- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Debat FIlsafat (Filosof Islam vs Al-Ghazali) How About You?
TS
grahamcox
Debat FIlsafat (Filosof Islam vs Al-Ghazali) How About You?
Al-Ghazali yang populer di kalangan umat islam dunia termasuk di Indonesia pernah melakukan pendekatan filsafat untuk mendebat pemikiran filsafat juga, karena bagi dirinya rasio dan akal yang ada di dalam pikiran para filsuf haruslah dibantah juga dengan argumentasi yang berdasar pada rasio dan akal juga disamping menggunakan dalil-dalil naqli di dalam nya yang dijadikan sebagai Hujjah.
Paling tidak terdapat tiga point penting yang di suarakan oleh Al-Ghazali yang membuatnya turun gunung dalam melakukan kritiknya terhadap pemikiran para filsuf di zamannya seperti Ibnu Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain, antara lain :
1. Mengenai Dunia seisinya dipandang sebagai sesuatu yang (Qadim) atau tidak berawal dan berakhir atau dengan kata lain dunia dan seisinya adalah abadi menurut para pemikiran filsuf di masa itu. Bahwa menurut para filsuf "Dimana ada Tuhan maka akan ada pula ciptaannya, begitu pula sebaliknya. Hal tersebut dipandang sebagai suatu yang abadi oleh para filosof karena menurut mereka hal tersebut melekat pada Dzat yang dimiliki oleh penciptanya itu sendiri yakni Tuhan. Karena menurut mereka segala hal yang ada di dunia merupakan pancaran dari Esensi Tuhan itu sendiri. Karena Tuhan bersifat Qadim, maka dengan sendirinya Alam dunia yang merupakan ciptaan Tuhan merupakan sesuatu yang abadi pula.
Pandangan berbeda dengan kritik yang tajam dilontarkan oleh Al-Ghazali terkait pernyataan para filsuf tersebut yang mana Al-Ghazali mengatakan bahwa pernyataan tersebut tidaklah berdasar dan tidak dapat pula diterima, karena dianggap bertentangan dengan keyakinan Agama Islam menurut Al-Ghazali dimana terdapat keterangan bahwa Tuhan menciptakan Dunia pada suatu waktu yang semula tidak lah ada menjadi ada.
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa sifat Qadim yang melekat pada Tuhan tidak serta merta menjadikan ciptaannya termasuk dunia menjadi kekal pula karena terdapat perbedaan antara sang Khaliq dengan mahkluknya, karena jika demikian sama saja dengan menyamakan wujud dari ciptaannya dengan Tuhan.
Doktrin creatio ex nihilo (penciptaan dari ketiadaan) diyakini oleh Al-Ghazali dalam menerapkan kritiknya terhadap para Filsuf yang mengatakan bahwa dunia merupakan sesuatu yang Qadim. Karena menurutnya segala ciptaan Tuhan merupakan sesuatu yang berawal dan berakhir, yang jelas berbeda dengan sifat Tuhan yang Qadim.
2. Para filosof dizaman itu mengeluarkan pernyataan bahwa Tuhan tidaklah mengetahui hal-hal yang bersifat partikular atau khusus, yang mana Tuhan hanya mengetahui sesuatu yang bersifat Universal. Hal ini diutarakan oleh Ibnu Sina yang mengatakan bahwa Tuhan mengetahui yang lain selain dirinya, tetapi pengetahuannya bersifat "Universal" dan terikat dengan waktu. Alasan pemikiran tersebut muncul dikarenakan objek pengetahuan itu sendiri. yang mana Ibnu Sina berpendapat atau berteori dengan logika "Jika objek pengetahuan berubah, yang mengetahui juga berubah". Dengan demikian jika Tuhan dikatakan sebagai yang mengetahui hal-hal yang bersifat partikular maka berarti Tuhan berubah, sementara perubahan terhadap Tuhan adalah mustahil adanya.
Di dalam poin ini Al-Ghazali mengutuk keras hal tersebut karena beliau menganggap pendapat filsuf atas pernyataan dan pemikiran tersebut merupakan bentuk pengkerdilan dari kuasa Tuhan atau dengan kata lain adalah membatasi kekuasaan Tuhan dalam hal maha mengetahui. Pengetahuan Tuhan merupakan sesuatu yang mutlak dan meliputi segalanya, baik itu hal yang bersifat universal maupun hal yang bersifat partikular.
Dengan melihat pemikiran filsuf tersebut Al-Ghazali berkesimpulan bahwa para filsuf berpikiran Tuhan tidak mengetahui sesuatu yang terjadi pada manusia secara rinci. Yang mana hal tersebut adalah sesuatu kesesatan besar bagi Al-Ghazali.
3. Pada poin ketiga kritik yang dilakukan oleh Al-Ghazali adalah mengenai hasil pemikiran para filsuf yang beranggapan mengenai hari kebangkitan kelak. Dimana hanya Ruh saja yang dibangkitkan oleh Tuhan dihari nanti yang mana bukan jasmani atau sesuatu yang berunsur material dari manusia. Alasan Filosof berkata demikian dikarenakan bahwa menurut mereka unsur material dari manusia sudahlah hancur dan tidak bisa dibangkitkan kembali.
Menurut Al-Ghazali pendapat para filsuf tersebut jelas salah karena beliau meyakini bahwa yang dibangkitkan di hari kiamat kelak adalah tubuh material dari manusia dan hal tersebut merupakan keyakinan Islam yang tak terbantahkan menurut Al-Ghazali. Ayat Al-quran yang mengatakan hal demikian merupakan sesuatu yang eksplisit bagi AL-Ghazali dan bukan suatu metafora saja. Serta memingat kemahakuasaan Tuhan akan segala hal.
Al-Ghazali berkesimpulan pada pendapat yang ketiga dari para filsuf ini adalah bahwa mereka telah mengingkari adanya kebangkitan Jasmani di akhirat nanti, kembalinya Ruh kedalam jasad dan juga adanya Surga dan Neraka secara material. Yang diyakini oleh para filsuf dari hasil pemikiran rasio dan akal mereka dalam berlogika adalah bahwa pada hari nanti jiwa lah yang akan merasakan kebahagiaan sesuai dengan apa yang dilakukannya di dunia jika jiwa tersebut murni dan bersih, dan sebaliknya, apabila jiwa tersebut kotor maka akan disiksa dan merasakan kesengsaraan di neraka nanti. Ungkapan Tuhan mengenai hal tersebut hanya dianggap sebagai metafora dan simbolis saja yang hendak ditujukan oleh Tuhan kepada masyarakat awam.
Kebahagiaan di akhirat menurut para filosof adalah kebahagiaan spiritual dan bukanlah kebahagiaan secara jasmani dan materialis, karena kebahagiaan spiritual merupakan suatu kebahagiaan yang bersifat tak terbatas dan yang paling utama. sebagai contoh para filsuf meng (qiyas) kan atau menganalogikan bahwa malaikat lebih mulia dari binatang, meskipun malaikat tidak mempunyai kebahagiaan jasmani seperti hubungan seksual maupun makan dan minum. kebahagiaan malaikat itu sendiri justru terletak pada kesempurnaan dan ketiadaan kesenangan jasmaninya.
Kemudian lebih lanjut dikatakan bahwa sebenarnya manusia sendiri lebih mengutamakan kebahagiaan spiritual, contohnya adalah manusia sering merasakan lapar namun karena terlena dengan berpikir manusia melupakan rasa laparnya tersebut. Sebagai argumen pendukung para filsuf mengutarakan hal sebagai berikut :
1. Jiwa itu pada hakikatnya tidak ada pada manusia, yang ada hanyalah jasad dan kehidupannya (al-hayah), maka saat manusia mati, saat itu pula hilanglah kehidupannya. Kebangkitan manusia berarti bahwa kembalinya jasad dan al-hayah kepadanya. Karenanya hal tersebut dikatakan suatu ketidakmungkinan bagi filosof mengingat hal tersebut merupakan penciptaan baru dan bukanlah suatu kebangkitan;
2. Ilmu manusia tetap ada pasca kematian manusia dan pada hari kiamat ia kembali lagi pada jasad menusia bersamaan dengan terhimpunnya kembali jasad-jasad yang ada pada dirinya, hal ini pun tidak dapat diterima secara logis oleh para filsuf mengingat anggapan terhimpunnya kembali jasad-jasad selama hidupnya, maka pertanyaan muncul mengenai bagaimana dengan orang yang memakan daging manusia mengingat jasad manusia itu sendiri terdiri dari berbagai jiwa. Karena hal itulah filosof menganggap hal ini tidaklah dapat diterima;
3. Materi itu terbats bilangannya, sedangkan jiwa tidak terbatas, maka dengan pemahaman ini tidaklah mungkin jasad dapat menampung jiwa. Dan hal seperti ini mengandung unsur reinkarnasi dan hal tersebut dengan tegas ditolak oleh para filsuf.
Kesimpulan dari pembahasan debat antara pemikiran para filosof dengan Al-Ghazali adalah dengan keinginan secara logis dari para filsuf mengenai konsep kebangkitan yang tidak dapat diterima oleh Al-Ghazali karena dianggap menyesatkan dan jauh dari konsep Islam itu sendiri mengingat madzhab Al-Ghazali yang kental dengan As-Syafii untuk fiqih dan juga As-Syari untuk tauhid beliau.
Thanks For Reading.
Sumber :
- Tahafut Al Falasifa
- Samudera Hikmah Al-Ghazali
Paling tidak terdapat tiga point penting yang di suarakan oleh Al-Ghazali yang membuatnya turun gunung dalam melakukan kritiknya terhadap pemikiran para filsuf di zamannya seperti Ibnu Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain, antara lain :
1. Mengenai Dunia seisinya dipandang sebagai sesuatu yang (Qadim) atau tidak berawal dan berakhir atau dengan kata lain dunia dan seisinya adalah abadi menurut para pemikiran filsuf di masa itu. Bahwa menurut para filsuf "Dimana ada Tuhan maka akan ada pula ciptaannya, begitu pula sebaliknya. Hal tersebut dipandang sebagai suatu yang abadi oleh para filosof karena menurut mereka hal tersebut melekat pada Dzat yang dimiliki oleh penciptanya itu sendiri yakni Tuhan. Karena menurut mereka segala hal yang ada di dunia merupakan pancaran dari Esensi Tuhan itu sendiri. Karena Tuhan bersifat Qadim, maka dengan sendirinya Alam dunia yang merupakan ciptaan Tuhan merupakan sesuatu yang abadi pula.
Pandangan berbeda dengan kritik yang tajam dilontarkan oleh Al-Ghazali terkait pernyataan para filsuf tersebut yang mana Al-Ghazali mengatakan bahwa pernyataan tersebut tidaklah berdasar dan tidak dapat pula diterima, karena dianggap bertentangan dengan keyakinan Agama Islam menurut Al-Ghazali dimana terdapat keterangan bahwa Tuhan menciptakan Dunia pada suatu waktu yang semula tidak lah ada menjadi ada.
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa sifat Qadim yang melekat pada Tuhan tidak serta merta menjadikan ciptaannya termasuk dunia menjadi kekal pula karena terdapat perbedaan antara sang Khaliq dengan mahkluknya, karena jika demikian sama saja dengan menyamakan wujud dari ciptaannya dengan Tuhan.
Doktrin creatio ex nihilo (penciptaan dari ketiadaan) diyakini oleh Al-Ghazali dalam menerapkan kritiknya terhadap para Filsuf yang mengatakan bahwa dunia merupakan sesuatu yang Qadim. Karena menurutnya segala ciptaan Tuhan merupakan sesuatu yang berawal dan berakhir, yang jelas berbeda dengan sifat Tuhan yang Qadim.
2. Para filosof dizaman itu mengeluarkan pernyataan bahwa Tuhan tidaklah mengetahui hal-hal yang bersifat partikular atau khusus, yang mana Tuhan hanya mengetahui sesuatu yang bersifat Universal. Hal ini diutarakan oleh Ibnu Sina yang mengatakan bahwa Tuhan mengetahui yang lain selain dirinya, tetapi pengetahuannya bersifat "Universal" dan terikat dengan waktu. Alasan pemikiran tersebut muncul dikarenakan objek pengetahuan itu sendiri. yang mana Ibnu Sina berpendapat atau berteori dengan logika "Jika objek pengetahuan berubah, yang mengetahui juga berubah". Dengan demikian jika Tuhan dikatakan sebagai yang mengetahui hal-hal yang bersifat partikular maka berarti Tuhan berubah, sementara perubahan terhadap Tuhan adalah mustahil adanya.
Di dalam poin ini Al-Ghazali mengutuk keras hal tersebut karena beliau menganggap pendapat filsuf atas pernyataan dan pemikiran tersebut merupakan bentuk pengkerdilan dari kuasa Tuhan atau dengan kata lain adalah membatasi kekuasaan Tuhan dalam hal maha mengetahui. Pengetahuan Tuhan merupakan sesuatu yang mutlak dan meliputi segalanya, baik itu hal yang bersifat universal maupun hal yang bersifat partikular.
Dengan melihat pemikiran filsuf tersebut Al-Ghazali berkesimpulan bahwa para filsuf berpikiran Tuhan tidak mengetahui sesuatu yang terjadi pada manusia secara rinci. Yang mana hal tersebut adalah sesuatu kesesatan besar bagi Al-Ghazali.
3. Pada poin ketiga kritik yang dilakukan oleh Al-Ghazali adalah mengenai hasil pemikiran para filsuf yang beranggapan mengenai hari kebangkitan kelak. Dimana hanya Ruh saja yang dibangkitkan oleh Tuhan dihari nanti yang mana bukan jasmani atau sesuatu yang berunsur material dari manusia. Alasan Filosof berkata demikian dikarenakan bahwa menurut mereka unsur material dari manusia sudahlah hancur dan tidak bisa dibangkitkan kembali.
Menurut Al-Ghazali pendapat para filsuf tersebut jelas salah karena beliau meyakini bahwa yang dibangkitkan di hari kiamat kelak adalah tubuh material dari manusia dan hal tersebut merupakan keyakinan Islam yang tak terbantahkan menurut Al-Ghazali. Ayat Al-quran yang mengatakan hal demikian merupakan sesuatu yang eksplisit bagi AL-Ghazali dan bukan suatu metafora saja. Serta memingat kemahakuasaan Tuhan akan segala hal.
Al-Ghazali berkesimpulan pada pendapat yang ketiga dari para filsuf ini adalah bahwa mereka telah mengingkari adanya kebangkitan Jasmani di akhirat nanti, kembalinya Ruh kedalam jasad dan juga adanya Surga dan Neraka secara material. Yang diyakini oleh para filsuf dari hasil pemikiran rasio dan akal mereka dalam berlogika adalah bahwa pada hari nanti jiwa lah yang akan merasakan kebahagiaan sesuai dengan apa yang dilakukannya di dunia jika jiwa tersebut murni dan bersih, dan sebaliknya, apabila jiwa tersebut kotor maka akan disiksa dan merasakan kesengsaraan di neraka nanti. Ungkapan Tuhan mengenai hal tersebut hanya dianggap sebagai metafora dan simbolis saja yang hendak ditujukan oleh Tuhan kepada masyarakat awam.
Kebahagiaan di akhirat menurut para filosof adalah kebahagiaan spiritual dan bukanlah kebahagiaan secara jasmani dan materialis, karena kebahagiaan spiritual merupakan suatu kebahagiaan yang bersifat tak terbatas dan yang paling utama. sebagai contoh para filsuf meng (qiyas) kan atau menganalogikan bahwa malaikat lebih mulia dari binatang, meskipun malaikat tidak mempunyai kebahagiaan jasmani seperti hubungan seksual maupun makan dan minum. kebahagiaan malaikat itu sendiri justru terletak pada kesempurnaan dan ketiadaan kesenangan jasmaninya.
Kemudian lebih lanjut dikatakan bahwa sebenarnya manusia sendiri lebih mengutamakan kebahagiaan spiritual, contohnya adalah manusia sering merasakan lapar namun karena terlena dengan berpikir manusia melupakan rasa laparnya tersebut. Sebagai argumen pendukung para filsuf mengutarakan hal sebagai berikut :
1. Jiwa itu pada hakikatnya tidak ada pada manusia, yang ada hanyalah jasad dan kehidupannya (al-hayah), maka saat manusia mati, saat itu pula hilanglah kehidupannya. Kebangkitan manusia berarti bahwa kembalinya jasad dan al-hayah kepadanya. Karenanya hal tersebut dikatakan suatu ketidakmungkinan bagi filosof mengingat hal tersebut merupakan penciptaan baru dan bukanlah suatu kebangkitan;
2. Ilmu manusia tetap ada pasca kematian manusia dan pada hari kiamat ia kembali lagi pada jasad menusia bersamaan dengan terhimpunnya kembali jasad-jasad yang ada pada dirinya, hal ini pun tidak dapat diterima secara logis oleh para filsuf mengingat anggapan terhimpunnya kembali jasad-jasad selama hidupnya, maka pertanyaan muncul mengenai bagaimana dengan orang yang memakan daging manusia mengingat jasad manusia itu sendiri terdiri dari berbagai jiwa. Karena hal itulah filosof menganggap hal ini tidaklah dapat diterima;
3. Materi itu terbats bilangannya, sedangkan jiwa tidak terbatas, maka dengan pemahaman ini tidaklah mungkin jasad dapat menampung jiwa. Dan hal seperti ini mengandung unsur reinkarnasi dan hal tersebut dengan tegas ditolak oleh para filsuf.
Kesimpulan dari pembahasan debat antara pemikiran para filosof dengan Al-Ghazali adalah dengan keinginan secara logis dari para filsuf mengenai konsep kebangkitan yang tidak dapat diterima oleh Al-Ghazali karena dianggap menyesatkan dan jauh dari konsep Islam itu sendiri mengingat madzhab Al-Ghazali yang kental dengan As-Syafii untuk fiqih dan juga As-Syari untuk tauhid beliau.
Thanks For Reading.
Sumber :
- Tahafut Al Falasifa
- Samudera Hikmah Al-Ghazali
sebelahblog dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.4K
8
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan