- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Jauh Panggang dari Api' Realisasi 5 Janji Ekonomi Jokowi


TS
wolfvenom88
Jauh Panggang dari Api' Realisasi 5 Janji Ekonomi Jokowi
Jakarta, CNN Indonesia -- Joko Widodo (Jokowi) akan kembali dilantik menjadi Presiden Indonesia untuk periode kedua pada Minggu (20/10) mendatang. Segudang janji untuk mengerek laju ekonomi sudah diucapkan, mulai dari tiga kartu sakti hingga infrastruktur langit.
Sebelum membuka lembaran baru, tak ada salahnya melihat kembali realisasi dari target di bidang ekonomi yang telah dijanjikan Presiden ketujuh Indonesia itu pada periode pertama pemerintahannya. Hasilnya, pencapaian target masih jauh panggang dari api.
Pertumbuhan Ekonomi Tak Capai Target
Pada kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 lalu, Jokowi berjanji akan membawa Indonesia mencicipi pertumbuhan ekonomi di angka 7 persen. Bahkan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menargetkan ekonomi mencapai 8 persen. Nyatanya, realisasi target masih di bawah harapan.
Tercatat, laju ekonomi Indonesia masih terjebak di kisaran 5 persen dalam beberapa tahun terakhir, meski trennya cenderung meningkat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) melansir ekonomi hanya tumbuh 4,79 persen pada 2015, jauh di bawah target yang dipatok 5,7 persen kala itu.
Lihat juga: Langkah Kian Berat Jokowi Capai Target Pertumbuhan Ekonomi
Pada 2016, pertumbuhan ekonomi tercatat membaik ke posisi 5,02 persen. Kemudian, naik menjadi 5,07 persen di 2017 dan 5,17 persen di 2018. Sementara per semester I 2019, ekonomi berada di angka 5,06 persen atau lebih rendah dari target pertumbuhan ekonomi tahun ini, 5,3 persen.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan pemerintah sulit mewujudkan janji pertumbuhan ekonomi karena kondisi global berubah di tengah jalan. Misalnya, harga komoditas di pasar dunia tidak setinggi periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kala itu masih mampu membawa Indonesia menggenggam pertumbuhan ekonomi hingga kisaran 6 persen.
Lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump tiba-tiba melakukan proteksi terhadap perdagangan dengan sejumlah negara. Bahkan, Trump tak segan memulai perang dagang dengan China.
Selain itu, berbagai konflik geopolitik turut memberi warna pada kondisi ekonomi global. Tak ketinggalan, kebijakan moneter berbagai bank sentral di dunia ikut memberi andil pada ekonomi global yang pada akhirnya berimbas ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Lihat juga: Genjot Investasi Tak Cukup dengan Rombak 72 Undang-undang
"Situasi internasional tidak kondusif. Kalau tidak kondusif, yang terjadi negara emerging market dirugikan seperti tahun lalu," ujar Darmin, beberapa waktu lalu.
Setumpuk masalah itu kemudian membuat ekonomi Tanah Air sulit melaju. Dampak utamanya langsung terasa ke kinerja ekspor dan investasi.
Padahal, kedua indikator itu justru ingin pemerintah tingkatkan agar konsumsi rumah tangga tak 'kelelahan' menopang perekonomian. Hasilnya, ketika impor meningkat, ekspor melempem, dan minim devisa masuk ke dalam negeri, maka neraca pembayaran dan transaksi berjalan jadi bermasalah.
"Kami semua tahu, di bidang perdagangan internasional, indikator neraca pembayaran saya kira menjadi titik lemah yang utama," ucapnya.
Lihat juga: Perlambatan Ekonomi di Depan Mata, Peran APBN Perlu 'Digeber'
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengatakan Jokowi gagal mewujudkan janjinya karena kebijakan reformasi struktural dan perencanaan pembangunan tidak dijalankan dengan benar. Misalnya, pembangunan infrastruktur hanya dirancang dengan masif tanpa perhitungan keekonomian yang jelas.
Hasilnya, tak jarang infrastruktur yang telah dibangun justru tidak memberi dampak ekonomi yang besar kepada Indonesia. Padahal, ketika kondisi ekonomi global tidak cukup mendukung, pemerintah seharusnya bisa melakukan pembangunan dengan realistis yang memberikan dampak ke pertumbuhan dengan cepat.
Begitu pula dengan pelaksanaan kebijakan reformasi struktural melalui penerbitan 16 paket kebijakan yang berisi soal deregulasi perizinan. "Paket kebijakan tidak dimonitor dan dievaluasi agar benar-benar efektif. Sementara kebijakan yang bisa dengan cepat memacu konsumsi dan investasi sebagai mesin utama pertumbuhan tidak banyak dilakukan," tuturnya.
Di sisi lain, pemerintah masih belum bisa benar-benar menjaga daya beli masyarakat, sehingga pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya bertahan di kisaran 5 persen. Padahal, suka tidak suka, Indonesia masih harus bergantung pada indikator tersebut. Untungnya, inflasi mampu dijaga rendah di kisaran 3 hingga 4 persen.
"Konsumsi rumah tangga seharusnya minimal 6 persen dan investasi sekitar 8 persen. Tapi konsumsi masih di kisaran 5 persen dan investasi justru menurun. Akibatnya, pertumbuhan tidak mencapai target," ungkapnya.
Presiden Jokowi Resmikan Tol Pejagan-Pemalang Seksi 3-4. (CNN Indonesia/Artho Viando).
Daya Saing Merosot
Jokowi sejatinya tidak memiliki target khusus dalam hal peringkat daya saing. Namun, ia ingin Indonesia memiliki daya saing yang tak kalah dari negara tetangga di kawasan Asia Tenggara.
Hanya saja, peringkat daya saing Indonesia masih tertinggal, khususnya dengan Singapura dan Malaysia. Singapura bahkan berhasil berada di puncak peringkat negara paling berdaya saing pada tahun ini versi World Economic Forum (WEF).
Sementara, prestasi Indonesia justru turun naik. Ibu Pertiwi berada di peringkat ke-37 pada 2015, lalu turun ke-41 pada 2016. Kemudian naik ke posisi 36 pada 2017. Namun, turun lagi ke posisi 45 pada 2018 dan merosot ke peringkat 50 pada 2019.
Lihat juga: Jangan Harap Genjot Ekonomi Cuma dari Penurunan Bunga Acuan
Darmin berkilah dan menyatakan pemerintah sebenarnya sudah berhasil melakukan berbagai perbaikan pada indikator daya saing Indonesia. Misalnya, reformasi kebijakan secara struktural melalui percepatan izin investasi dengan sistem perizinan yang terintegrasi dalam jaringan (Online Single Submission/OSS).
Selain itu, melalui berbagai penyederhanaan izin, syarat, prosedur, hingga penghapusan kriteria khusus ketika dunia usaha ingin melakukan kegiatan investasi dan perdagangan. Bahkan, saat ini pemerintah tengah menyiapkan penyatuan undang-undang alias omnibus law untuk kian meningkatkan percepatan perizinan.
Sayangnya, kata Darmin, Indonesia kalah cepat dari negara-negara tetangga, sehingga peringkat daya saing cenderung turun. Di sisi lain, di saat peringkat daya saing Indonesia merosot, peringkat daya saing Vietnam tahun ini berhasil melompat 10 peringkat dari posisi 77 ke 67.
Ekonom Senior Faisal Basri menilai peringkat daya saing Indonesia wajar turun karena minimnya perbaikan yang dilakukan pemerintah. Hal ini tercermin dari beberapa indikator penilaian daya saing yang memang rendah.
Lihat juga: Membaca Tanda-tanda Ekonomi Lesu
Misalnya, indikator kemampuan inovasi hanya mendapat skor 37,7. Lalu, indikator transparansi hanya mendapat skor 38. Begitu pula dengan indikator pasar tenaga kerja, adopsi informatika, komputer, dan teknologi, produk pasar, hingga institusi cukup rendah.
Artinya, kata Faisal, penurunan peringkat daya saing tak semata-mata karena negara lain berhasil melaju lebih cepat dan tinggi. Toh, Indonesia seharusnya bisa mengantisipasi cepatnya langkah para negara tetangga.
Dari kondisi ini, Faisal pun memberi 'lampu kuning' kepada pemerintah agar segera melakukan perbaikan. Sebab bila tidak, Indonesia bisa saja disalip Vietnam.
"Perbaikan di Indonesia perlu diakselerasikan agar tidak disusul oleh Vietnam yang belakangan ini menunjukkan perbaikan pesat di berbagai bidang," tuturnya.
Terbelenggu Kemiskinan
Dalam RPJMN 2015-2019, tingkat kemiskinan diproyeksi menurun ke kisaran 7 persen sampai 8 persen pada penghujung tahun ini. Namun per Maret 2019, angka kemiskinan masih berada di angka 9,41 persen.
Sementara tingkat ketimpangan alias gini ratio ditargetkan berada di kisaran 0,36 pada akhir tahun ini. Realisasinya, per Maret 2019 baru mencapai 0,382.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional sekaligus Kepala Bappenas Bambang P.S. Brodjonegoro mengakui bahwa target itu memang sulit dicapai pemerintah. Bahkan, ia memperkirakan tingkat kemiskinan hanya akan mentok di angka 9,2 persen pada akhir tahun ini.
Ia mengatakan ketika jumlah orang miskin sudah sedemikian rupa dipangkas, tentu masih ada orang yang sangat miskin yang sulit 'diselamatkan'.
Lihat juga: Hati-hati Anggaran Jebol Demi Penurunan Kemiskinan 'Semu'
Terlebih, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak cukup tinggi. "Pertumbuhan ekonomi 5 persen atau 5,1 persen belum cukup karena kita masih punya isu kemiskinan dan pengangguran, sehingga kita masih membutuhan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi," katanya.
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menilai tingkat kemiskinan dan gini ratio sulit mencapai target karena pemerintah hanya mengandalkan banjir bantuan sosial (bansos). Apalagi, bansos yang diberikan sifatnya terus menerus dan cenderung tidak efektif.
"Padahal, tahun sebelumnya anggaran bansos lebih kecil, tapi tetap bisa menurunkan lebih banyak penduduk miskin. Artinya, ini justru semakin tidak efektif," ucapnya.
Sementara, langkah fundamental guna menekan kemiskinan dan ketimpangan justru minim dilakukan. Misalnya menciptakan lapangan pekerjaan yang mampu meningkatkan taraf hidup dan daya beli masyarakat.
Lihat juga: Balada Kretek Pria 'Asgar' dan Surga Mewah Si Super Taipan
Padahal, kebijakan bansos memberikan risiko, yaitu membuat masyarakat mudah bergantung kepada pemerintah dan berpotensi membuat kantong negara jebol. Untuk itu, kebijakan pengurangan kemiskinan dan ketimpangan seharusnya berorientasi pekerjaan.
Namun, sebelum memberi pekerjaan, pemerintah harus turut memastikan masyarakat mendapatkan pendidikan dan keterampilan. Sebab, menurut Eko, kedua hal itu juga yang sejatinya bisa menyelamatkan masyarakat dari jerat kemiskinan.
Sedangkan bansos seharusnya hanya menjadi insentif yang sifatnya sementara dan jangan terus menerus diberikan kepada masyarakat, meski negara memiliki fungsi perlindungan sosial kepada masyarakatnya.
"Karena kunci utama pengentasan kemiskinan itu sebenarnya pendidikan, kalau mereka tidak punya pendidikan, keterampilan. Tapi, memang yang sekarang terjadi anggaran yang terus digelontorkan juga tak efektif," ungkapnya.
Sulit Tekan Pengangguran
Sama seperti tingkat kemiskinan, Jokowi juga berharap mampu menekan angka pengangguran. RPJMN 2015-2019 menargetkan tingkat pengangguran berada di kisaran 4 persen sampai 5 persen. Namun realisasinya, masih jauh dari harapan.
Pada 2015, tingkat pengangguran berada di angka 5,81 persen pada Februari dan 6,18 persen pada Agustus. Kemudian, pada 2016, sempat turun menjadi 5,5 persen pada Februari, namun naik lagi jadi 5,61 persen pada Agustus.
Lalu, turun lagi menjadi 5,33 persen pada Februari 2017 dan naik jadi 5,5 persen pada Agustus 2017. Selanjutnya, turun ke 5,13 persen pada Februari 2018, namun naik kembali ke 5,34 persen pada Agustus 2018. Sementara pada Februari 2019 turun menjadi 5,01 persen.
Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan tingkat pengangguran masih cenderung naik turun karena pemerintah belum cukup sukses meningkatkan realisasi investasi di Tanah Air. Akibatnya, penciptaan lapangan kerja masih cukup terbatas.
Lihat juga: Subsidi Pengangguran ala Hanif Dhakiri di Era Jokowi Jilid II
"Semakin banyak investasi, semakin banyak bisa menciptakan lapangan kerja," jelasnya.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal melihat memang permasalahan utama minimnya penciptaan lapangan kerja guna menurunkan tingkat pengangguran memang karena investasi yang masih mandek. Ini terjadi karena pemerintah tidak fokus membidik investasi yang hendak masuk ke dalam negeri.
