- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Kisah Baper Pasangan Misqueen


TS
yunisajid
Kisah Baper Pasangan Misqueen
"Pak, aku bawa sebagian ya, singkong gorengnya?"
"Iya, bawa aja, Bu. Sisain sedikit aja buat sarapanku, ya!"
"Iya Pak, itu sudah Ibu taruh di piring sekalian sama tehnya," jawabku sambil memasukkan sepiring singkong goreng hangat ke dalam plastik.
Bergegas kukeluarkan sepeda setelah berpamitan dengan suami. Kemarin sore Yu Siti memberitahu kalau pagi ini kami dapat panggilan menanam padi di sawah Kang Parmin. Jarak rumah dengan sawah Kang Parmin lumayan jauh, akan melelahkan jika menuju kesana dengan berjalan kaki.
Mentari belum muncul ketika kuhampiri Yu Siti di depan rumahnya. Udara dingin masih melenakan tidur sebagian penduduk desa ini. Kecuali bagi para buruh tani seperti kami. Sengaja berangkat selepas subuh agar pekerjaan selesai ketika matahari belum sampai puncak teriknya.
"Yu, sampean yang bonceng, ya! Aku nggak sempat sarapan tadi!" pintaku pada Yu Siti
"Iyo, Nah. Ora popo. Lha kui apa yang kamu bawa di plastik?"
"Iki telo goreng, Yu. Mau kumakan sambil jalan. Makanya aku minta tulung sampean bonceng hehe," jawabku sambil membuka bekal.
"Lha piye kabare Narto, Nah? Kalau kamu tinggal kerja begini siapa yang ngambilkan makan dan ngantar ke kamar mandi?" tanya Yu Siti tentang keadaan suamiku.
"Alhamdulillah Yu, sudah bisa jalan pelan-pelan," kujawab singkat.
"Kamu yang sabar yo, Nah. Jaga kesehatan dan banyak-banyak berdoa," kata-kata Yu Siti terdengar bergetar.
"Iya Yu, maturnuwun pandongane."
Kuseka air yang pelan-pelan terasa hangat membasahi pipi. Mas Narto suamiku, sejak beberapa bulan yang lalu tidak lagi kerja. Sebuah kecelakaan membuat tulang di kakinya retak dan menyebabkannya tak bisa berjalan. Sementara saat itu aku tengah hamil muda. Demi menyambung hidup, pekerjaan apa saja kulakoni. Kadang ikut menanam padi di sawah, kadang menjadi buruh pengupas bawang merah.
***
"Kamu sudah pulang, Bu?" Kedatanganku ternyata membangunkan tidur Mas Narto.
"Iya Pak, alhamdulillah hari ini gak terlalu panas cuacanya jadi cepat selesai. Oh iya Pak, Kang Parmin tadi nitip ini buat Bapak." kataku sambil menyerahkan sebuah amplop putih.
"Opo to kui, Pak?" tanyaku penasaran.
Disobeknya ujung amplop putih tadi dan perlahan dikeluarkan isi didalamnya.
"Alhamdulillah, ya Allah ... " pekik bahagianya menarik perhatianku. Beberapa lembar uang seratus ribuan dalam genggaman membuat mata suamiku berkaca-kaca.
"Itu uang apa, Pak?"
"Uang hasil penjualan sepeda motor yang dulu itu, Bu,"
"Lha, bukannya uangnya sudah habis untuk berobat to, Pak?"
Suamiku tampak bingung. Untuk sesaat ia terdiam. Seperti ada yang ingin disampaikannya padaku.
"Maafkan Bapak, ya Bu. Sebenarnya uang penjualan motor belum semuanya dibayar. Setiap kali ditagih, selalu banyak alasan,"
Aku manggut-manggut mendengar penjelasan Mas Narto.
"Yowes, Pak. Mungkin memang waktu itu uangnya belum ada, dan baru ada sekarang ini,"
"Iya, Bu.
Baru tadi malam kami membicarakan perihal persiapan kelahiran anak kami. Tak ada tabungan sama sekali. Sedangkan uang hasil kerjaku hanya cukup untuk membeli beras dan sepotong tempe setelah sebelumnya kusisihkan untuk membeli obat Mas Narto.
Mungkin ini jawaban dari semua doa, juga buah manis dari kesabaran kami saat ditimpa ujian.






lina.wh dan 5 lainnya memberi reputasi
6
775
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan