Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi akan berlaku pada 17 Oktober mendatang. Menanggapi itu, para mahasiswa mengancam akan menggelar demo besar-besaran bila UU tersebut tetap berlaku.

Tuntutan utama yang akan mereka sampaikan adalah meminta Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti (Perpu) untuk membatalkan UU tersebut. Tuntutan ini seperti disampaikan oleh BEM seluruh Jadetabek.

Ancaman para mahasiswa di atas sebenarnya cukup menggelitik, pasalnya mereka tidak sadar bahwasanya aksi demonstrasi yang mereka gelar itu sangat rawan ditunggangi oleh kepentingan tertentu.

Apalagi, demo tersebut dilakukan menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI.

Sementara itu, ancaman mereka kepada Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Perppu sangat tidak konstitusional. Sebab Perppu dikeluarkan saat situasi sudah darurat.

Bila Presiden mengeluarkan Perppu KPK saat ini, maka bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi Indonesia. Karena suatu produk hukum yang sudah disepakati bersama antara DPR dan pemerintah justru dibatalkan sendiri oleh cabang kekuasaan eksekutif.

Jika sedikit-sedikit Perppu diterbitkan padahal tidak ada kegentingan yang memaksa, maka akan membuat eksekutif dan legislatif menjadi tidak cerdas.

Kemudian, jika para mahasiswa itu tidak setuju dengan produk hukum, maka mereka harus menempuh jalur konstitusional. Salah satu caranya adalah dengan mengajukan gugatan 'judicial review' ke Mahkamah Konstitusi.

Di sisi lain, kehadiran UU KPK hasil revisi ini sebenarnya tidak akan melemahkan lembaga antirasuah, sebab UU KPK sebelumnya ternyata juga tidak lebih baik dari sekarang.

Sehingga pemberantasan korupsi hingga kini tidak maksimal dan banyak koruptor yang tidak bisa ditembus. Bahkan ada indikasi usaha tebang pilih kasus korupsi.

Untuk itu, "adik-adik" mahasiswa harus berpikir dengan cerdas. Jangan sok-sokan membela rakyat, padahal dirinya tidak paham dengan substansi apa yang mereka demo sendiri.