Baru-baru ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak agar Menko Polhukam Mahfud MD mendorong Presiden Jokowi untuk segera menerbitkan Perppu KPK.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyebut jika tidak membuahkan hasil dalam kurun 100 hari kerja, maka sebaiknya Mahfud mundur dari jabatannya sebagai menteri.

Tapi sepertinya, ultimatum ini salah alamat dan sesat pikir. Pasalnya, tindakan meminta mundur seorang menteri menunjukan bahwa ICW tak paham soal sistem pemerintahan di Indonesia.

Hal ini dibenarkan oleh Mantan Dewan Pakar Seknas Komisioner Komnas HAM, Siti Noor Laila. Ia menyebut ICW bukanlah lembaga pemerintah. Sehingga, tidak etis atas alasan apapun meminta menteri mundur dari jabatannya.

Dia juga mengingatkan ICW terhadap konvensi PBB tahun 2003 tentang anti korupsi yang sudah diratifikasi melalui UU 7/2006 dan berlaku di Indonesia.

Terutama, Pasal 5 ayat 3 Konvensi PBB Anti Korupsi yang berbunyi, "negara pihak (negara pengesah konvensi) wajib mengupayakan untuk mengevaluasi instrumen-instrumen hukum dan upaya-upaya administratif yang terkait secara berkala agar memadai untuk mencegah dan memberantas korupsi"

Dengan adanya konvensi tersebut, ICW seharusnya tidak perlu mempersoalkan revisi UU KPK. Toh, apa yang dilakukan pemerintah dan DPR itu merupakan pembaharuan dan upaya penguatan KPK.

ICW sebaiknya mawas diri. Tindakan mereka sudah melampaui batas kewenangannya sebagai komponen masyarakat sipil.

Kita boleh saja tidak setuju dengan sebuah kebijakan atau peraturan, tetapi seyogianya protes atas itu dilakukan dengan akal sehat. Bukan sikap egois mau menang sendiri.

Itulah ciri dari organisasi masyarakat sipil yang beradab, dan bukan preman. Betul, bukan?