Misalnya, pemerintah cenderung mengambil investasi untuk proyek-proyek yang belum tentu bisa menciptakan lapangan kerja, seperti infrastruktur. Memang, jumlah pekerja yang dibutuhkan meningkat, namun tidak mencakup banyak sektor.
Hal ini berbeda bila pemerintah berhasil mendatangkan investasi ke industri padat karya yang memungkinkan terciptanya banyak lapangan kerja bagi kalangan buruh.
Dalam tiga tahun terakhir angka pengangguran di Indonesia terus menurun. Walaupun begitu, persentase pengangguran lulusan pendidikan tinggi justru naik. (CNN Indonesia/Safir Makki)
"Itulah pentingnya investasi, kalau seperti ini ketika investasi 'mandek', penciptaan lapangan kerja rendah dan seolah-olah tenaga kerja yang ada tidak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan pasar. Padahal, seharusnya mereka dibuatkan pasar tenaga kerja yang sesuai dengan pendidikan mereka juga," jelasnya.
Selain itu, ada sedikit salah strategi dari pemerintah, di mana pemerintah lebih mementingkan peningkatan keterampilan tenaga kerja ketimbang kesempatan kerja itu sendiri. Memang, keterampilan itu penting, tapi menurut Faisal, tak ada salahnya bila pemerintah merealisasikannya dalam bentuk kesempatan kerja dulu, baru menambah kemampuan tenaga kerja.
"Orang itu kadang yang penting dapat uang dulu, bisa hidup, baru dia tertarik tambah skill agar gajinya naik," katanya.
Utang Negara Membengkak
Kepala Negara sejatinya tidak pernah mematok berapa jumlah utang yang sekiranya akan ditargetkan. Kendati demikian, Tim Kampanye Jokowi kala Pemilu 2014 pernah menyatakan bakal menekan penggunaan utang luar negeri.
Sementara realisasi dalam lima tahun terakhir, jumlah dan rasio utang Indonesia terus meningkat. Pada 2015, jumlah utang pemerintah senilai Rp3.165 triliun dengan rasio sekitar 27,43 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Jumlah itu kemudian meningkat pada 2016 menjadi Rp3.515 triliun dengan rasio 28,33 persen dari PDB. Begitu pula pada 2017 dan 2018, masing-masing Rp3.825 triliun atau 29,4 persen dari PDB dan Rp4.418 triliun atau 29,98 persen.
Sementara per Agustus 2019, jumlahnya sudah menembus angka Rp4.680,19 triliun atau 29,8 persen dari PDB. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah mau tidak mau harus menambah jumlah utang karena memiliki kebutuhan belanja yang cukup tinggi dalam rangka merealisasikan berbagai target pembangunan.
Lihat juga: Butuh Kencangkan Ikat Pinggang Agar Utang Negara Tak Menumpuk
"Sehingga, untuk menutupi kekurangan anggaran tersebut, pemerintah harus mencari alternatif sumber pembiayaan lain. Salah satunya, dengan utang," ungkapnya.
Kendati begitu, ia selalu mengklaim bahwa penggunaan utang pemerintah selalu dikelola dengan baik. Bahkan, pemerintah tak akan sampai mengingkari janji rasio utang sebesar 30 persen dari PDB.
"Saya menerbitkan utang sesuai dengan undang-undang, saya menerbitkan utang bukan karena saya hobi menerbitkan," tekannya.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menilai jumlah dan rasio utang pemerintah terus meningkat memang karena kebutuhan pembangunan yang besar. Namun, menurutnya, pemerintahan Jokowi seharusnya bisa lebih cakap dalam mengelola jumlah utang yang akan ditarik.
Lihat juga: Membedel Arus Utang Pemerintah dan Alirannya
Sebab, menurut Bhima, banyak utang yang ditarik pemerintah untuk proyek infrastruktur tetapi ketika dibangun proyek itu tidak memberikan dampak ekonomi yang cukup besar. Walhasil, utang yang sudah ditarik tidak cukup memberikan dampak positif kepada perekonomian.
Maka, tak heran bila banyak kalangan yang 'nyinyir' dengan kebijakan penarikan utang pemerintah. Selain itu, ia mengatakan tingginya penarikan utang di era Jokowi juga terjadi karena minimnya kemampuan negosiasi pemerintah terhadap investor mengenai tingkat imbal hasil (yield) dari surat utang.
Hal ini akan membuat pemerintah menanggung beban pembayaran pokok utang dan bunga utang yang lebih besar.
"Bunga surat utang Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di Asia. Ini menunjukkan kenaikan bunga utang akan menjadi beban bagi APBN di tahun berjalan," katanya
https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/2...onomi-jokowi/2
Sebelum membuka lembaran baru, tak ada salahnya melihat kembali realisasi dari target di bidang ekonomi yang telah dijanjikan Presiden ketujuh Indonesia itu pada periode pertama pemerintahannya. Hasilnya, pencapaian target masih jauh panggang dari api.
Pertumbuhan Ekonomi Tak Capai Target
Pada kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 lalu, Jokowi berjanji akan membawa Indonesia mencicipi pertumbuhan ekonomi di angka 7 persen. Bahkan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menargetkan ekonomi mencapai 8 persen. Nyatanya, realisasi target masih di bawah harapan.
Tercatat, laju ekonomi Indonesia masih terjebak di kisaran 5 persen dalam beberapa tahun terakhir, meski trennya cenderung meningkat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) melansir ekonomi hanya tumbuh 4,79 persen pada 2015, jauh di bawah target yang dipatok 5,7 persen kala itu.
Lihat juga: Langkah Kian Berat Jokowi Capai Target Pertumbuhan Ekonomi
Pada 2016, pertumbuhan ekonomi tercatat membaik ke posisi 5,02 persen. Kemudian, naik menjadi 5,07 persen di 2017 dan 5,17 persen di 2018. Sementara per semester I 2019, ekonomi berada di angka 5,06 persen atau lebih rendah dari target pertumbuhan ekonomi tahun ini, 5,3 persen.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan pemerintah sulit mewujudkan janji pertumbuhan ekonomi karena kondisi global berubah di tengah jalan. Misalnya, harga komoditas di pasar dunia tidak setinggi periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kala itu masih mampu membawa Indonesia menggenggam pertumbuhan ekonomi hingga kisaran 6 persen.
Lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump tiba-tiba melakukan proteksi terhadap perdagangan dengan sejumlah negara. Bahkan, Trump tak segan memulai perang dagang dengan China.
Selain itu, berbagai konflik geopolitik turut memberi warna pada kondisi ekonomi global. Tak ketinggalan, kebijakan moneter berbagai bank sentral di dunia ikut memberi andil pada ekonomi global yang pada akhirnya berimbas ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Lihat juga: Genjot Investasi Tak Cukup dengan Rombak 72 Undang-undang
"Situasi internasional tidak kondusif. Kalau tidak kondusif, yang terjadi negara emerging market dirugikan seperti tahun lalu," ujar Darmin, beberapa waktu lalu.
Setumpuk masalah itu kemudian membuat ekonomi Tanah Air sulit melaju. Dampak utamanya langsung terasa ke kinerja ekspor dan investasi.
Padahal, kedua indikator itu justru ingin pemerintah tingkatkan agar konsumsi rumah tangga tak 'kelelahan' menopang perekonomian. Hasilnya, ketika impor meningkat, ekspor melempem, dan minim devisa masuk ke dalam negeri, maka neraca pembayaran dan transaksi berjalan jadi bermasalah.
"Kami semua tahu, di bidang perdagangan internasional, indikator neraca pembayaran saya kira menjadi titik lemah yang utama," ucapnya.
Lihat juga: Perlambatan Ekonomi di Depan Mata, Peran APBN Perlu 'Digeber'
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengatakan Jokowi gagal mewujudkan janjinya karena kebijakan reformasi struktural dan perencanaan pembangunan tidak dijalankan dengan benar. Misalnya, pembangunan infrastruktur hanya dirancang dengan masif tanpa perhitungan keekonomian yang jelas.
Hasilnya, tak jarang infrastruktur yang telah dibangun justru tidak memberi dampak ekonomi yang besar kepada Indonesia. Padahal, ketika kondisi ekonomi global tidak cukup mendukung, pemerintah seharusnya bisa melakukan pembangunan dengan realistis yang memberikan dampak ke pertumbuhan dengan cepat.
Begitu pula dengan pelaksanaan kebijakan reformasi struktural melalui penerbitan 16 paket kebijakan yang berisi soal deregulasi perizinan. "Paket kebijakan tidak dimonitor dan dievaluasi agar benar-benar efektif. Sementara kebijakan yang bisa dengan cepat memacu konsumsi dan investasi sebagai mesin utama pertumbuhan tidak banyak dilakukan," tuturnya.
