Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nyonyinezAvatar border
TS
nyonyinez
Penumbuh Bulu
Penumbuh Bulu
Teotihuacan,  Mexico, 2016. 

Aku berada di tempat ini lagi. Sebuah kota di mana dua tahun lalu aku menemukan perasaan yang maha tenang, namun kemudian berubah dahsyat seolah sebuah kiamat. Juga sebuah tempat yang membuat napas terasa lebih ringan dari sebelumnya, menjadikanku si laki-laki lemah berubah menjadi lebih hebat dalam sekejap. Namun, perasaan seperti itu hanya sementara, karena aku pun harus mengakui bahwa semuanya itu ternyata semu.

Aku kembali, kembali ke tempat ini untuk terakhir kalinya. Aku berjanji tidak akan pernah menginjakkan kaki yang kini kuat ini ke sini lagi. Dan sekarang, aku berdiri di tempat tertinggi—Piramide Del Sol, piramida yang menjadi simbol kejayaan Kota Teotihuacan. Sebuah kawasan piramida yang tercatat sebagai warisan dunia UNESCO pada tahun 1987. Tempat yang juga terkenal dengan kebersihannya, terlebih… tempat ini berhubungan erat dengan kisahku, tentu saja.

https://www.nationalgeographic.com/c...apt.1900.1.jpg

Masih terbayang dalam ingatanku, betapa dia begitu bersemangat memijak anak tangga untuk sampai ke sini. Tak kudengar kata lelah atau capek keluar dari mulutnya. Aku hanya beberapa kali mendapatinya berhenti sejenak untuk mengikat tali sepatunya yang lepas, dan menoleh ke bawah, ke arahku, sambil berkata, “Kalau tidak bisa lebih cepat, masuk saja ke dalam tempurungmu, wahai kura-kura ames, hahaha…!”, kemudian dia akan berlari lagi ke tempat yang lebih tinggi hingga ke bagian atas.

“Hei, kau masih kuat, tidak? Apa mau kugendong? Haha!” Dia terbelalak menertawakanku yang masih jauh tertinggal. Aku belum terbiasa jalan jauh, apalagi berada di atas ketinggian. Aku phobia ketinggian, tapi perempuan unik ini berhasil memusnahkan ketakutanku dalam waktu singkat. Ah, mungkin juga karena cinta.

“Hah, sepertinya kita perlu bertukar isi betis, supaya kaki mejamu itu bisa setangguh kaki soccer-ku, haha!” Lagi-lagi dia tertawa, kali ini sambil memegangi perutnya.
Aku diam saja. Selain napasku pendek, aku tidak pernah cukup tega bila harus membalas ejekannya. Lagi pula, apa yang harus kuejek? Dia nyaris tak punya kekurangan untuk kujadikan bahan bulian.

“Bey, besok-besok kita beli penumbuh bulu, ya?” ujarnya, setelah akhirnya aku sampai di atas ketinggian 63,5 meter. Ini gila bagiku!

“Hh, untuk apa?” tanyaku, mengusap bulir keringat pada setiap sudut pelipis.

“Ya tentu saja untuk kakimu. Barangkali bila sudah tumbuh bulu, kaki meja itu bisa berubah jadi kaki gajah, hahaha!” Dia kembali menderai tawa. Tawa yang selalu lepas tanpa beban. Tawa yang sebenarnya aku tak pernah merasakan lucu dari hal yang ditertawakannya. Namun, aku pun tak mampu melarangnya. Meski dia tertawa setelah mengejekku, tertawa karena mencelaku, aku tak keberatan. Aku selalu senang melihat dia menahan perutnya yang kesakitan saat tertawa terus menerus. Aku bahagia, mungkin karena cinta.

“Bey, ini tempat terakhir petualangan kita,” celetuknya, sesaat setelah berhenti tertawa dan meneguk habis sebotol air mineral.

“Terakhir? Bukankah kau akan mengajakku climbing di Devil’s Tower? Hei, apa uang kita sudah habis?” Aku menunggu kata-kata yang mungkin keluar dari mulut pedasnya, yang akan kembali menggelar tawa.

“Tidak, Bey. Uang kita masih cukup, bahkan untuk ber-selfie di taman Versailles, Prancis, atau bermain petak umpet di Labirin Ashcombe, Victoria,” jawabnya, lalu mendongak padaku.

“Lalu?”

“Aku jatuh cinta pada Teotihuacan, Bey. Apa kau suka tempat ini?”

“Aku suka semua tempat yang kamu suka, Glow.” Kuusap kepalanya dengan perasaan yang sama ketika dia menggenggam tanganku, dan berucap, I love you too.

“Kalau begitu aku tak mau pulang. Aku mau tinggal di sini, dan kau bisa menemuiku sesukamu, ide bagus kan?”

“Jangan mimpi!” Aku mengusap wajahnya lalu berlari kecil, kulihat Glow mengerucutkan bibirnya.
*

Di antara bangunan bersejarah Teotihuacan, Piramide del Sol, atau Piramida Matahari, tempat terakhir aku mendengar nyanyian sumbang dari gelak tawanya. Masih kuingat betul bagaimana cara dia memperkenalkan tempat bersejarah ini dengan kepercayaandiri, seolah dialah yang paling tahu.

“Jadi, Kota Teotihuacan ini diambil dari bahasa Aztec, yang artinya kota para dewa,” ungkapnya bergaya ala tourgaede.

https://www.ancient.eu/img/r/p/500x6...g?v=1485681264

“Kota ini diperkirakan sudah ada sejak tahun 2000 sebelum masehi. Kau masih belum lahir, Bey, kau masih berupa entah,” tuturnya sambil mengangkat bahu. Rambutnya yang kriting kemerahan dan jarang sekali bersentuhan dengan sisir, berkeliaran dihempas angin.

Glory Anastasya, atau aku memanggilnya dengan nama kesayangan, yaitu Glow. Yang mengibaratkan tempat suci ini adalah kami, aku sebagai Piramida Matahari, dan dirinya sebagai Piramida Bulan.

Kami sudah berpetualang ke beberapa tempat yang kami anggap wajib datang. Setidaknya, tempat itu harus memiliki sejarah menarik, berada di negara yang aman dan nyaman. Entah kenapa, Mexico adalah tempat yang paling sering dia sebut. Sejak pertama kami melakukan perjalanan, Glow selalu merengek minta ke kota suci ini.

“Yang tadi kita lewati, di ujung jalan utama La Calza de los Muertos yang menghubungkan Kuil Ciudadela, itulah aku, Piramide de la Luna.” Glow menunjuk bangga pada dirinya sendiri.

“Tapi tidak lebih tinggi dariku, bukan?” selaku.

“Kenyataannya memang begitu, Bey. Tinggi Piramida Bulan hanya sekitar 42 meter.” Glow bergeser ke tempatku berdiri, mengambil gambar dari ponsel pintarnya.

“Menurutmu, apa kita bisa menikah di sini? Aku di puncak matahari, dan kau di puncak bulan, bagaimana?” seruku, mengalihkan keasyikannya memotret. Glow mendongak, mata cokelatnya mengerling.

“Jangan mimpi!” Glow mengusap wajahku. Ini balas dendam namanya!

“Bey, apa perutmu sudah lapar? Aku tadi bawa roti keju kesukaanmu.” Dia merogoh tas mungilnya, lalu mengeluarkan kotak makan berisi roti panggang, memotongnya menjadi dua bagian, kecil dan besar.

“Ini untukmu,” katanya, memberiku bagian yang lebih kecil. Ya, sudah kutebak sejak awal.

“Kau tidak pernah adil!” ketusku.

“Setidaknya ini adil untukku, hehe!”
*

Selain sepasang piramida favoritnya, masih ada Kuil Quetzalcoat dan Ciudadela. Glow bilang, dahulunya tempat itu dijadikan sebagai pusat pemerintahan kota dan rumah kepala suku. Aku telah menjelajahi setiap belahan tempat ini bersamanya, dua tahun lalu. Dan dua tahun setelahnya yang selalu mengundang gemercik rindu untuk kembali. Kembali untuk mencari jawaban yang tak kunjung kudapatkan.

“Aku pulang, Glow….” Kulangkahkan kaki menuju arena luas berbentuk segi empat yang disebut Plaza de la Luna. Berdiri memandang sekeliling, di tengah keramaian lalu lalalng orang asing yang bising dan membuat kepalaku sedikit pusing. Terlintas raut wajah Glow saat dia memutuskan untuk pergi meninggalkanku.

“Bey, sepertinya besok aku tidak dapat menemanimu membeli penumbuh bulu,” ucap Glow, saat kami tiba di hotel.

“Apa aku benar-benar harus membelinya?” Aku tidak sungguh-sungguh bertanya. Aku, seperti biasa, menunggu sebuah kalimat yang menurutnya akan cukup lucu untuk ditertawakan.

