Emha Ainun Najib, Nama yang Layak Menjadi Seorang Guru Bangsa di Negeri ini.

Beranda
Komunitas
Entertainment
The Lounge
Emha Ainun Najib, Nama yang Layak Menjadi Seorang Guru Bangsa di Negeri ini.

User telah dihapus

15-11-2019 14:37

Emha Ainun Najib, Nama yang Layak Menjadi Seorang Guru Bangsa di Negeri ini.

Siapa yang tidak kenal dengan sosok Emha Ainun Najib atau akrab dipanggil Caknun? Tentunya kita sudah banyak mendengar nama itu di beberapa media meski beliau tidak pernah sekalipun menampakkan diri di layar televisi sejak 98 silam. Bagi saya, caknun adalah INSPIRING PEOPLEversi saya. Sosok beliau membuat jemari saya gatal untuk menulis dan mengikutsertakan event KASKUSXMDLSPOT untuk MDLSPOTKONTENHUNT.

Ada beberapa tokoh di Indonesia yang sering disebut sebagai “guru bangsa”, akan tetapi menurut saya, TASTETHELOCAL yang paling layak disematkan atribut itu adalah Emha Ainun Najib. Bagaimana tidak? Beberapa forum sinau bareng dan pengkajian di berbagai daerah rutin diasuhnya setiap bulan. seperti Padhang Mbulan, telah berjalan selama 26 tahun di Jombang, Mocopat Syafa’at, 20 tahun di Yogyakarta, Gambang Syafa’at, 20 tahun di Semarang, Kenduri Cinta, 19 tahun di Jakarta, Bangbang Wetan, 13 tahun di Surabaya. Kelima acara rutinan setiap bulan itu didatangi oleh Caknun dalam rentang lebih dari dua dekade tanpa ada sponsor ataupun bayaran.

Source: Caknun

Kemudian, berkembang cabang kajian serupa di berbagai tempat sebagai simpul-simpul Maiyah yang di gerakkan oleh masing-masing lingkar Maiyah. Acara-acara Maiyah itu dihadiri ribuan orang (bahkan sangat mungkin puluhan hingga ratusan ribu orang) dari berbagai macam kelompok usia, asal daerah, etnis, profesi, dan beragam latar belakang agama. Kelak, acara-acara tersebut dikenal dengan trademark“Maiyah”.

Forum Maiyah membawa pesan mendasar untuk menjalani hidup semakin mendekat akrab kepada Allah Swt. Menghidupkan sensivitas untuk terus-menerus membaca kehendak Allah dalam kehidupan kita masing-masing, menemukan orisinilitas dalam bergaul dengan Allah, dan belajar merasakan “Innallaha maa ana (Allah bersama kita)” secara empiris—Allah bisa ditemui sekarang dan di sini.

Selanjutnya, lewat berbagai forum itu, kita diajak melakoni hidup dengan mencintai dan meneladani akhlak suci Muhammad Saw. Caknun memperkenalkan istilah cinta segitiga yang harus terjalin antara “Allah, Nabi, dan sesama kita”. Andai semua gagasan Caknun dan ribuan tutur katanya dipadatkan dalam satu kalimat, menurut saya, inti pesan beliau adalah soal kesetiaan untuk membangun kemesraan dalam dialektika cinta segitiga ini. Cinta yang terjalin antara Allah Swt, Nabi Muhammad Saw, dan kita semua.

Source: Reformasi 98

Emha Ainun Najib kerap menjadi rekonsiliator (juru damai) atau fasilitator dalam situasi konflik di Tanah Air. Sebutlah antara lain pada insiden Reformasi 1998. Beliau menjadi salah satu dari Sembilan orang yang meyakinkan Presiden Soeharto agar tidak memperpanjang masa jabatannya dengan ungkapan spontan “Ora dadi presiden, ora pathek’en”, yang saat itu mencairkan ketegangan. Beliau juga menjadi juru damai dalam kerusuhan Sampit Dayak-Madura (sebagai rekonsiliator panglima Dayak di Sanggau). Juga beberapa kasus Mempawah, Rassau Jaya, Tulang Bawang, Lumpur Lapindo, Majene, Tinambung dll. Beliau meredam kemarahan umat atas pembakaran masjid di Kupang, memfasilitasi dialog antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan warga bantara Kali Jagir, Surabaya, yang digusur Pemerintah Kota Surabaya, dan masih banyak lagi.
Sejak awal, saya perlu menegaskan bahwa ini bukan upaya untuk mempelajari seorang Emha Ainun Najib, melainkan justru untuk belajar dari beliau. Mempelajari manusia seperti Caknun itu absurd; saya mengutip dari ucapan Bapak Ashadi Siregar (penulis novel populer).

Quote:

Caknun adalah individu yang telah “bermetamorfosis menjadi Institusi”. Caknun adalah “manusia ruang”, dan saya tidak mampu membingkai “ruang”. Saya hanya mungkin dapat memotret salah satu sudutnya.

Caknun menyisiri desa-desa, kota, kampus, sekolah, lapangan, lereng gunung, tepian hutan, pelabuhan, keraton dan berbagai tempat lainnya. Hinga saat ini, sudah tercatat sekitar 4.000 lebih tempat di Nusantara ini yang telah di datangi. Belum juga di Negara-negara Eropa dan Timur tengah. Inilah “The real of blusukan”tanpa pencitraan. Bahkan Bang Karni Ilyas menyebutnya sebagai sosok yang “sebenar-benarnya selebriti”, karena dari gelandangan pasar hingga presiden mengenalnya. Bahkan, konon “penghuni Gunung Kawi” saja mengenalnya.

Source: caknun.com

Meski acara Maiyah tak pernah diliput stasiun televisi, acara ini sangat menyajikan konten yang luar biasa. Maiyah memperbincangkan secara bebas, mengalir, dan autentik berbagai tema aktual sehari-hari. Mulai dari pendidikan, politik, sains dan teknologi, perencanaan ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Di dalamnya, orang-orang bisa menemukan berbagai kepingan pengetahuan untuk menggagas hidup yang lebih sejati.

Sekarang, coba saja bayangkan, bila semua acara di forum Maiyah yang telah berlangsung selama dua dekade itu dikonversi dalam SKS (Satuan Kredit Semester) perkuliahan, maka akan berapa banyak wisudawan yang sudah dilahirkan? Adakah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pernah menggelar forum bermuatan edukasi berdurasi panjang lagi konsisten dari waktu ke waktu yang bisa diakses dengan mudah serta menggembirakan bagi setiap lapisan masyarakat? Dan, adakah safari dakwah atau pengajian gratis dan mencerahkan yang istiqomah diselenggarakan Departemen Agama Republik Indonesia dalam rentang waktu 20 tahun lamanya?

Caknun pernah berkata, saya berusaha melakukan sesuatu sebagai panggilan dalam “kegembiraan bersedekah”. Adakah manusia sekarang yang seperti beliau? Tentu ada, tapi sangat jarang, hanya satu dua orang.

Bagaimanapun, tulisan ini tetaplah bersifat opini yang subjektif. Kalian boleh menyela ataupun tidak setuju dengan tulisan ini. Terima kasih telah membaca tulisan amatir ini, semoga bermanfaat untuk kita semua. Salam literasi, salam titik dua kurung tutup dari kami. emoticon-Smilie