Di sisi lain, pemerintah masih belum bisa benar-benar menjaga daya beli masyarakat, sehingga pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya bertahan di kisaran 5 persen. Padahal, suka tidak suka, Indonesia masih harus bergantung pada indikator tersebut. Untungnya, inflasi mampu dijaga rendah di kisaran 3 hingga 4 persen.
"Konsumsi rumah tangga seharusnya minimal 6 persen dan investasi sekitar 8 persen. Tapi konsumsi masih di kisaran 5 persen dan investasi justru menurun. Akibatnya, pertumbuhan tidak mencapai target," ungkapnya.
Presiden Jokowi Resmikan Tol Pejagan-Pemalang Seksi 3-4. (CNN Indonesia/Artho Viando).
Daya Saing Merosot
Jokowi sejatinya tidak memiliki target khusus dalam hal peringkat daya saing. Namun, ia ingin Indonesia memiliki daya saing yang tak kalah dari negara tetangga di kawasan Asia Tenggara.
Hanya saja, peringkat daya saing Indonesia masih tertinggal, khususnya dengan Singapura dan Malaysia. Singapura bahkan berhasil berada di puncak peringkat negara paling berdaya saing pada tahun ini versi World Economic Forum (WEF).
Sementara, prestasi Indonesia justru turun naik. Ibu Pertiwi berada di peringkat ke-37 pada 2015, lalu turun ke-41 pada 2016. Kemudian naik ke posisi 36 pada 2017. Namun, turun lagi ke posisi 45 pada 2018 dan merosot ke peringkat 50 pada 2019.
Lihat juga: Jangan Harap Genjot Ekonomi Cuma dari Penurunan Bunga Acuan
Darmin berkilah dan menyatakan pemerintah sebenarnya sudah berhasil melakukan berbagai perbaikan pada indikator daya saing Indonesia. Misalnya, reformasi kebijakan secara struktural melalui percepatan izin investasi dengan sistem perizinan yang terintegrasi dalam jaringan (Online Single Submission/OSS).
Selain itu, melalui berbagai penyederhanaan izin, syarat, prosedur, hingga penghapusan kriteria khusus ketika dunia usaha ingin melakukan kegiatan investasi dan perdagangan. Bahkan, saat ini pemerintah tengah menyiapkan penyatuan undang-undang alias omnibus law untuk kian meningkatkan percepatan perizinan.
Sayangnya, kata Darmin, Indonesia kalah cepat dari negara-negara tetangga, sehingga peringkat daya saing cenderung turun. Di sisi lain, di saat peringkat daya saing Indonesia merosot, peringkat daya saing Vietnam tahun ini berhasil melompat 10 peringkat dari posisi 77 ke 67.
Ekonom Senior Faisal Basri menilai peringkat daya saing Indonesia wajar turun karena minimnya perbaikan yang dilakukan pemerintah. Hal ini tercermin dari beberapa indikator penilaian daya saing yang memang rendah.
Lihat juga: Membaca Tanda-tanda Ekonomi Lesu
Misalnya, indikator kemampuan inovasi hanya mendapat skor 37,7. Lalu, indikator transparansi hanya mendapat skor 38. Begitu pula dengan indikator pasar tenaga kerja, adopsi informatika, komputer, dan teknologi, produk pasar, hingga institusi cukup rendah.
Artinya, kata Faisal, penurunan peringkat daya saing tak semata-mata karena negara lain berhasil melaju lebih cepat dan tinggi. Toh, Indonesia seharusnya bisa mengantisipasi cepatnya langkah para negara tetangga.
Dari kondisi ini, Faisal pun memberi 'lampu kuning' kepada pemerintah agar segera melakukan perbaikan. Sebab bila tidak, Indonesia bisa saja disalip Vietnam.
"Perbaikan di Indonesia perlu diakselerasikan agar tidak disusul oleh Vietnam yang belakangan ini menunjukkan perbaikan pesat di berbagai bidang," tuturnya.
Terbelenggu Kemiskinan
Dalam RPJMN 2015-2019, tingkat kemiskinan diproyeksi menurun ke kisaran 7 persen sampai 8 persen pada penghujung tahun ini. Namun per Maret 2019, angka kemiskinan masih berada di angka 9,41 persen.
Sementara tingkat ketimpangan alias gini ratio ditargetkan berada di kisaran 0,36 pada akhir tahun ini. Realisasinya, per Maret 2019 baru mencapai 0,382.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional sekaligus Kepala Bappenas Bambang P.S. Brodjonegoro mengakui bahwa target itu memang sulit dicapai pemerintah. Bahkan, ia memperkirakan tingkat kemiskinan hanya akan mentok di angka 9,2 persen pada akhir tahun ini.
