ndinadardanarAvatar border
TS
ndinadardanar
Cerita Mini
Aku tidak membenci pertemuan, sekalipun hati sering bertanya apa yang sedang Tuhan rencanakan. Namun, terlepas bagaimana menyikapi semua ini, aku senang bisa berjumpa banyak orang. Terlebih, jika bisa mengenalnya lebih dalam lagi. Menyenangkan.

Beruntunglah kali ini, aku kembali dipertemukan dengannya. Seorang gadis pemilik rambut yang dibiarkan tergerai melewati bahunya. Seperti biasa, dia akan datang saat malam mulai beranjak. Sendiri saja dengan sebuah benda, menyerupai isi yang ada di dalamnya. Gitar, itu perkiraanku. Apakah dia seorang seniman? Aku tak tahu pasti.

Di kafe ini, dia akan memilih tempat duduk yang sama dari sekian banyak kursi di halaman. Menghadap ke jalan raya, sedikit temaram, di sudut bawah sebuah pohon rindang yang dihiasi lampu-lampu kecil berkedip indah melingkari batang. Setidaknya itu yang aku tahu, setelah tiga kali melihatnya. Siapa dia? Aku mulai penasaran.

Membawa satu cup cappuccino dingin, aku memberanikan diri beranjak mendekat. Mencoba, hanya itu yang ada dalam benak. Siapa tahu dia butuh teman bicara sekadarnya. Tentu, akan membuat malam jadi tidak membosankan, dan semoga kesan hangat yang terbaca dari gesture-nya memang karakter asli pemilik tubuh itu.

"Menunggu seseorang?" basa basiku, menyapanya dengan senyum terkembang.

Ia mendongak sedikit. Meletakkan pena yang sedari tadi menari lincah di atas sebuah buku kecil, menitikkan warna tintanya. "Tidak." Singkat saja gadis itu menjawab.

"Boleh duduk di sini?" tanyaku.

"Aku pikir, ini bukan rumah pribadi," jawabnya. Satu senyum tersungging.

Aku menarik mundur satu kursi, membuat sela supaya tubuh ini bisa memposisikan diri, duduk di hadapannya. "Panggil saja Reza." Lengan kuulur, sebelum mantap mengusik pandangannya nanti.

"Hilma." Suara gadis itu renyah menyahut.

Dia menatapku, masih dengan bibir serupa bulan sabit. Kesan pertama adalah, dia lawan bicara yang terbiasa berhadapan dengan orang asing. Yaaa, minimal dia tahu bagaimana menjaga sikap.

"Suka menulis?" Aku memulai peruntungan mengakrabkan diri. Setelah mantap duduk, dan menarik napas lega.

"Mungkin lebih tepat disebut agar tak lupa atau dilupakan."

"Lupa?" Aku menarik sebelah alis ke atas.

"Karena suatu hari, hanya apa yang aku tulis yang kemudian akan diingat orang."

Ah, aku terpesona dalam hening. Jauh dari dugaan sebelumnya, ternyata dia sangat piawai memainkan kata-kata, membius rasa kagum ini lebih terlena padanya. Selain itu, ada satu yang paling aku suka. Mata itu, tak teralih sedetik pun ketika ia berbicara. Kau memikat, Hilma!

Entah bagaimana suasana malam ini membawa, perbincangan kami berjalan tanpa putus. Sesekali, ada tawa ketika satu kelakar berhasil menarik selera bercanda. Dia lebih dari sekadar menyenangkan, selain sangat cerdas kurasa.

Dari bertukar cerita itulah aku tahu, ternyata benar Hilma seorang seniman. Dia penyanyi salah satu kafe, tak jauh dari posisi kami duduk sekarang. Menurutnya, ada banyak tempat menarik melepas lelah setelah bernyanyi. Namun, dia punya alasan tersendiri mengapa memilih tempat ini.

"View-nya bagus," alasannya.

Aku setuju. Selain angin sepoi yang menyejukkan, dari sini memang lebih tenang. Bahkan, akan semakin menenangkan ketika malam kian larut. Sangat tepat untuk menangkap ide yang berkeliaran menunggu dituang.

"Benar." Aku mengiyakan.

Bulan meninggi, perbincangan kami belum terhenti. Dia bercerita bagaimana susah senang berprofesi sebagai musisi. Tak jarang lelaki penggoda mendekati. Bersedia membayar, atau memandangnya rendah. Namun, ia tertawa geli ketika membayangkan sempitnya pemikiran mereka terhadap Hilma. Mungkin dunia malam memang akrab dengan aroma lendir, menurutnya. Ah, Hilma. Bisakah kau hentikan laju pesonamu? Mungkin sebentar lagi aku bisa gila.

"Bagaimana kamu bisa tidur tenang dengan hal-hal semacam ini?" tanyaku, ingin tahu.

"Aku tidak tertarik pada kafein setelah jam tujuh malam." Hilma menjelaskan, lalu beranjak dan berpamitan.

"Apakah kita bisa berbincang lagi?" Aku bertanya, sebelum tubuhnya berlalu.

Hilma menghentikan langkah dan menoleh. "With all my pleasure, Reza. For sure!" Senyum perpisahan ia layangkan, lalu mantap meninggalkan aku yang ... entah, aku sudah tak lagi tahu.

Sampai besok, Hilma. Kursi ini, tak akan kuberikan pada siapa pun setelah aku mengenalmu.

Drrrttt!
Satu pesan singkat masuk, memaksa lamunan buyar seketika. Pelan kuusap layar benda pipih itu, nama Hilma tercetak di antara barisan pengirim pesan lain. Aku menghela napas, lalu mengetuk notifikasi darinya.

Hilma mengirim satu tautan. Tersenyum, aku membuka link yang langsung menampilkan laman sebuah situs video. "Pamit" milik Tulus, memulai hitungan durasi saat gambar bergerak mulai berputar.

Tubuh saling bersandar
Ke arah mata angin berbeda
Kau menunggu datangnya malam
Saat kumenanti fajar

Sudah coba berbagai cara
Agar kita bisa bersama
Yang tersisa dari kisah ini
Hanya kau takut 'ku hilang

Perdebatan apa pun menuju kata pisah
Jangan paksakan genggamanmu

Izinkan aku pergi dulu
Yang berubah hanya
Tak lagi 'ku milikmu

Kau masih bisa melihatku
Kau harus percaya
Ku tetap teman baikmu

Samar masih terdengar, ponsel kuletakkan di meja seraya menghela napas dan mengusap wajah. Tak kusangka, hubungan cinta ini harus berakhir, beberapa jam lalu. Di sana, di kafe itu. Aku mungkin terlalu menuntut, atau terlalu takut? Entahlah. Namun biar bagaimanapun, aku bahagia pernah mengenalnya. Pernah menjadi bagian menemani hari-hari yang ia lewati.

Bukan jodoh, mungkin. Meski aku sepenuh hati berharap, suatu saat nanti akan menjalani sisa hidup sama-sama. Menikmati malam di tempat yang sama, bercerita awal perjumpaan dengan kesan yang sama. Sayangnya, kami berbeda. Akan tetapi, kupastikan Hilma abadi di sanubari sebagai cinta, sahabat, atau lebih dari itu semua. Seperti nama penyanyi itu, tulus, begitulah aku mencintainya.

Tetaplah dengan duniamu, Hilma. Biarkan aku di sini dengan duniaku. Setidaknya, kita masih bisa duduk kembali. Siapa tahu? Meski perasaan itu mungkin tak lagi satu. Inilah rencana Tuhan mempertemukan, agar kita lebih memahami siapa aku, kamu, dan kita yang sebenarnya.

"Pergilah. Semoga kamu bahagia."

-End-

Diubah oleh ndinadardanar 13-10-2019 05:40
neonlyme
gegerorion124
gegerorion124 dan neonlyme memberi reputasi
2
969
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan