- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Kampung Wiwitan Pasir: Memelihara Budaya Sunda demi Martabat Bangsa
TS
lostcg
Kampung Wiwitan Pasir: Memelihara Budaya Sunda demi Martabat Bangsa
Kampung Wiwitan Pasir: Memelihara Budaya Sunda demi Martabat Bangsa

Sejumlah warga di Kampung Adat Sunda Wiwitan Pasir.(Deni Hadiansah )
Setelah menyusuri gang sempit, sampailah di depan gapura (gerbang) dengan tulisan wilujeng sumping (selamat datang). Di sebelah kanan terdapat méru, semacam saung tempat upacara siraman pengantin. Setelah itu terdapat dua bangunan artistik cukup besar berdampingan. Ornamennya banyak terbuat dari awi (bambu) dan kai (kayu). Bangunan yang seperti aula, disebut balé atikan (ruang pembelajaran). Adapun bangun yang satu lagi, disebut leuit (tempat penyimpanan padi).
Inilah Kampung Adat Sunda Wiwitan Pasir, letaknya di Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Suasana kampung adat pun semakin terasa, ketika salah seorang warga menyambut kedatangan, “Wilujeng sumping. Mangga ka lebet, kaleresan masih kénéh seueur liwet. Bilih badé tuang! (Selamat datang. Silakan masuk, kebetulan masih tersedia nasi liwet. Silakan makan dulu!),” ujar seorang warga.
Setelah melihat aktivitas warga dan menikmati lingkungan sekitar, baru bertemu dan berdiskusi dengan Sutisna (77 Tahun). Warga adat memanggilnya Wa Entis, sebab dia yang dipikolot (ditokohkan) sekaligus sebagai sesepuh kampung (tetua kampung). Dengan bersemangat, dia mengajak diskusi dengan mempersilakan duduk di depan Bale Atikan.
“Sudah lebih dari 20 tahun dipikolot (dituakan). Kasebatna sesepuh kampung (dipercaya menjadi ketua kampung). Jumlah warga adat Pasir ada 310 orang dari 90 umpi (kepala keluarga). Semuanya memeluk ajaran Sunda Wiwitan, kecuali 5 orang dari 22 umpi memeluk agama Katolik. Mata pencaharian warga beragam, mulai dari yang bertani, buruh bangunan, berdagang, membatik, dan mengukir kayu,” kata Wa Entis.
Menurut penuturan Wa Entis, ajaran Sunda Wiwitan yang dipegang teguh oleh warga adat Pasir pertama kali diajarkan oleh Abah Wiratma Wijaya yang lahir pada tahun 1840. Abah Ratma (begitu mereka menyebutnya), mengajarkan ilmu kebatinan yang meliputi wawanén (keberanian) dan kasaktén (kesaktian). Pada perkembangannya, ajaran Abah Ratma pun digabung dengan ajaran Sunda Wiwitan. Diawali dengan kisah pada akhir abad ke-18, Abah Ratma bertemu dengan Pangeran Madrais dari Cigugur Kuningan di daerah Cipicung, Kecamatan Banyuresmi. Abah Ratma mengajarkan ajaran Sunda Wiwitan sampai meninggal pada tahun 1965.
“Warga adat Pasir tidak memeiliki kitab suci seperti agama lain. Kitab yang dipelajari adalah kitab hayat, bermakna bahwa warga adat harus ngaji diri ngaji badan. Selain itu, dipelajari juga naskah kuno Sunda sanghyang siksa kandang karesiyan, amanat galunggung, dan sewaka darma,” ujar Wa Entis.
Ajaran Sunda Wiwitan
Ajaran Sunda Wiwitan yang dipahami dan dihayati oleh warga adat Pasir, bahwa dalam hidup harus memegang prinsip kudu bérés roés, guyub, dan gotong royong. Prinsip inilah yang menjadikan kehidupan warga aman dan sejahtera. Selain itu, melaksanakan juga tri tangtu ka diri, meliputi txkad ucap lampah. Tritangtu ka nagara, membela nusa bangsa. Tri tangtu ka buana, mempercayai Yang Maha Kuasa,” ujar Wa Entis.