Ia mengatakan ketika jumlah orang miskin sudah sedemikian rupa dipangkas, tentu masih ada orang yang sangat miskin yang sulit 'diselamatkan'.
Lihat juga: Hati-hati Anggaran Jebol Demi Penurunan Kemiskinan 'Semu'
Terlebih, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak cukup tinggi. "Pertumbuhan ekonomi 5 persen atau 5,1 persen belum cukup karena kita masih punya isu kemiskinan dan pengangguran, sehingga kita masih membutuhan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi," katanya.
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menilai tingkat kemiskinan dan gini ratio sulit mencapai target karena pemerintah hanya mengandalkan banjir bantuan sosial (bansos). Apalagi, bansos yang diberikan sifatnya terus menerus dan cenderung tidak efektif.
"Padahal, tahun sebelumnya anggaran bansos lebih kecil, tapi tetap bisa menurunkan lebih banyak penduduk miskin. Artinya, ini justru semakin tidak efektif," ucapnya.
Sementara, langkah fundamental guna menekan kemiskinan dan ketimpangan justru minim dilakukan. Misalnya menciptakan lapangan pekerjaan yang mampu meningkatkan taraf hidup dan daya beli masyarakat.
Lihat juga: Balada Kretek Pria 'Asgar' dan Surga Mewah Si Super Taipan
Padahal, kebijakan bansos memberikan risiko, yaitu membuat masyarakat mudah bergantung kepada pemerintah dan berpotensi membuat kantong negara jebol. Untuk itu, kebijakan pengurangan kemiskinan dan ketimpangan seharusnya berorientasi pekerjaan.
Namun, sebelum memberi pekerjaan, pemerintah harus turut memastikan masyarakat mendapatkan pendidikan dan keterampilan. Sebab, menurut Eko, kedua hal itu juga yang sejatinya bisa menyelamatkan masyarakat dari jerat kemiskinan.
Sedangkan bansos seharusnya hanya menjadi insentif yang sifatnya sementara dan jangan terus menerus diberikan kepada masyarakat, meski negara memiliki fungsi perlindungan sosial kepada masyarakatnya.
"Karena kunci utama pengentasan kemiskinan itu sebenarnya pendidikan, kalau mereka tidak punya pendidikan, keterampilan. Tapi, memang yang sekarang terjadi anggaran yang terus digelontorkan juga tak efektif," ungkapnya.
Sulit Tekan Pengangguran
Sama seperti tingkat kemiskinan, Jokowi juga berharap mampu menekan angka pengangguran. RPJMN 2015-2019 menargetkan tingkat pengangguran berada di kisaran 4 persen sampai 5 persen. Namun realisasinya, masih jauh dari harapan.
Pada 2015, tingkat pengangguran berada di angka 5,81 persen pada Februari dan 6,18 persen pada Agustus. Kemudian, pada 2016, sempat turun menjadi 5,5 persen pada Februari, namun naik lagi jadi 5,61 persen pada Agustus.
Lalu, turun lagi menjadi 5,33 persen pada Februari 2017 dan naik jadi 5,5 persen pada Agustus 2017. Selanjutnya, turun ke 5,13 persen pada Februari 2018, namun naik kembali ke 5,34 persen pada Agustus 2018. Sementara pada Februari 2019 turun menjadi 5,01 persen.
Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan tingkat pengangguran masih cenderung naik turun karena pemerintah belum cukup sukses meningkatkan realisasi investasi di Tanah Air. Akibatnya, penciptaan lapangan kerja masih cukup terbatas.
Lihat juga: Subsidi Pengangguran ala Hanif Dhakiri di Era Jokowi Jilid II
"Semakin banyak investasi, semakin banyak bisa menciptakan lapangan kerja," jelasnya.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal melihat memang permasalahan utama minimnya penciptaan lapangan kerja guna menurunkan tingkat pengangguran memang karena investasi yang masih mandek. Ini terjadi karena pemerintah tidak fokus membidik investasi yang hendak masuk ke dalam negeri.
Misalnya, pemerintah cenderung mengambil investasi untuk proyek-proyek yang belum tentu bisa menciptakan lapangan kerja, seperti infrastruktur. Memang, jumlah pekerja yang dibutuhkan meningkat, namun tidak mencakup banyak sektor.
Hal ini berbeda bila pemerintah berhasil mendatangkan investasi ke industri padat karya yang memungkinkan terciptanya banyak lapangan kerja bagi kalangan buruh.
Dalam tiga tahun terakhir angka pengangguran di Indonesia terus menurun. Walaupun begitu, persentase pengangguran lulusan pendidikan tinggi justru naik. (CNN Indonesia/Safir Makki)
"Itulah pentingnya investasi, kalau seperti ini ketika investasi 'mandek', penciptaan lapangan kerja rendah dan seolah-olah tenaga kerja yang ada tidak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan pasar. Padahal, seharusnya mereka dibuatkan pasar tenaga kerja yang sesuai dengan pendidikan mereka juga," jelasnya.
Selain itu, ada sedikit salah strategi dari pemerintah, di mana pemerintah lebih mementingkan peningkatan keterampilan tenaga kerja ketimbang kesempatan kerja itu sendiri. Memang, keterampilan itu penting, tapi menurut Faisal, tak ada salahnya bila pemerintah merealisasikannya dalam bentuk kesempatan kerja dulu, baru menambah kemampuan tenaga kerja.
"Orang itu kadang yang penting dapat uang dulu, bisa hidup, baru dia tertarik tambah skill agar gajinya naik," katanya.
Utang Negara Membengkak
Kepala Negara sejatinya tidak pernah mematok berapa jumlah utang yang sekiranya akan ditargetkan. Kendati demikian, Tim Kampanye Jokowi kala Pemilu 2014 pernah menyatakan bakal menekan penggunaan utang luar negeri.
Sementara realisasi dalam lima tahun terakhir, jumlah dan rasio utang Indonesia terus meningkat. Pada 2015, jumlah utang pemerintah senilai Rp3.165 triliun dengan rasio sekitar 27,43 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Jumlah itu kemudian meningkat pada 2016 menjadi Rp3.515 triliun dengan rasio 28,33 persen dari PDB. Begitu pula pada 2017 dan 2018, masing-masing Rp3.825 triliun atau 29,4 persen dari PDB dan Rp4.418 triliun atau 29,98 persen.
Sementara per Agustus 2019, jumlahnya sudah menembus angka Rp4.680,19 triliun atau 29,8 persen dari PDB. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah mau tidak mau harus menambah jumlah utang karena memiliki kebutuhan belanja yang cukup tinggi dalam rangka merealisasikan berbagai target pembangunan.
Lihat juga: Butuh Kencangkan Ikat Pinggang Agar Utang Negara Tak Menumpuk
"Sehingga, untuk menutupi kekurangan anggaran tersebut, pemerintah harus mencari alternatif sumber pembiayaan lain. Salah satunya, dengan utang," ungkapnya.
Kendati begitu, ia selalu mengklaim bahwa penggunaan utang pemerintah selalu dikelola dengan baik. Bahkan, pemerintah tak akan sampai mengingkari janji rasio utang sebesar 30 persen dari PDB.
"Saya menerbitkan utang sesuai dengan undang-undang, saya menerbitkan utang bukan karena saya hobi menerbitkan," tekannya.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menilai jumlah dan rasio utang pemerintah terus meningkat memang karena kebutuhan pembangunan yang besar. Namun, menurutnya, pemerintahan Jokowi seharusnya bisa lebih cakap dalam mengelola jumlah utang yang akan ditarik.
Lihat juga: Membedel Arus Utang Pemerintah dan Alirannya
Sebab, menurut Bhima, banyak utang yang ditarik pemerintah untuk proyek infrastruktur tetapi ketika dibangun proyek itu tidak memberikan dampak ekonomi yang cukup besar. Walhasil, utang yang sudah ditarik tidak cukup memberikan dampak positif kepada perekonomian.
Maka, tak heran bila banyak kalangan yang 'nyinyir' dengan kebijakan penarikan utang pemerintah. Selain itu, ia mengatakan tingginya penarikan utang di era Jokowi juga terjadi karena minimnya kemampuan negosiasi pemerintah terhadap investor mengenai tingkat imbal hasil (yield) dari surat utang.
Hal ini akan membuat pemerintah menanggung beban pembayaran pokok utang dan bunga utang yang lebih besar.
"Bunga surat utang Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di Asia. Ini menunjukkan kenaikan bunga utang akan menjadi beban bagi APBN di tahun berjalan," katanya
https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/2...onomi-jokowi/2






kuepagi dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.8K
38


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan