Anggota BUMN Harus Keluar Parpol, Emil Salim: Harusnya Kabinet Juga

Suara.com - Ahli ekonomi dan cendekiawan Emil Salim menyinggung perihal posisi partai dalam kabinet kerja pemerintahan. Sama halnya seperti BUMN, seharusnya anggota kabinet harus keluar dari partai politik.

Hal tersebut disampaikan oleh Emil melalui akun Twitter miliknya @emilsalim2010. Awalnya, Emil Salim mencontohkan anggota komisaris hingga direksi BUMN yang tak boleh terlibat dalam partai politik.

"Anggota Komisaris dan Direksi BUMN harus keluar dari Partai Politik untuk menghindari perbenturan kepentingan partai dengan fungsinya dalam BUMN," cuit Emil seperti dikutip Suara.com, Senin (25/11/2019).

Dengan adanya aturan tersebut, menurut Emil, seharusnya aturan tersebut juga berlaku untuk para anggota kabinet kerja.



Pasalnya, para anggota kabinet juga harus menjaga loyalitas dalam menjalankan tugasnya untuk negara. Tidak berada di bawah kendali partai politiknya.

"Suatu logika yang seyogianya juga berlaku bagi anggota kabinet yang loyalitas kepada Negara harus diatas Partai," ungkapnya.

Namun, hal itu justru tidak terjadi. Para anggota kabinet masih tergabung dalam partai politik, bahkan mereka memiliki jabatan strategis di partai.

Salah satunya adalah Menteri Perindustrian yang kini menjadi Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
sumber

☆☆☆☆☆☆☆

Winston Churchil saat terpilih menjadi Perdana Menteri Britania Raya tahun 1940 mengatakan : “Loyalitasku pada partai berhenti ketika aku telah menjadi Perdana Menteri.”

Sementara John F Kennedy saat terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat yang ke-35 tahun 1961juga berkata : " Kesetiaanku kepada partai berakhir ketika kesetiaanku terhadap negara dimulai."

Seorang Sukarno juga mengatakan hal yang sama saat dirinya menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Dia benar-benar melepas diri terhadap partai yang dibesarkan dan membesarkannya yaitu PNI.

Lalu apakah hal ini bisa dilakukan oleh para presiden setelah Sukarno? Tidak. Mereka tetap menjadi ketua partai atau ketua dewan pembina partai. Kalau tidak punya jabatan penting di kepartaian ya tetap menjadi kader partai seperti Joowi.

Apakah hal ini berdampak terhadap kinerja seorang presiden? Jelas berdampak. Karena seluruh kebijakan presiden pastinya harus selaras dengan kebijakan partai, meskipun terkadang mbalelo juga.

Lantas bagaimana dengan menteri kabinet? Justru ini yang paling dikhawatirkan. Meskipun pada dasarnya kebijakan menteri tidak boleh bertentangan dengan kebijakan presiden, nyatanya kadang ada saja kebijakan yang justru membuat blunder dan berimbas kepada presiden. Kenapa tetap ke presiden larinya? Jelas, menteri dipilih dan dilantik oleh presiden. Itulah sebabnya seorang menteri tak boleh mempunyai visi misi sendiri, apalagi visi misi partai.

Seharusnya semua pejabat yang duduk dalam BUMN, dan menteri, harus lepas dari keanggotaan sebuah partai. Ini untuk meminimalisir kebijakan mereka yang bisa saja dipengaruhi oleh partainya. Terlepas dari soal itu, mereka bisa saja kembali kepada partai mereka setelah tidak menjabat.

Yang repot, presiden dan menteri adalah jabatan politik. Berbeda dengan komisaris atau direksi BUMN yang merupakan jabatan publik. Diantara semua menteriyang terpilih, ada sebagian yang merupakan anggota partai, dipilih presiden berdasarkan ajuan calon menteri dari partai pendukung presiden terpilih. Bagaimana mungkin partai bisa ikhlas setelah dipakai menjadi kendaraan politik mereka? Bahkan seorang gubernur yang terpilih dan bukan bagian dari sebuah partai saja tetap menunduk kepada partai pendukungnya. Mengamini setiap keinginan partai pendukung. Itu gubernur. Bagaimana sekelas presiden atau menteri?

Jadi, menginginkan slogan besar yang pernah diucapkan oleh orang-orang besar dimasa lalu, untuk saat ini bagai bertepuk sebelah tangan. Tak akan ditanggapi.

Tapi kalau ada yang bisa seperti itu, kita wajib angkat topi.

Ditunggu saja.