- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
AS & Jepang 'Resesi' Seks karena Ekonomi, RI Bagaimana?


TS
juraganind0
AS & Jepang 'Resesi' Seks karena Ekonomi, RI Bagaimana?

Quote:
Jakarta, CNBC Indonesia - Penurunan gairah seksual yang melanda negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) dan Jepang, memang patut menjadi perhatian. Pasalnya permasalahan ini bisa berdampak pada perlambatan ekonomi dalam jangka panjang.
Mengapa?
Hal ini dikarenakan 'resesi' seks yang dialami kaum milenial membuat generasi tersebut menunda aspek kedewasaan, seperti membangun rumah tangga, membeli rumah, mobil atau pengeluaran lainnya.Analisis ini dikemukakan oleh hasil penelitian dari analis politik dan ekonomi Jake Novak, pendiri Jake Novak News.
Ketika mayoritas populasi dari suatu generasi memilih untuk tidak menikah, maka jumlah bayi yang lahir juga akan menurun, di mana dalam jangka panjang ini akan berdampak pada penurunan usia produktif atau dengan kata lain, populasi suatu negara mayoritas berada di usia pensiun (aging population)
Apabila populasi orang tua meningkat pesat tentu akan menekan anggaran dana pensiun dan melesatnya biaya kesehatan.
Terlebih lagi, karena kebanyakan dari mereka sudah tidak dapat aktif menghasilkan pendapatan, maka jumlah produk atau jasa yang dihasilkan negara juga menurun yang berujung pada perlambatan laju ekonomi.
Lalu, bagaimana nasib dengan negara, seperti Indonesia, yang kondisinya bertolak belakang, di mana jumlah angkatan usia produktif terus meningkat alias sedang menikmati bonus demografi.
Apakah hal ini menjamin ekonomi Ibu Pertiwi tumbuh lebih pesat?
Sayangnya, bonus demografi yang tidak dibarengi dengan persiapan matang malah dapat menjadi pisau bermata dua, yakni saat pasar tenaga kerja tidak mampu menyerap dengan maksimal angkatan produktif dengan maksimal.
Tingkat pengangguran di Indonesia, mengacu data Trading Economics, memang terus menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun, di mana per Februari 2019 tercatat di level 5,01% dari 6,18% di tahun 2015. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan negara tetangga, masih menduduki posisi 3 teratas, kalah jauh dari Thailand dengan tingkat pengangguran hanya 1%.

Sektor Informal Mendominasi
Lebih lanjut, andai kata pasar tenaga kerja mampu menyerap angkatan produktif, tetapi latar belakang pendidikan dan keahlian yang dimiliki akan menentukan seberapa besar kontribusinya untuk pertumbuhan ekonomi.
Jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor informal juga lebih besar. Data BPS mencatat, dari 100% lapangan kerja di Indonesia per Februari 2019, sebanyak 57,27% disumbang oleh sektor informal.
Untuk diketahui, yang membedakan lapangan kerja formal dan informal adalah terkait dengan pembayaran pajak ke pemerintah. Tenaga kerja formal merupakan tenaga kerja yang membayarkan pajak kepada pemerintah. Biasanya, tenaga kerja formal merupakan seorang profesional seperti guru, dosen, dokter, wartawan, dan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sementara itu, tenaga kerja informal merupakan tenaga kerja yang tidak membayarkan pajak kepada pemerintah, walaupun sejatinya penghasilannya masuk ke dalam kategori yang dikenakan pajak penghasilan (PPh).
Tenaga kerja informal biasanya diasosiasikan dengan tenaga kerja yang banyak mengandalkan kekuatan fisik (blue collar) seperti Pedagang Kaki Lima (PKL), kuli bangunan, dan tukang ojek.
Struktur pasar tenaga kerja Indonesia yang didominasi oleh tenaga kerja informal jelas berbahaya. Pasalnya, penerimaan negara akan menjadi seret lantaran kebanyakan tenaga kerja tidak membayar PPh. Padahal, PPh merupakan tulang punggung pemerintah untuk membiayai pembangunan.
Porsi jumlah tenaga kerja informal yang lebih mendominasi salah satunya disebabkan sebagian besar angkatan kerja hanya memiliki tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) atau lebih rendah.

Foto: Dwi Ayuningtyas
Melihat kondisi di atas, tampaknya pemerintah belum mempersiapkan dengan matang bonus demografi yang dimiliki Indonesia, sehingga benefit tersebut belum dapat berguna untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Ibu Pertiwi.
Mengapa?
Hal ini dikarenakan 'resesi' seks yang dialami kaum milenial membuat generasi tersebut menunda aspek kedewasaan, seperti membangun rumah tangga, membeli rumah, mobil atau pengeluaran lainnya.Analisis ini dikemukakan oleh hasil penelitian dari analis politik dan ekonomi Jake Novak, pendiri Jake Novak News.
Ketika mayoritas populasi dari suatu generasi memilih untuk tidak menikah, maka jumlah bayi yang lahir juga akan menurun, di mana dalam jangka panjang ini akan berdampak pada penurunan usia produktif atau dengan kata lain, populasi suatu negara mayoritas berada di usia pensiun (aging population)
Apabila populasi orang tua meningkat pesat tentu akan menekan anggaran dana pensiun dan melesatnya biaya kesehatan.
Terlebih lagi, karena kebanyakan dari mereka sudah tidak dapat aktif menghasilkan pendapatan, maka jumlah produk atau jasa yang dihasilkan negara juga menurun yang berujung pada perlambatan laju ekonomi.
Lalu, bagaimana nasib dengan negara, seperti Indonesia, yang kondisinya bertolak belakang, di mana jumlah angkatan usia produktif terus meningkat alias sedang menikmati bonus demografi.
Apakah hal ini menjamin ekonomi Ibu Pertiwi tumbuh lebih pesat?
Sayangnya, bonus demografi yang tidak dibarengi dengan persiapan matang malah dapat menjadi pisau bermata dua, yakni saat pasar tenaga kerja tidak mampu menyerap dengan maksimal angkatan produktif dengan maksimal.
Tingkat pengangguran di Indonesia, mengacu data Trading Economics, memang terus menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun, di mana per Februari 2019 tercatat di level 5,01% dari 6,18% di tahun 2015. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan negara tetangga, masih menduduki posisi 3 teratas, kalah jauh dari Thailand dengan tingkat pengangguran hanya 1%.

Sektor Informal Mendominasi
Lebih lanjut, andai kata pasar tenaga kerja mampu menyerap angkatan produktif, tetapi latar belakang pendidikan dan keahlian yang dimiliki akan menentukan seberapa besar kontribusinya untuk pertumbuhan ekonomi.
Jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor informal juga lebih besar. Data BPS mencatat, dari 100% lapangan kerja di Indonesia per Februari 2019, sebanyak 57,27% disumbang oleh sektor informal.
Untuk diketahui, yang membedakan lapangan kerja formal dan informal adalah terkait dengan pembayaran pajak ke pemerintah. Tenaga kerja formal merupakan tenaga kerja yang membayarkan pajak kepada pemerintah. Biasanya, tenaga kerja formal merupakan seorang profesional seperti guru, dosen, dokter, wartawan, dan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sementara itu, tenaga kerja informal merupakan tenaga kerja yang tidak membayarkan pajak kepada pemerintah, walaupun sejatinya penghasilannya masuk ke dalam kategori yang dikenakan pajak penghasilan (PPh).
Tenaga kerja informal biasanya diasosiasikan dengan tenaga kerja yang banyak mengandalkan kekuatan fisik (blue collar) seperti Pedagang Kaki Lima (PKL), kuli bangunan, dan tukang ojek.
Struktur pasar tenaga kerja Indonesia yang didominasi oleh tenaga kerja informal jelas berbahaya. Pasalnya, penerimaan negara akan menjadi seret lantaran kebanyakan tenaga kerja tidak membayar PPh. Padahal, PPh merupakan tulang punggung pemerintah untuk membiayai pembangunan.
Porsi jumlah tenaga kerja informal yang lebih mendominasi salah satunya disebabkan sebagian besar angkatan kerja hanya memiliki tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) atau lebih rendah.

Foto: Dwi Ayuningtyas
Melihat kondisi di atas, tampaknya pemerintah belum mempersiapkan dengan matang bonus demografi yang dimiliki Indonesia, sehingga benefit tersebut belum dapat berguna untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Ibu Pertiwi.
https://www.cnbcindonesia.com/news/2...ri-bagaimana/2
Semakin maju dan semakin tinggi biaya hidup di suatu negara malah makin membuat orang malas untuk beranak pinak ya sepertinya?
Di Indonesia tapi kebalikannya. Heran juga.






viniest dan 13 lainnya memberi reputasi
14
21.2K
Kutip
198
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan