Quote:
Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menolak pernyataan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) yang menyatakan kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia mundur sejak tahun 2014 atau saat Presiden Joko Widodo mulai memimpin.
Moeldoko menyatakan pemerintah terus berupaya mengelola stabilitas politik dan keamanan dengan demokrasi secara bersamaan. Ia menyadari bahwa tuntutan menegakkan demokrasi, terlebih dengan kehadiran media massa.
"Ini memang agak sulit, bagaimana mengelola stabilitas dengan demokrasi, begitu. Ini sering saya sampaikan di mana-mana, betul-betul tidak mudah," kata Moeldoko di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Jumat (18/10).
Moeldoko mengatakan perlu sebuah aturan dalam menata kehidupan berdemokrasi agar bisa berjalan dengan baik. Di sisi lain, stabilitas politik dan keamanan juga tak bisa diabaikan.
Menurut mantan Panglima TNI itu, begitu stabilitas diabaikan dengan mengutamakan demokrasi, maka muncul sebuah risiko. Terkadang, kata Moeldoko, risiko yang muncul ini tak bisa dibaca oleh semua pihak.
"Seolah-olah ini kok kayanya, keras sekali di zamannya Pak Jokowi itu, tapi sebenarnya enggak," ujarnya.
"Nah ini sebenarnya. mengelola dua sumbu itu yang harus dipahami semuanya. Kalau tidak nanti pemerintah selalu dikatakan otoriter dan seterusnya," kata Moeldoko melanjutkan.
Moeldoko mengklaim ketika menjabat sebagai Panglima TNI dirinya selalu mengelola stabilitas politik dan keamanan dengan demokrasi secara cermat. Ia menyatakan pemerintah tak serta-merta ingin mematikan kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat.
"Karena begitu kita tegakan stabilitas kencang wah teriak, Pak Moeldoko enggak reformis, tapi begitu kita juga abai dengan demokrasi maka kecenderungan anarkis," tuturnya.
"Sebelum api membesar maka api itu harus dikelola dengan baik, bukan langsung disiram, tapi dikelola dengan, kalau disiram demokrasi akan mati," kata pensiunan jenderal bintang empat itu.
Sebelumnya, Elsam menyampaikan kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia mundur sejak tahun 2014. Menyitir situs freedomhouse.org, Elsam menyatakan indeks kebebasan berpendapat Indonesia hampir lima tahun sudah tidak lagi dalam level bebas.
"Sebenarnya dalam konteks kebebasan berekspresi dan berpendapat, kita sejak 2014 menurut Freedom House, kita menurun dari free menjadi partly free. Artinya ada kemunduran terhadap demokrasi terkait penikmatan kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia," kata Peneliti Elsam Lintang Setianti.
Dalam penjelasan di situs tersebut, kebebasan berekspresi Indonesia mundur pada 2014 terkait penerbitan UU Ormas pada medio 2013. UU itu dinilai mengekang kebebasan warga Indonesia.
telah serangkaian diskriminasi kepada kalangan penganut Ahmadiyah. Setelah mundur ke level partly free, hingga saat ini belum ada kemajuan dalam sektor kebebasan berpendapat.
Elsam berpendapat ada andil pemerintahan Jokowi dalam kemunduran tersebut. Salah satu yang disoroti adalah pasal karet yang semakin sering digunakan untuk mengkriminalisasi aktivis.
UU ITE serta pasal makar dan pasal penodaan agama KUHP jadi regulasi paling sering mengkriminalisasi kebebasan berpendapat. Lintang memprediksi periode kedua Jokowi tak akan berbeda jauh jika pasal karet dan penegak hukum tidak dievaluasi kembali.
"Saya tidak mau bilang suram, tapi akan melelahkan, akan sangat melelahkan seperti beberapa bulan terakhir ini kita lelah melihat berita-berita penangkapan, kriminalisasi yang sangat banyak," ujarnya.
SUMBER
zaman jokowi keras?
klo keras da mati lu semua bajingan tukang demo yang bawa anak sambil teriak bunuh ahok bunuh ahok
yang fair saja
UU ITE di buat zamannya BEYE
lantas napa salahkan ke jokowi?
apa yg di lakukan polri zaman jokowi lebih ke arah menegakkan UU
walau gw sendiri ga setuju adanya UU bodoh berupa ITE maupun penistaan agama
2 pasal sampah yang berusaha membungkam suara dan aspirasi rakyat di negara yang KATANYA demokrasi ini
dulu gusdur pernah mencoba menghapus UU sampah bernama penistaan agama
tapi sayangnya di tolak MK
dan waktu gusdur menjabat ga cukup panjang