Kaskus

Entertainment

dewaagniAvatar border
TS
dewaagni
Bertaruh Nyawa Demi Keyakinan
Bertaruh Nyawa Demi Keyakinan
By Redaksi
Posted on 15/08/2014
9 min read
0
 0
 1,006

 Share on Facebook
 
 Share on Twitter
 
 Share on Google+
 
 Share on Reddit
 
 Share on Pinterest
 
 Share on Linkedin
 
 Share on Tumblr

Bertaruh Nyawa Demi Keyakinan


Oleh: Reni Susanti*

Mempertahankan keyakinan sebagai penghayat Sunda Wiwitan tidaklah mudah. Selain mengalami diskriminasi, nyawa harus siap dipertaruhkan.

Seperti masa DI/TII dan PKI. Saat itu, selain suhu politik yang memanas, masyarakat Indonesia penganut agama kepercayaan ketar-ketir menyelamatkan diri. Kabar penyiksaan dan pembunuhan sejumlah komunitas kepercayaan di sejumlah daerah selalu sampai di telinga penghayat.

“Kami menyebutnya di PKI-kan. Bagaimana para penghayat itu disiksa, dibunuh, bahkan dikubur hidup-hidup,” ujar penghayat Sunda Wiwitan yang juga anak tetua adat Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan, Dewi Kanti kepada INILAH, belum lama ini.

Di tengah ketakutan ini, tetua adat Pangeran Jatikusuma mendapat petunjuk spiritual untuk menyelamatkan generasi. Yakni berteduh di bawah cemara putih yang dimaknainya sebagai Kristen.

“Saat itu kondisi sedang genting. Penghayat ada yang masuk Protestan ataupun Katolik. Yang penting gereja,” terangnya.

Sebelum masuk ke gereja, Pangeran Jatikusuma bernegosiasi dengan pastur. Penghayat bersedia mengikuti aturan gereja asal mengakomodir ritual adat dan tidak meninggalkan sistem tradisi adat. “Meski kami Katolik tapi Katolik yang nyunda, bukan Romawi,” sambungnya.

Namun, seiring berjalannya waktu, pastor Belanda cenderung misionaris. Saat hendak mengadakan peringatan 1 syuro di gereja, pastor diminta mengenakan pakaian tradisi agar setara antara umat dan imam.

Apalagi, pastor tersebut sudah tinggal di tanah Sunda, sehingga wajar jika menghargai akar budaya sunda. Namun usul itu ditolak panitia liturgy.

Daripada memunculkan konflik internal, Pangeran Jatikusuma memutuskan untuk mundur dari ummat.

“Banyak ketidakcocokan. Misalnya saat acara serentaun yang diwariskan leluhur untuk mengakomodasi semua golongan, ada acara doa bersama lintas agama. Tapi setelah masuk Katolik, pastor keberatan,” terangnya.

Setelah keluar dari Katolik, tekanan kembali muncul. Tahun 1980-1990-an, pemerintah melarang acara seren taun. Di waktu yang bersamaan, jumlah penghayat Sunda Wiwitan berkurang karena banyak yang bertahan di cemara putih.

Seperti yang dilakukan Asep dan keluarganya. Dia tetap bertahan di cemara putih karena anak-anaknya diberi pekerjaan. “Tapi, walaupun saya Katolik. Jiwa raga saya tetap sunda, memegang adat budaya Sunda. Saya Katolik nu nyunda,” ucap Asep.

Bagi Dewi Kanti sendiri, perbedaan agama bukan menjadi pemisah. Dia tak ingin terjebak pada pembungkus agama itu berasal. Kalau lihat fakta sejarah, lereng Gunung Ciremai ini plural. Situs-situs Pra Hindu, Hindu, Budha, Islam, semuanya berdampingan.

“Ayah saya punya delapan anak, ada yang Katolik, malah ada yang jadi pendeta Kristen, tak masalah. Di Cigugur, peran adat menjadi perekat. Kita berbaur dalam adat,” imbuhnya.

Adat, sambung Dewi Kanti, berfungsi sebagai fasilitator. Bahkan dalam berbagai advokasi yang dilakukan para penghayat. Dari perjalanan panjang tersebut, kini sekolah di Kuningan, memberi ruang bagi penghayat untuk mempelajari keyakinannya di sekolah.

Hal itu seiring dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 12 (1) yang berbunyi, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.

Selain itu, saat ini Dewi dan penghayat lainnya sedang gencar mengadvokasi penolakan eksplorasi Chevron di Gunung Ciremai. Seperti diketahui, Chevron tengah melakukan penyelidikan awal tentang potensi geothermal di Ciremai dan akan dilanjutkan dengan pengeboran.

Rencana tersebut ditolak penduduk lereng Ciremai. Para penghayat berkonsolidasi dengan seluruh jaringan desa. Akhirnya, warga sekitar melihat peran komunitas adat menjadi perekat dan bermanfaat bagi warga sekitar.

Advokasi ke DPR pun terus dilakukan. Dalam sidang pleno DPR, penghayat pernah mengusulkan dua opsi. Pertama, kolom agama diisi oleh keyakinan yang dianut. Kedua, mengosonghkan kolom agama, karena sejumlah negara menerapkan hal yang sama.

Salah satu yang datang ke pleno DPR adalah Ira Indra Wardhana. Sebagai antropolog, dalam sidang tersebut dia menyampaikan, agama itu religi.

Religi adalah unsur kebudayaan. Jika Indonesia memiliki 500 kebudayaan, maka ada 500 religi. Di Indonesia, ada agama yang datang dari luar, namun ada pula yang berangka dari kebudayaan Indonesia.

Ajaran Sunda Wiwitan Menurut Pangeran Djatikusuma, Sunda Wiwitan berarti Sunda permulaan, akar, atau pertama. Sesuai naskah Carita Parahiyangan, makna Sunda Wiwitan disebut Jati Sunda. Sunda Wiwitan berpegang teguh pada adat budaya sunda. Pangkal ajarannya, mendasari hidup dengan memaknai kehidupan sehari-hari, dari tanah dan air yang dipijak.

Pengeran Djatikusuma meyakini, setiap manusia yang dilahirkan ke dunia tidak bisa memilih untuk menjadi manusia ataupun etnis tertentu. Semuanya atas kehendak Maha Pencipta. “Setiap manusia mempunyai kodratnya sendiri-sendiri atau cara-ciri. Karena itu, Sunda Wiwitan sangat memegang teguh pikukuh tilu,” ungkapnya.

Pertama, cara-ciri manusia (kodrat manusia) yakni unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Setidaknya ada lima unsur dalam konsep Sunda Wiwitan.

Yakni welas asih (cinta kasih), undak usuk (tatanan/hierarki dalam kekeluargaan, tata krama (tatanan perilaku), budi bahasa dan budaya, Wiwaha Yudha Naradha (sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya). Kalau satu saja cara-ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya.

Kedua, cara-ciri bangsa (kodrat kebangsaan). Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antarmanusia didasarkan pada cara-ciribangsa yang terdiri dari Rupa, Adat, Bahasa, Aksara, Budaya. Pikukuh yang ketiga adalah Madep ka ratu raja (mengabdi kepada yang seharusnya).

Itulah mengapa, penghayat Sunda Wiwitan sangat toleran. Mereka sangat meyakini bahwa semua manusia pada dasarnya adalah sama dan tak berdaya terhadap kodrat kemanusiaannya.

“Kami tak pernah membeda-bedakan agama, suku, ras, dan lainnya. Karena Katolik di sini, Katolik yang Nyunda. Islam di sini, Islam yang nyunda,” ungkapnya.

Namun sayangnya, masih ada orang yang menganggap penghayat orang yang berbeda. Karena itu, pihaknya tak akan pernah letih berjuang dan melakukan advokasi. (gin)



http://sejuk.org/2014/08/15/bertaruh...mi-keyakinan/
lostcgAvatar border
salvation101Avatar border
sebelahblogAvatar border
sebelahblog dan 5 lainnya memberi reputasi
6
1.3K
7
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan