Merupakan cerita horor sekuel yang langsung dialami oleh penulis. Benar atau tidak, penulis hanya menuliskan semua kejadian yang pernah penulis alami sendiri. Percaya atau tidak, penulis serahkan sepenuhnya kepada pembaca. Karena kebenaran yang sejati hanya milik-Nya semata.
Selamat membaca.
Part 1. Rumah Kost Tua
Cerita ini terjadi di tahun 2015 lalu.
Mendapat pekerjaan setelah lulus sekolah adalah dambaan semua orang, begitu pula denganku. Lulus kuliah aku langsung mendapat pekerjaan di sebuah sekolah X di Kota Apel. Kebetulan tempat kerjaku ini berada di luar kota kelahiranku. Mencari rumah kost adalah satu-satunya solusi yang masuk akal untuk bertahan hidup. Siapa sangka bahwa pencarian rumah kost ini adalah awal kehidupanku bersentuhan dengan kehidupan lain.
Waktu itu aku mendapat tawaran dari teman sejawat, bahwa di dekat tempat kerjaku ada rumah saudaranya yang kebetulan hanya ditempati dua orang wanita. Ada satu kamar kosong, dan aku diminta untuk menempatinya dengan biaya yang lebih murah, lumayan pikirku waktu itu. Rumah ini dekat dengan kampus swasta kesehatan.
Pemilik rumah adalah seorang ibu kisaran usia 45 tahun dan seorang Nenek kisaran usia 70 tahun yang kondisinya sedang sakit (tidak bisa melihat, katarak). Sedikit gambaran tentang kostku. Rumah tua dengan pohon mangga di halaman depan. Tanpa pagar dan gapura masuk rumah. Ada beberapa ruangan di rumah ini. Aku memilih kamar paling depan, dekat dengan jalan raya. Terletak di samping ruang tamu. Sebelah kamarku adalah kamar pemilik rumah beserta Nenek. Sebelah kamar Ibu ada gudang yang di dalamnya berserakan kotoran tikus, seberang gudang ada dapur kecil. Sebelah dapur ada pintu menuju kamar mandi dan tempat menjemur cucian. Semua lantai rumah masih ubin zaman dulu.
Ukuran kamarku cukup luas, 3 x 4 meter. Dengan satu lemari kayu di pojok ruangan yang bercermin oval di bagian tengahnya. Ranjang tidur dari besi seperti zaman dulu. Sebuah meja bundar juga dari besi yang permukaannya bolong-bolong kecil seperti diplong kertas dengan vas bunga kecil di atasnya. Serta sarang laba-laba yang menempel di beberapa bagian dinding. Tentu saja lantai kamar masih dari ubin.
Semenjak pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini, aku mencium aroma keganjilan yang tak dapat dijelaskan. Bangunan tua berkolaborasi dengan kesunyian mengundang rasa penasaranku untuk mengulik kehidupan di dalamnya. Sepertinya aku bisa merasakan aura itu dalam rumah ini, di kamarku.
Setelah beberes kamar dan memasukkan beberapa baju ke lemari, aku merebahkan diri di kasur kapuk sambil bermain HP. Kasur kapuk berseprei corak bunga warna merah yang melengkung di bagian tengah, seakan pernah ada seseorang yang telah lama tidur di atasnya. Selimut garis yang kerap kita temui di ranjang rumah sakit, juga terlipat rapi di sana.
Aku masih ingat waktu itu pukul 4 sore. Aku merebahkan diri sambil mendengar musik dangdut melalui headset. Tiba-tiba samar aku mendengar suara orang sedang ngobrol di luar. Pikirku mungkin Ibu sedang ngobrol dengan Nenek. Seperti sedang asyik berbincang menggunakan bahasa Indonesia. Oh ya, Ibu kostku asli Kalimantan, jadi tidak begitu lancar berbahasa Jawa.
Setelah melepas lelah, aku keluar kamar berniat ikut nimbrung dengan mereka supaya lebih akrab, sekalian mau mandi. Ketika sudah di luar, aku hanya menjumpai Nenek sedang duduk di depan TV yang tidak menyala. Aku tidak menaruh curiga waktu itu, karena pikirku Ibu sudah pergi. Ok, aku langsung mandi.
Setelah mandi aku menemui Ibu yang sedang memasak di dapur, kemudian aku iseng bertanya.
Aku: “Tadi ngborol apa Bu sama Nenek, kok seru sekali?”
Ibu: "Ngobrol apa, Dik? Kapan?”
Aku: “Barusan sih, Bu. Sebelum aku mandi.”
Ibu: “Lah! Mana mungkin wong Ibu dari tadi ke warung beli sayur ini mau dimasak. Pintu depan Ibu kunci kok. Memang Adik dengar bagaimana?”
Aku mulai curiga tapi masih bisa kusamarkan.
Aku: “Hmmm lupa deh, hehe. Mau masak apa nih, Bu? aku bantu ya."
usahaku mengalihkan pembicaraan.
Ibu: “Masak tumis saja ya, nanti buat makan malam kita.”
Aku: Oke siap!"
Kami asyik ngobrol sambil menyiapkan masakan. Tentang asalku. Mengapa aku memilih bekerja jauh dari kota asal. Mengapa Ibu kost bisa merantau ke Jawa, dan masih banyak lagi.
Sampai akhirnya Ibu kost mengatakan hal yang menjadi tanda tanya bagiku.
Ibu: “Dik, nanti kalau misal Adik mendengar atau melihat Nenek bicara sendiri, seperti ngobrol dengan seseorang begitu, jangan hiraukan ya. Jangan takut, jangan didekati. Kecuali pas ada Ibu."
Karena penasaran, aku bertanya menuntut penjelasan dari Ibu.
Aku: “Mengapa, Bu?"
Ibu: “Hmmm bagaimana ya mengatakannya. Ibu takut kalau Adik jadi tidak nyaman tinggal di sini.”
Aku: "Tidak apa-apa. Ibu cerita saja daripada aku penasaran.”
Ibu: “Nenek itu memang mata lahirnya tidak bisa lihat, tapi mata batinnya bisa.”
DEG! Jantungku seakan mau lompat dari tempatnya. Jawaban Ibu masih belum menghilangkan tanda tanya di kepalaku. Aku mengulang lagi pertanyaanku.
Aku: "Maksud Ibu bagaimana ya?”
Ibu: “Jadi Nenek itu bisa lihat yang begituan.”
Aku: “Yang begituan apa sih, Bu?”
Ibu: “Nenek bisa lihat sesuatu yang tidak bisa kita lihat pakai mata lahir, Dik.”
Aku: "Maksud Ibu hantu?”
Ibu hanya menjawab dengan anggukan.
Aku tidak membalas anggukan Ibu. Aku cukup kaget dengan pernyataan Ibu barusan. Berusaha menenangkan diri karena belum ada 24 jam aku di rumah ini, dan sudah harus mengetahui bagaimana kondisi di rumah ini.
Aku masih ingat malam itu aku hendak tidur. Merebahkan diri dengan HP di tangan, membalas beberapa pesan masuk dari Mas Boy. Suasana ruang tengah masih ramai dengan suara Bu In, Pak Iwan, Mega, dan Tata yang bercengkrama. Sesekali diiringi gelak tawa mereka, suara Tata yang mendominasi. Icha mungkin sudah tidur. Sari, entahlah. Mungkin duduk menyendiri di pojok ruang. Ida dan Ega masih betah di warnet. Sedang Dewi dan Rina mungkin akan menginap lagi di rumah Bu Yulis.
Pukul 21.30
Ruang tengah mulai sunyi. Hanya televisi yang masih bersuara, entah menghibur siapa. Aku dikejutkan oleh suara ketukan di jendela kamar. Siapa yang iseng malam-malam begini? Kusibakkan selambu dan kudapati Tata sedang tertawa jahil di balik jendela. Lambaian tangannya menyuruhku untuk menghampiri. Apa yang dilakukan Tata malam-malam begini di luar rumah?
Aku masih ragu untuk membuka jendela. Sampai akhirnya suara Tata kembali mengejutkanku dari balik pintu kamar. Kulihat dia sudah lenyap di balik jendela. Dasar anak yang aneh.
“Mbaaakkk, belum tidur kan? Ayo buka dong. Katanya mau tanya tentang anak kecil di belakang?” kali ini rayuan Tata benar-benar menggodaku.
Krieeett...
Kubuka pintu kamar, melihat sekeliling sejenak.
“Bapak Ibu mana?” tanyaku.
“Ayah keluar, mungkin ke POS ronda depan. Bunda sudah tidur sama Ica di kamar. Kak Sari tidur sama Mbak Mega di kamar belakang. Tinggal aku aja yang masih bernyawa. Hihihi...”
“Kamu ngapain belum tidur?”
“Aku masuk kamar dulu boleh? Nggak enak cerita di sini. Nanti takut dia dengar. Hihihi...” belum juga aku mempersilakan, Tata sudah merangsek masuk kamar dan langsung merebahkan diri di kasurku.
“Enak kalau di sini, adem. Mbak Dewi, Mbak Rina ke mana?” tanpa komando Tata mengambil snack di meja dan langsung menyantapnya.
“Kan tadi aku sudah bilang kalau mereka nginap di rumah temannya. Hei! Itu jangan dihabiskan sendiri, sini bagi dong!” seraya kurebut camilan dari tangannya. Sisa separuh.
“Yeee Mbak pelit amat! Nggak nginap kok. Paling sebentar lagi pulang.”
“Dasar sok tahu!”
“Lihat aja nanti. Pulang sambil bawa teman baru. Hihi...” sambil mengedip genit dia mengatakan itu. Tidak. Bukan genit, tapi jahil. Pasti ada maksud lain dari kalimatnya itu.
Tata, anak ini sungguh menyimpan sejuta misteri. Dalam diam aku menyimak kata demi kata, kalimat demi kalimat yang dia ucap. Anak kecil yang mungkin belum akil balig, yang seharusnya masih bersenang-senang bermain tanpa beban, harus hidup dalam kepungan mereka, yang tak semua orang dapat merasakan kehadirannya. Tapi Tata seakan menikmati, tidak pernah nampak ekspresi ketakutan di wajahnya.
“Mbak, aku tidur sini boleh ya?” suara Tata menyadarkanku dari lamunan.
“Ya bagaimana bisa, ini kan kasur untuk satu orang, Ta.”
“Yah, Mbak. Aku tidur bawah juga nggak apa-apa kok.” Kini wajah memelas yang dia nampakkan, seperti biasa, sambil mengedipkan mata.
“Kamu ini, tidur di kamar tengah kan ada dua kasur di sana.”
“Aku ingin dengar suara tangisan malam ini, di garasi. Hehehe...”
“Ngaco ih, nggak ah! Tidur sama Ibu sana! Aku mau tidur nyenyak malam ini. Nggak mau ada gangguan apapun!”
Suara klakson menghentikan perdebatan kami.
“Tuh, Mbak. Dia datang.”
“Dia siapa?”
“Mbak Dewi, Mbak Rina, dan Mbak-mbak yang lain. Hihihi...”
“Maksud kamu? Jangan sembarangan ah ngomongnya! Mereka juga nggak akan suka kalau kita jadikan guyonan, Ta.”
“Siapa yang bercanda sih, Mbak? Ya begini ini susahnya ngomong sama orang yang nggak bisa lihat apa yang kita lihat. Suka ngeyel. Udah sana bukain pagarnya.”
“Kamu aja!”
“Yeee, Mbak takut kan? Hihihi...”
“Udah sana bukain.” sambil kulempar kunci pagar kepada Tata. Dia masih tertawa jahil ketika keluar kamar.
Suasana di luar sudah sangat sepi. Bahkan suara hewan malampun lirih saja kudengar. Aku berjalan ke dapur berniat untuk mengambil minum. Tapi, wangi bunga kenanga menghentikan langkahku di ambang pintu kaca. Bau ini, seperti bau ketika anak kecil itu hendak menampakkan diri. Atau mungkin dia akan wujud lagi malam ini?
Entah mengapa lorong taman menuju dapur jadi terlihat lebih panjang dan gelap. Perasaanku ragu untuk meneruskan langkah menuju dapur. Tapi, persediaan air minum di botol sudah habis. Mau tidak mau aku harus ke dapur untuk isi ulang. Kumantapkan langkah. Sambil bernyanyi aku berusaha mengusir pikiran negatif. Sampai dapur, botol akan segera kuisi penuh dan langsung kembali ke kamar. Sederhana bukan. Hiburku dalam hati.
Lampu dapur selalu dalam kondisi mati di malam hari. Gelap tentu saja. Kucari saklar lampu dan menekannya dengan buru-buru. Tiba-tiba, suara yang familiar terdengar di belakangku.
“Mbak, hati-hati ya. Di sini sudah ramai.”
“Iya, kamu ngapain di sini? Mau minum juga, Ta?”
Hening.
“Ta?”
Masih hening.
“Ta?”
Bau kenanga kembali menyerbak. Merinding seketika sekujur tubuhku. Belum penuh botol kuisi, aku langsung berbalik dan berlari sekencangnya menuju ruang tengah. Tidak sempat kumatikan lampu dapur. Sampai pintu kaca, aku berhenti sejenak. Penasaran dengan apa yang aku dengar, aku kembali menoleh ke belakang, melihat arah dapur. Anak kecil itu berdiri di dekat jemuran handuk. Tersenyum ke arahku.
“Ngapain bengong lihat ke dapur? Anak kecil itu? Cuekin aja Mbak yang itu. Yang baru datang lebih menantang. Hihihi...” Tata kembali membuatku jengah dengan semua kata-kata irasionalnya.
“Kamu mau diam apa tidur di kamar belakang? Kalau kamu banyak ngomong, jangan tidur di kamarku!” aku melangkah meninggalkan Tata tanpa menunggu jawabannya. Dan tentu saja, Tata berhasil menyusulku dan mendahuluiku masuk ke kamar.
“Mbak dengar apa di belakang?”
“Nggak usah dibahas, Tata!” aku menjawab dengan sedikit menekan suara.
“Mbak...”
“Apa sih, Ta? Jangan mulai lagi deh.”
“Mau tahu nggak aku tadi lihat apa? Yang dibawa Mbak Dewi sama Mbak Rina.”
“Hah? Iya ya, ke mana mereka? Bukannya tadi kamu yang bukain pagar? Terus, mana mereka?” aku kembali terduduk dan antusias mendengar celoteh Tata. Dia seperti api yang disiram minyak, semangatnya membara menceritakan peristiwa yang baru saja dia alami. Tata duduk di kursi belajarku, sedang aku menyimaknya duduk di bawah. Sungguh, aku seperti anak kecil yang mendengar dongeng yang didendangkan ibu setiap malam sebelum tidur.
“Jadi...” kalimat Tata terpotong, dia sengaja menghukumku dengan rasa penasaran dan membiarkan aku jengkel karenanya.
“Jadi apa, Ta?”
“Tadi pas aku buka pagar, memang ada Mbak Dewi, Mbak Rina, dan teman ibu-ibunya itu. Mereka masih ngobrol di luar. Lalu, teman ibu-ibunya itu...”
“Namanya Bu Yulis, Ta.” kataku memotong kalimat Tata.
“Ah iya, Bu Yulis memandangku dengan sinis. Aku heran dibuatnya, karena baru pertama kali aku dilihat dengan pandangan yang menyiratkan rasa tidak suka. Lalu Bu Yulis mengatakan kalimat yang kukira ditujukan kepadaku.”
“Kamu kira? Kok kamu kira? Memang dia ngomong apa?” aku tak sabar mendengar kelanjutan cerita Tata. Mengapa dia cerita hanya sepotong-potong sih! Ah!
“Bu Yulis ngomong kalau jangan ganggu urusan kami. Dia datang tidak ada maksud mengusik, hanya ingin memenuhi rasa penasaran saja. Jadi jangan saling menggangu. Begitu Mbak. Nah, awalnya aku mengira jika Bu Yulis memang menujukan kalimat itu kepadaku, tapi tidak. Aku baru menyadari setelah aku mencium bau kenanga dari arah belakang, dari garasi. Ini bau khas anak kecil itu Mbak. Kalau kita mencium bau ini, itu berarti dia sedang berada tak jauh dari kita.” Tata menjelaskan panjang lebar, dan aku hanya terbengong menyimaknya.
“Lalu, di mana mereka sekarang?”
“Entahlah, setelah berkata begitu, Bu Yulis mengajak Mbak Dewi dan Mbak Rina untuk pergi. Dia tidak mau malam ini ada keramaian. Dia sadar bahwa setiap dia datang, selalu ada penghuni rumah ini yang menentangnya. Hal itu karena dia punya peliharaannya yang tidak disukai oleh jin penghuni rumah ini.”
“Peliharaan? Maksud kamu?”
“Seseorang seperti Bu Yulis pasti punya perewangan yang melindungi dia. Entah itu pemberian dari leluhur, atau dia berburu sendiri. Akupun punya, hanya tidak kuperdalam ilmu seperti itu, karena aku tidak suka. Mbak juga pasti punya, hanya saja Mbak tidak diberi kemampuan untuk merasakan, bahkan melihatnya.” jawaban Tata membuatku merasa kecil di tengah umur kami yang terpaut beberapa tahun.
“Ta, lalu siapa anak kecil itu?” kali ini aku benar-benar berharap jawaban dari Tata bisa menghapuskan rasa penasaranku selama ini.
“Hmmm sebenarnya, anak kecil itu adalah bayi yang gagal dilahirkan dan dikuburkan di tanah ini, Mbak. Posisi tanah itu sekarang menjadi dapur. Karena itu, kita akan sering melihat dia di dapur. Tapi, dia tidak jahat kok, Mbak. Untung saja tidak ada manusia jahat yang memanfaatnya menjadi bayi bajang untuk pesugihan.” jawaban Tata mengingatkanku pada apa yang pernah Bu Yulis katakan dulu, tentang bayi bajang.
“Tapi, Ta. Dulu Bu Yulis pernah ngomong ke aku masalah bayi bajang ini. Apa mungkin....” kalimatku terpotong oleh jari telunjuk Tata yang tiba-tiba mendarat di bibirku. Matanya melotot, telunjuk lainnya menunjuk tembok yang membatasi kamar dengan garasi.
“Mbak, dengar sesuatu?” ucap Tata setengah berbisik. Lantas dia berdiri dan mendekati tembok itu. Menempelkan telinganya dan memejamkan mata. Semua konsentrasi difokuskan pada indra pendengarannya. “Mbak, sini deh.”
Aku yang heran sekaligus penasaran, tanpa sadar berjalan mendekati Tata. Aku mengikuti Tata menempelkan telingaku dan memejamkan mata. Hening. Aku tak mendengar apapun.
“Apa, Ta?” tanyaku pada Tata dengan tetap menempelkan telingaku di tembok. Tata menjawab hanya dengan jari telunjuknya yang kembali ditaruhnya di bibirku. “Ta?” kembali aku menajamkan pendengaranku. Dan hasilnya tetap. Nihil. Hening.
“Ta, aku nggak dengar apapun. Kamu dengar apa sih? Anak kecil itu lagi?” suaraku meninggi karena jengkel melihat Tata yang masih memejamkan mata dan tetap fokus pada pendengarannya. Dia masih tetap saja tak bergeming. Hingga akhirnya Tata membuka mata dan sedikit bergetar dia berkata kepadaku.
“Mbak, anak kecil itu adalah penghuni asli rumah ini. Walaupun dia berbentuk anak kecil, tapi usianya sudah sangat tua. Dan dalam dunia gaib, kesaktian jin itu juga bisa bergantung usianya.” Tata berkata seraya kembali duduk di kasur. Suaranya terdengar bergetar. Matanya merah seperti orang menahan kantuk. Lalu dia melanjutkan kalimatnya. “Yang tadi, aku mendengar wanita baju putih itu menangis. Di garasi. Dia datang karena terbawa oleh Bu Yulis tempo hari. Dia tidak bisa kembali ke tempat asalnya, karena ilmu yang masih kecil sehingga dia terkurung di sini, di bawah kuasa anak kecil itu.”
“Ta, kalau kita ngomong begini, mereka dengar nggak?” tanyaku yang mungkin terdengar konyol di telinga Tata.
“Menurut, Mbak?” Tata bertanya balik sambil melirik jahil ke arahku.
“Mungkin iya. Tapi Ta, bagaimana kamu tahu semuanya? Bagaimana kamu tahu anak kecil itu mati dan dikubur di sini? Bagaimana kamu tahu kalau dia sakti? Bagaimana kamu tahu kalau Bu Yulis punya peliharaan?” entahlah, aku seperti anak kecil yang penasaran dengan semua yang dia lihat, lalu menanyakan semua kepada ibunya.
“Kalau aku cerita, apakah mungkin Mbak akan mempercayainya?” ekspresi Tata sangat serius, baru kali ini aku melihatnya seserius ini.
“Aku akan mencoba percaya. Ceritakan saja apa yang ingin Tata ceritakan.” Jawabku yang kemudian di susul dengan rangkaian cerita Tata.
maap yak ... gw bingung jg ama ts dah tahu horor dah tahu mencurigakan , gw pikir cm di pelem2 horror doank gitu dah tau ada ketan ehh setan malahan dinsamperin wkwkwk... ya ciluk baa lah
ya wong malah buka pintu gitu lohh ahahaha tp kl ga gitu nanti gaa ceritanya yah di sini.. haha persis spr di pelem2 ... jd ternyata pelem jg bs berdasar dr kisah nyata ya ahahah .. OK keren... Lenjutkan dah Gan TS ... moga2 sehat semangat terus ya
Anda akan meninggalkan Stories from the Heart. Apakah anda yakin?
Lapor Hansip
Semua laporan yang masuk akan kami proses dalam 1-7 hari kerja. Kami mencatat IP pelapor untuk alasan keamanan. Barang siapa memberikan laporan palsu akan dikenakan sanksi banned.