Sehingga dengan prinsip itu, warga adat kampung Pasir tidak pernah berkonflik dengan sesama. Hidup damai, nyaman, dan penuh toleransi.
“Urang Sunda mah loba kapamalian (orang Sunda banyak pantrangan). Contohnya, hidup tidak boleh sirik pidik jail kaniaya ka sasama. Ini bermakna bahwa orang Sunda teu pipilih bangsa dina kamanunggalan, da manusa mah tunggal. Artinya bahwa orang Sunda tidak memilih-milih bergail dengan etnis tertentu, karena hidup merasa satu bangsa. Selain itu dahar daging anjing jeung arak dipahing (tidak boleh memakan daging babi dan minuman keras),” kata Wa Entis.
Terdapat dua ritual ibadah yang dilaksanakan warga kampung Pasir. Pertama, ritual keseharian yang disebut olahrasa, dilakukan pagi hari pukul 05.00 dan sore 18.00 petang. Ritual dipimpin oleh Wa Entis sebagai sesepuh kampung. Isinya semacam wejangan (ceramah) tentang pentingnya hubungan antara manusia, alam dan Tuhan. Kedua, puasa setahun sekali. Berbeda dengan pemeluk Islam yang berpuasa pada bulan Ramadan, warga kampung Pasir dilaksanakan selama 40 hari.
Pada praktiknya, puasa dibagi ke dalam empat bagian. 10 hari pertama, warga adat berbuka dengan beubeutian (hasil pertanian), 10 hari kedua berbuka dengan bungbuahan (buah-buahan), 10 hari ketiga campuran beubeutian dan bungbuahan, dan 10 hari terakhir berbuka dengan makanan bebas. Hanya saja dipahing dahar babi, nginum arak, jeung ngadahar buah kalayar da parab oray (jangan memakan daging babi, minuman keras, dan buah kalayar karena makanan ular).
Demikian, setelah 40 hari berpuasa, warga adat pun merayakan hari besar riyaya setiap tanggal 1 Syura. Pada perayaan ini, warga adat biasanya melaksanakan di dua lokasi berbeda, di kampung Pasir dan puncaknya di puseur (pusat) Cigugur, Kuningan. Ketiga perayaan di kampung Pasir, ketua adat dari Cigugur Kuningan pun selalu menghadiri.
Kearifan Lokal Sunda
Terdapat beberapa kesenian tradisional Sunda yang masih dipelihara di kampung Pasir, di antaranya: seni ukir, ngabatik, tembang Cianjuran, angklung buncis, dogdog réog, dan gamelan degung. Seluruh jenis kesenian tersebut diwariskan secara turun-temurun yang disebut taman atikan. Kegiatan pelatihan tersebut diikuti oleh anak-anak kecil dan remaja yang diselenggarakan secara rutin di Bale Atikan.
Selain melalui jalur informal, pendidikan bagi warga Pasir pun ditempuh melalui jalur formal. Banyak generasi muda, setelah menamatkan SMP dilanjutkan ke SMA. Bahkan terdapat 5 orang yang menempuh pendidikan tinggi (kuliah) di kota Bandung dan Cirebon.
Selain berkesenian, warga adat kampung Pasir senantiasa memegang falsafah Sunda, meliputi: welas asih (kasih sayang), undak-usuk (kesantunan berbahasa), tatakrama (budi pekerti), wiwaha (kedewasaan berpikir dan bertindak), dan budi daya-budi basa (perilaku dan berkomunikasi). Semua itu merupakan indikator tercapainya yuda naraga atau perang sajeroning kurungan, artinya pandai mengendalikan diri dan hawa nafsu. Bagi warga adat kampung Pasir, tapa (semedi) yang sebenarnya bukan di leuweung (hutan), leuwi (bagian sungai paling dalam) dan sagara (laut), tetapi harus bisa nyepi diri di nu rame (menyepi di tempat ramai). Maknanya bahwa warga adat harus mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar, meskipun memiliki perbedaan adat dan kepercayaan.
“Ada pula falsafah hidup yang dihayati oleh warga adat, yakni lulurung tujuh ngabandung, ka dalapan keur disorang. Yang tujuh itu, terdiri dari soca dua (dua mata), pangambung dua (lubang hidung dua), cepil dua (dua telinga), baham hiji (satu mulut). Adapun kadalapan keur disorang maksudnya bahwa ketujuh hal itu dimaknai: soca dua jeung awasna (mata dengan penglihatannya), pangambung dua jeung angseuna (hidung dengan penciumannya), cepil dua jeung danguna (telinga dua dengan pendengarannya), lambey satu jeung ucapna (lidah satu dengan perkatannya), panangan dua sampean dua sareng tingkahna, ulah sarampa-rampana ulah satincak-tincakna (tangan dua kaki dua dengan tingkahnya dan jangan salah berpijak),” ujar Wa Entis tandas.
Selain falsafah hidup di atas, selaku sesepuh kampung, Wa Entis pun menjelaskan bahwa orang Sunda itu harus memiliki visi yang jelas, sesuai dengan pitutur leluhur bahwa Sunda sing ngajajar ngantay, kudu pageuh ku pamukna (Sunda harus berkembang dan memiliki banyak prestasi).
Pendidikan Anti Korupsi
Selain ajaran-ajaran yang disebutkan di atas, ternyata warga adat Pasir pun telah menerapkan pendidikan anti korupsi. Sesepuh kampung mengajarkan prinsip kepada seluruh warga bahwa hidup itu ulah sok ngala mun teu melak, ulah sok nyokot mun teu nunda, ngukut cikur kudu misaur, nyokel jahe kudu micarek. Bermakna bahwa jangan mengambil milik orang lain dan jika meminta sesuatu harus mengajukan iéin. Sehingga, kalau ada warga adat yang mencuri, sejatinya telah mengingkari ajaran hidup. Oleh karena itu, hidup itu harus silih asah, asih, asuh jeung wawangina. Artinya hidup harus saling mengasihi, mengedepankan kerjasama, dan saling bekerjasama. Memaknai eksistensi Prabu Siliwangi dalam kehidupan kini artinya bahwa prabu aya dina waruga (keteladanan pada diri), wawangina ka sasama (menghargai sesama).
Mengedepankan Tolerasi
Dalam kehidupan sehari-hari warga adat kampung Pasir hidup berdampingan, rukun dan harmonis dengan warga sekitar yang mayoritas memeluk agama Islam. Bahkan sejak pemerintah memeperbolehkan mencantumkan keterangan “Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME” di e-KTP dan Kartu Keluarga (KK), warga kampung Pasir pun menyikapinya dengan bahagia. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan amanat UUD 1945, tertuang dalam Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 29 ayat (2). Ketentuan turunnya dapat ditemukan dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 dan UU Nomor 24 Tahun 2013. Pasal 61 dan 64 beleid itu menyebut, elemen data penghayat kepercayaan di kolom agama e-KTP atau KK tidak dicantumkan. Akan tetapi, MK menganulir isi kedua pasal itu melalui Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 tanggal 18 Oktober 2017. Oleh karena itu, kini pemerintah melalui Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 118 Tahun 2017 tentang Blangko KK, Register dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil.
“Puji rahayu! Sudah diakomodir oleh pemerintah Kabupaten Garut soal aturan itu. Kalau Uwa di KTP ditulis ‘Penghayat’ saja, soalnya kalua ‘Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME’ terlalu panjang, tidak cukup. Cuma, kalua Akta Nikah belum diakomodir. Selama ini kalau ada warga adat yang menikah, hanya diberi surat keterangan saja oleh desa setempat. Mudah-mudahan ke depan bias tercatat. Tapi dengan aturan sekarang, kami sudah merasa diangken (diakomodir), sehingga makin mencintai bangsa dan negara Indonesia,” jelas Wa Entis dengan mata berbinar. Dengan memiliki KTP, warga adat kampung Pasir pun mendapatkan hak yang sama dalam berpolitik seperti warga lainnya.
Hanya saja ketika ditanya lebih lanjut tentang catatan ajaran leluhurnya, Wa Entis menjawab dengan diplomatis, “Di dieu mah teu aya naskah kuno, da kapungkur nuju jaman Walanda sok dicuriga. Ajaran mah satapak-tapak tina otak, henteu tinulis (Di sini tidak ada naskah kuno, sebab pada jaman Belanda dulu selalu dicurigai. Ajaran hanya disimpan di otak, tidak tertulis). Tapi yang harus dicatat, kami memelihara budaya Sunda itu demi martabat bangsa,” ujar Wa Entis tandas.
Demikian kunjungan ke kampung Pasir. Sebelum mengakhiri diskusi, Wa Entis pun memberi jangjawokan (mantra) untuk dihapalkan. Fungsi dan apa manfaatnya, silakan pembaca sendiri yang memaknainya:
Seja babakti sapulukaneun/Lahirna wujud tuangeun leueuteun/
Sidatonton masamoan/Manusa sareng pimanusaeun/Anu pada ayang ayangan/
Satata sarasa sakorsén/Sumurup sumalira/Manjing kana waruga/
Nu teu weléh disuhunkeun karidoanana/
Malah mandar nu nuang sareng anu dituang/Nebarkeun wijining éling/
Walagri bibit saati/Batina nu jadi hurip daya wisésa/
Adiluhung mugia ngadangiangkeun aweuhan/Ajén saperbu sabalé gandrung/
Sasunda sasiliwangi/Panceg ngadeg di Galuh Pakuan anu hakiki//
Deni Hadiansah
Dosen, penulis, dan pemerhati kearifan lokal Sunda.
Pernah meraih anugerah budaya R. Soeria Diradja (2004)
dan Hadiah Sastra LBSS (2010).
---------
Artikel ini sudah Terbit di AyoBandung.com, dengan Judul Kampung Wiwitan Pasir: Memelihara Budaya Sunda demi Martabat Bangsa, pada URL https://m.ayobandung.com/read/2019/1...artabat-bangsa
Penulis: Redaksi AyoBandung.Com
Editor : Redaksi AyoBandung.Com
Wow bagus nih, ketimbang ajaran impor dari padang pasir

Sejumlah warga di Kampung Adat Sunda Wiwitan Pasir.(Deni Hadiansah )
Setelah menyusuri gang sempit, sampailah di depan gapura (gerbang) dengan tulisan wilujeng sumping (selamat datang). Di sebelah kanan terdapat méru, semacam saung tempat upacara siraman pengantin. Setelah itu terdapat dua bangunan artistik cukup besar berdampingan. Ornamennya banyak terbuat dari awi (bambu) dan kai (kayu). Bangunan yang seperti aula, disebut balé atikan (ruang pembelajaran). Adapun bangun yang satu lagi, disebut leuit (tempat penyimpanan padi).
Inilah Kampung Adat Sunda Wiwitan Pasir, letaknya di Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Suasana kampung adat pun semakin terasa, ketika salah seorang warga menyambut kedatangan, “Wilujeng sumping. Mangga ka lebet, kaleresan masih kénéh seueur liwet. Bilih badé tuang! (Selamat datang. Silakan masuk, kebetulan masih tersedia nasi liwet. Silakan makan dulu!),” ujar seorang warga.
Setelah melihat aktivitas warga dan menikmati lingkungan sekitar, baru bertemu dan berdiskusi dengan Sutisna (77 Tahun). Warga adat memanggilnya Wa Entis, sebab dia yang dipikolot (ditokohkan) sekaligus sebagai sesepuh kampung (tetua kampung). Dengan bersemangat, dia mengajak diskusi dengan mempersilakan duduk di depan Bale Atikan.
“Sudah lebih dari 20 tahun dipikolot (dituakan). Kasebatna sesepuh kampung (dipercaya menjadi ketua kampung). Jumlah warga adat Pasir ada 310 orang dari 90 umpi (kepala keluarga). Semuanya memeluk ajaran Sunda Wiwitan, kecuali 5 orang dari 22 umpi memeluk agama Katolik. Mata pencaharian warga beragam, mulai dari yang bertani, buruh bangunan, berdagang, membatik, dan mengukir kayu,” kata Wa Entis.
Menurut penuturan Wa Entis, ajaran Sunda Wiwitan yang dipegang teguh oleh warga adat Pasir pertama kali diajarkan oleh Abah Wiratma Wijaya yang lahir pada tahun 1840. Abah Ratma (begitu mereka menyebutnya), mengajarkan ilmu kebatinan yang meliputi wawanén (keberanian) dan kasaktén (kesaktian). Pada perkembangannya, ajaran Abah Ratma pun digabung dengan ajaran Sunda Wiwitan. Diawali dengan kisah pada akhir abad ke-18, Abah Ratma bertemu dengan Pangeran Madrais dari Cigugur Kuningan di daerah Cipicung, Kecamatan Banyuresmi. Abah Ratma mengajarkan ajaran Sunda Wiwitan sampai meninggal pada tahun 1965.
“Warga adat Pasir tidak memeiliki kitab suci seperti agama lain. Kitab yang dipelajari adalah kitab hayat, bermakna bahwa warga adat harus ngaji diri ngaji badan. Selain itu, dipelajari juga naskah kuno Sunda sanghyang siksa kandang karesiyan, amanat galunggung, dan sewaka darma,” ujar Wa Entis.
Ajaran Sunda Wiwitan
Ajaran Sunda Wiwitan yang dipahami dan dihayati oleh warga adat Pasir, bahwa dalam hidup harus memegang prinsip kudu bérés roés, guyub, dan gotong royong. Prinsip inilah yang menjadikan kehidupan warga aman dan sejahtera. Selain itu, melaksanakan juga tri tangtu ka diri, meliputi txkad ucap lampah. Tritangtu ka nagara, membela nusa bangsa. Tri tangtu ka buana, mempercayai Yang Maha Kuasa,” ujar Wa Entis.
Sehingga dengan prinsip itu, warga adat kampung Pasir tidak pernah berkonflik dengan sesama. Hidup damai, nyaman, dan penuh toleransi.
“Urang Sunda mah loba kapamalian (orang Sunda banyak pantrangan). Contohnya, hidup tidak boleh sirik pidik jail kaniaya ka sasama. Ini bermakna bahwa orang Sunda teu pipilih bangsa dina kamanunggalan, da manusa mah tunggal. Artinya bahwa orang Sunda tidak memilih-milih bergail dengan etnis tertentu, karena hidup merasa satu bangsa. Selain itu dahar daging anjing jeung arak dipahing (tidak boleh memakan daging babi dan minuman keras),” kata Wa Entis.
Terdapat dua ritual ibadah yang dilaksanakan warga kampung Pasir. Pertama, ritual keseharian yang disebut olahrasa, dilakukan pagi hari pukul 05.00 dan sore 18.00 petang. Ritual dipimpin oleh Wa Entis sebagai sesepuh kampung. Isinya semacam wejangan (ceramah) tentang pentingnya hubungan antara manusia, alam dan Tuhan. Kedua, puasa setahun sekali. Berbeda dengan pemeluk Islam yang berpuasa pada bulan Ramadan, warga kampung Pasir dilaksanakan selama 40 hari.
Pada praktiknya, puasa dibagi ke dalam empat bagian. 10 hari pertama, warga adat berbuka dengan beubeutian (hasil pertanian), 10 hari kedua berbuka dengan bungbuahan (buah-buahan), 10 hari ketiga campuran beubeutian dan bungbuahan, dan 10 hari terakhir berbuka dengan makanan bebas. Hanya saja dipahing dahar babi, nginum arak, jeung ngadahar buah kalayar da parab oray (jangan memakan daging babi, minuman keras, dan buah kalayar karena makanan ular).
Demikian, setelah 40 hari berpuasa, warga adat pun merayakan hari besar riyaya setiap tanggal 1 Syura. Pada perayaan ini, warga adat biasanya melaksanakan di dua lokasi berbeda, di kampung Pasir dan puncaknya di puseur (pusat) Cigugur, Kuningan. Ketiga perayaan di kampung Pasir, ketua adat dari Cigugur Kuningan pun selalu menghadiri.
Kearifan Lokal Sunda
Terdapat beberapa kesenian tradisional Sunda yang masih dipelihara di kampung Pasir, di antaranya: seni ukir, ngabatik, tembang Cianjuran, angklung buncis, dogdog réog, dan gamelan degung. Seluruh jenis kesenian tersebut diwariskan secara turun-temurun yang disebut taman atikan. Kegiatan pelatihan tersebut diikuti oleh anak-anak kecil dan remaja yang diselenggarakan secara rutin di Bale Atikan.
Selain melalui jalur informal, pendidikan bagi warga Pasir pun ditempuh melalui jalur formal. Banyak generasi muda, setelah menamatkan SMP dilanjutkan ke SMA. Bahkan terdapat 5 orang yang menempuh pendidikan tinggi (kuliah) di kota Bandung dan Cirebon.
Selain berkesenian, warga adat kampung Pasir senantiasa memegang falsafah Sunda, meliputi: welas asih (kasih sayang), undak-usuk (kesantunan berbahasa), tatakrama (budi pekerti), wiwaha (kedewasaan berpikir dan bertindak), dan budi daya-budi basa (perilaku dan berkomunikasi). Semua itu merupakan indikator tercapainya yuda naraga atau perang sajeroning kurungan, artinya pandai mengendalikan diri dan hawa nafsu. Bagi warga adat kampung Pasir, tapa (semedi) yang sebenarnya bukan di leuweung (hutan), leuwi (bagian sungai paling dalam) dan sagara (laut), tetapi harus bisa nyepi diri di nu rame (menyepi di tempat ramai). Maknanya bahwa warga adat harus mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar, meskipun memiliki perbedaan adat dan kepercayaan.
“Ada pula falsafah hidup yang dihayati oleh warga adat, yakni lulurung tujuh ngabandung, ka dalapan keur disorang. Yang tujuh itu, terdiri dari soca dua (dua mata), pangambung dua (lubang hidung dua), cepil dua (dua telinga), baham hiji (satu mulut). Adapun kadalapan keur disorang maksudnya bahwa ketujuh hal itu dimaknai: soca dua jeung awasna (mata dengan penglihatannya), pangambung dua jeung angseuna (hidung dengan penciumannya), cepil dua jeung danguna (telinga dua dengan pendengarannya), lambey satu jeung ucapna (lidah satu dengan perkatannya), panangan dua sampean dua sareng tingkahna, ulah sarampa-rampana ulah satincak-tincakna (tangan dua kaki dua dengan tingkahnya dan jangan salah berpijak),” ujar Wa Entis tandas.
Selain falsafah hidup di atas, selaku sesepuh kampung, Wa Entis pun menjelaskan bahwa orang Sunda itu harus memiliki visi yang jelas, sesuai dengan pitutur leluhur bahwa Sunda sing ngajajar ngantay, kudu pageuh ku pamukna (Sunda harus berkembang dan memiliki banyak prestasi).
Pendidikan Anti Korupsi
Selain ajaran-ajaran yang disebutkan di atas, ternyata warga adat Pasir pun telah menerapkan pendidikan anti korupsi. Sesepuh kampung mengajarkan prinsip kepada seluruh warga bahwa hidup itu ulah sok ngala mun teu melak, ulah sok nyokot mun teu nunda, ngukut cikur kudu misaur, nyokel jahe kudu micarek. Bermakna bahwa jangan mengambil milik orang lain dan jika meminta sesuatu harus mengajukan iéin. Sehingga, kalau ada warga adat yang mencuri, sejatinya telah mengingkari ajaran hidup. Oleh karena itu, hidup itu harus silih asah, asih, asuh jeung wawangina. Artinya hidup harus saling mengasihi, mengedepankan kerjasama, dan saling bekerjasama. Memaknai eksistensi Prabu Siliwangi dalam kehidupan kini artinya bahwa prabu aya dina waruga (keteladanan pada diri), wawangina ka sasama (menghargai sesama).