“Aku serius, Bey, aku tidak mau pulang.” Ucapan Glow tetiba menghentikan langkahku. Seperti ada petir menyambar tepat di tubuhku. Seketika membekukan aliran darah. Ada dingin dan panas menyebar dari ujung kaki hingga kepala.

“Maksudmu?”

“Bey, aku minta maaf.” Glow gegas menutup pintu kamarnya.

“Tapi kenapa, Glow? Bukankah kita baik-baik saja? Apa salahku? Oh, aku minta maaf jika aku masih terlalu lemah, aku janji aku akan menumbuhkan banyak bulu di kakiku, di dadaku, di tanganku, semuanya, Glow. Percayalah, Glow, aku akan melakukan apa pun, Glow! Glow!” Aku terus mengetuk pintu kamarnya, tapi Glow tak menggubris.
Keesokan harinya, saat aku mencoba mengetuk pintu, pintu terbuka, tapi bukan Glow. Kamar sudah berganti tangan.

Aku kecewa. Sejuta pertanyaan terus berlarian dalam kepala. Aku frustasi. Aku mencintai Glow, dan tak pernah mengira akan begini pada akhirnya. Semua kontak Glow tak ada yang bisa kuhubungi. Glow menghilang tanpa meninggalkan pesan apa pun. Ini bencana, ini kiamat kecil kedua setelah phobiaku. Kemana Glow pergi? Kenapa dia pergi?
*

Dua tahun berlalu. Hari-hariku masih saja kelabu. Aku merasa hidupku hambar tanpa sosok Glow. Gelak tawa dan kata-kata sadis dari mulutnya, lenyap begitu saja. Aku ingin kembali. Selalu seperti itu harapanku tentang kisah Glow dan Teotihuacan, tentang Piramida Matahari dan Bulan yang… ah, mereka tak pernah bisa bersama meski dalam jarak dekat.

“Bey!”

Sepertinya aku mendengar seseorang menyebut namaku. Tapi mustahil, aku pasti berhalusinasi.

“Bey!” Sekali lagi, aku menoleh. Jelas, tidak ada siapa pun. Sudah kuduga, aku hanya berkhayal. Lihat, Glow! Aku tak bisa lagi membedakan dunia nyata.

“Hei! Akhirnya kau datang juga. Kenapa begitu lama untuk mengingat?” Seseorang menepuk bahuku. Dengan rambut yang sama berantakannya, dengan picingan mata centil yang nyaris tak ada yang merubah dua tahun atas raibnya.

“Kau?” Aku masih yakin ini khayalan, aku terlalu banyak menonton film fantasy akhir-akhir ini.

“Ah, kau masih sama, selalu lambat mikir alias lemooot!” Perempuan itu tak ragu untuk mendaratkan sebuat toyoran di kepalaku. Senyumnya terkembang. Apa ini nyata? Aku masih tak percaya.

“Dua tahun lalu, apa kau ingat apa yang kukatakan?” Glow melingkarkan tangannya di bahuku, kami berjalan keluar dari Plaza de la Luna.

“Tentu saja!” jawabku ketus.

“Apa?”

“Kau memutuskan hubungan kita tanpa alasan yang jelas!”

“Hahaha!” Tawa khas Glow yang dua tahun terakhir lenyap, kini aku mendengarnya. Sungguh aku merindukan tawa itu.

“Bey, aku bilang aku tak mau pulang, aku mau tinggal di sini. Ayolah, Bey… aku benar-benar jatuh cinta pada kota ini,” jelasnya.

“Maksudmu?”

“Hah! Kau selalu banyak bertanya. Dulu ponselku hilang, Bey. Aku tak sempat memberitahumu kalau aku akan tinggal di sini lebih lama.” Glow tiba-tiba mengecup pipiku. “Mana lihat kakimu! Apa sudah berbulu?” Glow coba menarik celana panjangku tapi aku menolaknya, aku lebih menyesal karena telah melupakan penumbuh bulu.

“Hm, ya sudah, ayo kita cari penumbuh bulu! Aku sudah sangat mengenal kota ini. Kau mau makan apa? Oya, kapan kau melamarku?” Glow terus bercerita dan menjelaskan panjang lebar tentang kekeliaruanku pada dua tahun yang begitu saja terlewatkan.
***

Kuningan, 30 November 2016/23.36
Cerpen ini dimuat dalam antologi cerpen berjudul Para Traveller Cinta Januari 2017, Mudilan Media, dengan judul “Mexiico I’m in Love”.


Diubah oleh nyonyinez 16-10-2019 23:00
tata604
lina.wh
anasabila
anasabila dan 4 lainnya memberi reputasi
5
454
6
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan