Original Posted By sukaskusuka►Senin malam. Sekira pukul 19.40.
Beberapa hari sepeninggal Ibu kost dan keluarga, rumah ini kembali sepi. Hanya aktivitas monoton yang penghuni kost lakukan. Mandi. Makan. Nonton TV. Tidur. Begitu saja. Pun dengan malam ini. Semua penghuni kost berkumpul di ruang tengah untuk melihat TV, lengkap beserta Bu Yulis.
Aku masuk kamar lebih awal dari biasanya. Karena hari Senin adalah hari padat di tempat kerja. Sekadar rebahan adalah imbalan yang sepadan untuk badan ini. Sembari membalas pesan dari Mas Boy, sesekali aku iseng membaca artikel tentang dunia mistis. Entah, sejak mengenal Tata aku seperti penasaran dengan hal berbau mistis.
Tiba-tiba nada panggilku berdering, nama Mas Boy tertulis di layar HP. Kugeser layar ke kanan untuk menjawab teleponnya.
“Assalamualaikum...” sapa suara di ujung sana.
“Waalaikum salam, Mas. Tumben kok telepon?”
“Nggak apa-apa kan kalau aku telepon? Masa nggak boleh?”
“Ya nggak apa-apalah. Ada apa?” dengan bermalas-malas aku meladeni obrolan Mas Boy yang hanya basa-basi. Sampai di suatu pembahasan, Mas Boy kembali menyinggung tentang “penghuni rumah ini”.
“Dik, gimana? Aman?” tanya Mas Boy memulai topik baru.
“Alhamdulillah aman, Mas. Tapi yang di sebelah itu kadang malam-malam nangis. Kalau pas rame sih aku berani, kalau pas di kost sendiri ya takut juga.”
“Malam ini bagaimana?” tanya Mas Boy penasaran. Memang beberapa hari dia tidak sempat mampir karena kesibukan kami masing-masing.
“Semoga aman, Mas.”
“Oke, kalau ada apa-apa langsung telepon ya. Ya udah assalamualaikum.” ucap Mas Boy mengakhiri percakapan.
“Waalaikumsalam...”
Tuut...tuut...tuut...
***
Aku tertidur begitu saja, dan terbangun pada pukul 23.00 karena merasa haus. Untung persediaan air di kamar masih banyak, jadi tak perlu ke dapur untuk mengambil air minum. Dengan malas aku berjalan meraih gelas dan menuangkan air hingga separuh ke dalamnya. Setengah sadar aku seperti mendengar suara isak tangis. Aku mengira itu adalah “penghuni sebelah”, seperti biasa aku tidak menghiraukannya. Lama-lama aku terbiasa dengan suara itu.
Namun, malam ini suara tangis itu terdengar sangat pilu dengan durasi yang lebih lama. Sebenarnya aku malas untuk keluar mencari tahu. Tapi entah mengapa, malam ini aku sangat penasaran. Kadang, tidak tahu apa-apa justru lebih baik.
Aku masih diam di tempat sambil terus mendengar suara tangis di sebelah. Lamat-lamat suara itu berganti jadi tertawa cekikikan, lalu suara langkah kaki bersautan. Kutempelkan telinga di tembok samping, namun suara itu tidak berasal dari garasi samping, seperti berasal dari ruang tengah.
Lama-lama aku juga mendengar seperti orang mengaji dengan suara keras, seperti berteriak. Tidak, itu suara Dewi. Mungkin juga Rina. Ditambah suara langkah kaki bersautan yang semakin banyak. Mengarah ke ruang tamu dan menuju teras. Mereka terus berteriak mengucap doa sambil berlari ke depan. Aku yang penasaran langsung keluar kamar dan mengikuti mereka.
Setelah sampai di depan rumah, mereka masih terlihat panik. Bahkan Dewi menangis histeris di pelukan Mega. Sementara Yesi dan Ega berusaha menenangkan Rina yang seakan mau pingsan. Ida yang nampak kebingunan dengan ekspresi seperti bangun tidur yang dipaksakan. Tak kulihat Bu Yulis di antara mereka.
“Ada apa, Da?” kuhampiri Ida yang terus menguap di tengah teriakan histeris teman-temannya.
“Nggak tahu, Mbak. Tadi aku dibangunin Ega. Terus ikut lari sama mereka. Kupikir ada gempa bumi.” jawab Ida dengan santainya. Tidak puas dengan jawaban yang Ida berikan, aku beralih tanya kepada Mega.
“Meg, ada apa?”
“Nanti saja Mbak tanya langsung sama pelakunya. Dia yang buat jadi begini, Mbak.” pun jawaban Mega masih membingungkanku.
“Pelaku? Maksudnya? Ada maling? Kita panggil warga ya?” belum sempat aku pergi, Mega menahan tanganku.
“Bukan, Mbak. Tanya saja pada Bu Yulis. Itu dia.” kali ini Mega menjawab dengan ketus sambil menunjuk seseorang yang baru keluar dari rumah dengan keringat mengucur deras dari dahinya. Baju yang dikenakan pun tampak carut. Sungguh aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
Tak lama, Bu Yulis sudah bergabung dengan kami. Langsung saja kutanya apa yang terjadi sehingga anak-anak ketakutan seperti ini.
“Maaf, Bu. Ini ada apa ya?” belum sampai Bu Yulis menjawab, aku mencium bau kenanga sangat menyengat. Kucari sumber bau ini. Tak lama kemudian, aku menemukan jawabannya. Ya, sumber bau ini ada di ruang tamu. Sedang mengintip kami di balik selambu. Anak kecil itu. Menatap kami dengan raut marah. Tak seperti biasanya. Menahan takut aku memberanikan diri melihatnya, gurat marah tergambar di wajahnya. Kepolosannya hilang sudah, berganti dengan ekspresi menakutkan yang selama ini tak kuketahui.
“Bu Yulis, ada apa?”
Kembali pertanyaan itu kulontarkan kepadanya. Namun tak kunjung kudapat jawaban yang jelas. Sampai akhirnya Dewi membuka suara dan menjelaskan semuanya.
“Jadi begini, Mbak...”
***
(Cerita berdasarkan penuturan Dewi, sudut pandang penulis adalah orang ketiga serba tahu)
Malam itu, Dewi, Rina, dan Bu Yulis sepakat akan melakukan hal yang sudah lama mereka rencanakan. Semua perlengkapan sudah mereka persiapkan. Boneka batok, papan kayu, tulisan abjad A-Z, dan angka 0-9 sudah tertempel di papan kayu itu. Ditambah tulisan IYA dan TIDAK di pojok kanan dan kiri papan kayu. Tak lupa, bunga dan dupa sebagai syarat utama kegiatan mereka, tentu sudah disiapkan juga.
Setelah puas melihat TV di ruang tengah bersama yang lain, Bu Yulis mengode Dewi dan Rina untuk ikut bersamanya. Mereka melangkah menuju depan, mengambil beberapa tanah di taman depan dan dimasukkan ke dalam kain putih. Setelah itu, mereka menuju kamar untuk mempersiapkan semuanya.
Sambil menunggu waktu yang tepat, mereka kembali keluar kamar untuk memastikan bahwa semua penghuni kost sudah terlelap. Atau minimal, sudah berada di kamar masing-masing. Dan waktu yang dinanti pun tiba.
Pukul 22.00 tepat. Kondisi di luar sudah sepi.
“Dew, Rin, sudah siap?”
“Siap, Mbak. Yakin aman kan?”
“Yakin. Aman.”
“Ini daftar pertanyaan yang akan kita tanyakan pada anak itu, Mbak.”
“Oke Rin, sini aku yang bawa. Kita mulai ya. Semua tangan pegang pensil ini. Jangan ada yang melepas apapun yang terjadi. Jangan berteriak, jangan takut, jangan memejamkan mata. Kita harus hadapi semua bersama.”
“Baik, Mbak.”
Bu Yulis pun mulai membaca mantra pemanggilan itu. Ya, benar saja. Malam itu mereka sedang bermain ritual ja*langk*ng tanpa sepengetahuan penghuni kost yang lain.
“Mbak, kok aku mulai merinding.” kata Rina tiba-tiba.
“Aku juga, Mbak. Apa dia sudah datang?” tambah Dewi yang mulai gemetar tangannya.
“Tunggu sebentar lagi. Tenang saja, ini baru akan dimulai. Bukankah kalian penasaran dengan anak kecil itu. Malam ini akan kita ungkap semua.”
Bu Yulis kembali mengucap mantra sekali lagi. Kali ini dengan suara lebih menekan tinggi. Tak lama, nampak pensil yang mereka pegang gemetar hebat. Dewi dan Rina saling pandang. Mereka masih ingat pesan Bu Yulis, apapun yang terjadi jangan lepas tangan dari pensil itu. Namun, takut tetap saja takut.
“Dia sepertinya sudah datang. Aku mulai tanya ya.” kata Bu Yulis seraya membuka kertas daftar pertanyaan yang telah mereka buat sebelumnya.
“Apakah kamu sudah datang?”
Pensil itu masih bergetar, namun tak bergerak. Bu Yulis mengulang pertanyaannya lagi.
“Apakah kamu sudah di sini?”
Perlahan pensil bergerak menuju pojok kanan papan. Ya, pensil itu menunjuk kata IYA. Dewi dan Rina nampak semakin pucat. Sementara Bu Yulis masih bisa tersenyum tipis. Kembali pertanyaan Bu Yulis ucapkan.
“Apakah kamu penghuni rumah ini?”
Dengan cepat pensil itu bergerak menuju kata IYA. Spontan Rina langsung melepas genggamannya dan berteriak untuk menghentikan semuanya. Dia berlari menuju tempat tidur dan meringkuk sambil menarik selimut sampai menutupi bagian lehernya. Sementara Bu Yulis dan Dewi masih melanjutkan kegiatan itu.
“Bagaimana Dew? Lanjut?”
“Lanjut, Mbak. Nanggung.” jawaban Dewi terdengar mantab di tengah ketakutannya. Rina hanya melihat mereka dari balik selimut. Sesekali dia menggigil ketakutan dan mulai merapal doa-doa yang dia ketahui.
“Apakah kami boleh mengetahui tentang kamu?”
Kali ini, pensil bergerak dengan cepat menunjuk kata TIDAK.
“Apakah kamu marah jika kami mengetahui tentangmu?
Kembali pensil menunjuk kata TIDAK.
“Apakah kami boleh melanjutkan bertanya yang lain?”
Lagi-lagi pensil menunjuk kata TIDAK. Kali ini pensil terus menerus melingkari kata TIDAK. Dewi dan Bu Yulis pun tak kuasa menghentikannya. Sampai akhirnya Dewi berteriak histeris dan kesurupan. Rina yang melihat Dewi kesurupan semakin takut dan semakin kencang melafalkan doa-doa. Hingga tanpa sadar mereka telah membuat penghuni kost yang lain terbangun dan berbondong menuju kamar mereka.
“Ada apa ini?” Mega yang pertama membuka kamar Dewi dan terkejut melihat Dewi teriak-teriak sambil terus dipegangi oleh Bu Yulis. Sementara Yesi dan Ega merangsek masuk untuk meraih Rina yang menangis histeris untuk dibawa keluar kamar.
“Tolong bantu saya pegang kepalanya.” pinta Bu Yulis yang mulai terlihat panik. Seraya membaca sesuatu, Bu Yulis menekan jempol kaki Dewi hingga dia berteriak semakin tidak karuan.
“Ada apa ini, Mbak?” pertanyaan Mega tak digubris oleh Bu Yulis yang terus menerus merapal sesuatu. Tak lama, Dewi sudah tersadar dan menangis memeluk Mega.
“Ga, tolong bangunin Ida. Dia masih di kamar. Barangkali bisa bantu.” Mega meminta Ega untuk membangunkan Ida.
Beberapa menit kemudian, Ida dan Ega sudah berada di depan kamar Dewi. Hanya selang beberapa detik, mereka mencium semerbak bau kenanga. Disusul dengan teriakan Dewi sambil menunjuk arah dapur. Mereka melihat anak itu berdiri di sana dengan ekspresi kemarahan yang menakutkan. Sontak semuanya berlari ke depan. Kecuali Bu Yulis, dia masih bertahan di tempat sambil terus melihat ke arah anak itu.
***
(Cerita Dewi berakhir. Sudut pandang penulis kembali seperti sebelumnya. Orang pertama serba tahu)
Begitu cerita Dewi kepadaku. Melihat yang lain masih ketakutan, aku memutuskan untuk mengajak mereka ke pos ronda depan perumahan. Beruntung di sana kami bertemu beberapa bapak-bapak yang sedang tugas menjaga keamanan. Setelah menceritakan semuanya, akhirnya beberapa bapak bersedia menemani kami untuk kembali ke kost. Dengan catatan, mereka tidur di teras luar dan kami di dalam.
Peristiwa malam itu tak kuceritakan kepada Mas Boy, atau lebih tepatnya belum kuceritakan. Selain sudah larut malam, aku juga tak mau membuatnya khawatir. Setelah suasana berangsur tenang, aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Bu Yulis memutuskan pulang, sementara Mega, Yesi, Ida, Ega, Dewi, dan Rina memutuskan untuk tidur bersama di ruang tengah. Mereka masih enggan untuk beraktivitas di ruang belakang.
Sembari mencoba tidur, tanpa sengaja aku mendengar percakapan bapak-bapak di teras. Ya, letak teras memang tepat di depan kamarku. Samar kudengar mereka berbincang.
“Bukankah rumah ini yang dulu pernah ditemukan mayat bayi itu?” tanya salah seorang Bapak.
“Kata Bapakku sih begitu.” jawab Bapak yang lain.
“Sudahlah, jangan dibahas di sini. Besok saja kita lapor Pak RT. Kasihan anak-anak itu kalau terus diganggu begini. Ayo kita gantian berjaga.” ucap Bapak yang lain. Selebihnya, aku hanya mendengar obrolan ringan di antara mereka. Sampai akhirnya aku berhasil terlelap hingga pagi hari.