Quote:
Menurut Tim Pencari Fakta Komnas HAM,
pelaku penembakan terhadap demonstran saat unjuk rasa 21-23 Mei 2019 lalu, tidak berasal dari kepolisian. Investigasi ini menyebut, ada aktor terlatih di balik peristiwa ini.
Komnas HAM telah melakukan investigasi terkait
penembakan yang mengakibatkan 10 orang meninggal duniasaat aksi demonstrasi yang berlangsung pada 21-23 Mei 2019. Berdasarkan temuan yang dilakukan Tim Pencari Fakta (TPF), Komnas HAM menyebut penembakan dalam demo ricuh itu bukan dilakukan kepolisian.
"Pada peristiwa Mei, kami sudah memeriksa kepolisian. Kepolisian juga sudah dari uji balistik itu memang tidak ditemukan sisa misal selongsong dan juga tidak ada senjata yang digunakan untuk peluru tajam itu. Jadi memang kami menyimpulkan korban meninggal karena peluru tajam itu bukan oleh aparat kepolisian," ujar Wakil Ketua TPF Beka Ulung Hapsara di kantor Komnas HAM, Jl Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (28/10/2019).
Beka Ulung menyebut, berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap kepolisian, tak ada senjata yang dibawa oleh aparat yang bertugas mengamankan demo. Beka menilai ada 'aktor' lain dalam peristiwa 22 Mei tersebut.
"Investigasi kami begini, kami memanggil dari Irwasum terus Kadivkum, terus Puslabfor, terus Kapolres Jakbar, Jaktim, Jakpus sampai komandan satuan kepolisian saat itu bertugas," katanya.
Aktor tersebut, kata Beka Ulung, merupakan kelompok yang sudah terorganisasi. Dalam rekonstruksi yang sudah dilakukan, pola yang digunakan untuk melakukan penembakan mirip dengan peristiwa lainnya.
"Fakta ada korban yang tertembak bisa dari samping ketika kemudian kami rekonstruksi antara kelompok massa kemudian polisi ternyata korbannya itu (tertembak) dari samping. Itu kemudian faktanya sementara polisi ada di depan," katanya.
"Kedua pola peristiwa yang ada hampir sama antara korban 2 dengan yang lain dan itu saya kira membuktikan bahwa mereka terorganisir," sambungnya.
Terkait uji forensik yang dilakukan polisi terhadap korban, Beka Ulung mengaku Komnas HAM dilibatkan juga. "Iya kami diminta untuk menyaksikan prosesnya segala macam," katanya.
TPF Komnas HAM telah bertemu dengan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Polri yang dipimpin Komjen Moechgiyarto pada 11 dan 17 Juni 2019. Informasi dari TGPF Polri, Beka menyebut ada 10 orang tewas dari peristiwa tersebut di Jakarta dan Pontianak.
Beka menyebut 8 orang terluka tembak dan 1 orang terluka di kepala dari hantaman benda tumpul di Jakarta. Sedangkan seorang lagi di Pontianak mengalami luka tembak.
"Empat dari 10 orang yang meninggal dunia adalah anak-anak sehingga patut diduga ada upaya menjadikan anak-anak sebagai korban dan sasaran kekerasan untuk memancing emosi massa," kata Beka.
Selain itu, TPF Komnas HAM juga menyoroti kekerasan yang dilakukan oknum polisi. Bukti kekerasan itu disebut terekam dalam video di Kampung Bali, di depan kantor Kementerian ATR/BPN, di Jalan Kota Bambu Utara I, di Pos Penjagaan Brimob, dan di Jalan KS Tubun.
Beka mengatakan kekerasan itu tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Untuk itu, dia meminta petinggi Polri untuk menjatuhkan tindakan tegas pada para oknum itu.
TPF juga menemukan adanya laporan orang hilang setelah peristiwa 21-23 Mei tersebut. Beka mengatakan total ada 32 laporan orang hilang yang diduga akibat akses informasi dari kepolisian yang tidak sampai pada keluarga
SUMBER
sudah clear, bukan polisi yang tembak
seandainya deh polisi mo nembak
ngapain incar anak anak?
yg rusuh kan pasti orang dewasa
ini semua jelas banget, ada yang niat provokasi untuk chaos
untuk nasbung yang masih memiliki otak
saat ini bukan lagi, "saya ga mau dukung jokowi karena jokowi kurang baik"
tapi dukunglah jokowi supaya situasi tidak makin runyam
supaya situasi lebih kondusif
toh jokowi da jadi presiden
pilpres da kelar
tidak setuju dengan kebijakan, masih ada jalur MA
jangan jadi pion kadal gurun
lu yang demo
lu yang cape
lu yang di bunuh