAMBIL NYICIL NULIS PART 13.
Anda akan meninggalkan Stories from the Heart. Apakah anda yakin?
Lapor Hansip
Semua laporan yang masuk akan kami proses dalam 1-7 hari kerja. Kami mencatat IP pelapor untuk alasan keamanan. Barang siapa memberikan laporan palsu akan dikenakan sanksi banned.