Mengedepankan Tolerasi
Dalam kehidupan sehari-hari warga adat kampung Pasir hidup berdampingan, rukun dan harmonis dengan warga sekitar yang mayoritas memeluk agama Islam. Bahkan sejak pemerintah memeperbolehkan mencantumkan keterangan “Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME” di e-KTP dan Kartu Keluarga (KK), warga kampung Pasir pun menyikapinya dengan bahagia. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan amanat UUD 1945, tertuang dalam Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 29 ayat (2). Ketentuan turunnya dapat ditemukan dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 dan UU Nomor 24 Tahun 2013. Pasal 61 dan 64 beleid itu menyebut, elemen data penghayat kepercayaan di kolom agama e-KTP atau KK tidak dicantumkan. Akan tetapi, MK menganulir isi kedua pasal itu melalui Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 tanggal 18 Oktober 2017. Oleh karena itu, kini pemerintah melalui Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 118 Tahun 2017 tentang Blangko KK, Register dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil.
“Puji rahayu! Sudah diakomodir oleh pemerintah Kabupaten Garut soal aturan itu. Kalau Uwa di KTP ditulis ‘Penghayat’ saja, soalnya kalua ‘Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME’ terlalu panjang, tidak cukup. Cuma, kalua Akta Nikah belum diakomodir. Selama ini kalau ada warga adat yang menikah, hanya diberi surat keterangan saja oleh desa setempat. Mudah-mudahan ke depan bias tercatat. Tapi dengan aturan sekarang, kami sudah merasa diangken (diakomodir), sehingga makin mencintai bangsa dan negara Indonesia,” jelas Wa Entis dengan mata berbinar. Dengan memiliki KTP, warga adat kampung Pasir pun mendapatkan hak yang sama dalam berpolitik seperti warga lainnya.
Hanya saja ketika ditanya lebih lanjut tentang catatan ajaran leluhurnya, Wa Entis menjawab dengan diplomatis, “Di dieu mah teu aya naskah kuno, da kapungkur nuju jaman Walanda sok dicuriga. Ajaran mah satapak-tapak tina otak, henteu tinulis (Di sini tidak ada naskah kuno, sebab pada jaman Belanda dulu selalu dicurigai. Ajaran hanya disimpan di otak, tidak tertulis). Tapi yang harus dicatat, kami memelihara budaya Sunda itu demi martabat bangsa,” ujar Wa Entis tandas.
Demikian kunjungan ke kampung Pasir. Sebelum mengakhiri diskusi, Wa Entis pun memberi jangjawokan (mantra) untuk dihapalkan. Fungsi dan apa manfaatnya, silakan pembaca sendiri yang memaknainya:
Seja babakti sapulukaneun/Lahirna wujud tuangeun leueuteun/
Sidatonton masamoan/Manusa sareng pimanusaeun/Anu pada ayang ayangan/
Satata sarasa sakorsén/Sumurup sumalira/Manjing kana waruga/
Nu teu weléh disuhunkeun karidoanana/
Malah mandar nu nuang sareng anu dituang/Nebarkeun wijining éling/
Walagri bibit saati/Batina nu jadi hurip daya wisésa/
Adiluhung mugia ngadangiangkeun aweuhan/Ajén saperbu sabalé gandrung/
Sasunda sasiliwangi/Panceg ngadeg di Galuh Pakuan anu hakiki//
Deni Hadiansah
Dosen, penulis, dan pemerhati kearifan lokal Sunda.
Pernah meraih anugerah budaya R. Soeria Diradja (2004)
dan Hadiah Sastra LBSS (2010).
---------
Artikel ini sudah Terbit di AyoBandung.com, dengan Judul Kampung Wiwitan Pasir: Memelihara Budaya Sunda demi Martabat Bangsa, pada URL https://m.ayobandung.com/read/2019/1...artabat-bangsa
Penulis: Redaksi AyoBandung.Com
Editor : Redaksi AyoBandung.Com
Wow bagus nih, ketimbang ajaran impor dari padang pasir
4iinch dan 4 lainnya memberi reputasi
5
1.4K
6
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan