i.am.legend.Avatar border
TS
i.am.legend.
Jalan Berliku Pengawal Jenderal Soedirman Jadi Buron Usai G30S PKI


Jalan Berliku Pengawal Jenderal Soedirman Jadi Buron Usai G30S PKI

Liputan6.com, Purbalingga - Pertengahan dasarian kedua September 2019, rumah mungil bercat putih, di Purbalingga, Jawa Tengah, itu nampak sepi. Ini lah rumah mantan Pengawal Jenderal Soedirman, DR Abu Arifin, yang belakangan dituduh simpatisan PKI lantaran dekat dengan Presiden Soekarno.

Namun, tak lama kemudian, sebuah sedan tua melambat dan berbelok ke garasi sederhana rumah mungil itu. Lantas, keluarlah Abu Arifin, pengawal setia Jenderal Soedirman yang juga sempat mengawal Presiden Soekarno.

Barangkali, namanya tak sepopuler Suparjo Rustam atau Tjokropranolo. Berlatar belakang sama-sama militer, dua orang yang disebut belakangan itu bernasib lebih beruntung.

Suparjo Rustam misalnya, menjadi Menteri pada masa orde baru (Orba). Tjokropranolo alias Nolly, menjadi Gubernur Jakarta, pengganti Ali Sadikin.

Berbeda dengan kedua orang itu, Abu Arifin justru sempat merasakan menjadi pesakitan selama berpuluh-puluh tahun. Stigma bahwa ia dekat dengan PKI begitu sulit dihapus.

Alikisah, pada 1946, ia terpilih menjadi anggota Batalyon Mobile Polisi Tentara yang lantas berubah menjadi Batalyon Mobile Polisi Militer. Ini lah cikal bakal Korps Polisi Militer.

Boleh dibilang, ini lah pasukan elit pertama yang dimiliki Republik Indonesia yang masih begitu muda. Di sini, terkumpul tentara-tentara pilihan dari berbagai angkatan dan kesatuan.

“Senjatanya lebih lengkap. Itu hadiah dari Austria kepada Jenderal Soedirman,” ucapnya.

Ia nampak masih fasih mengucapkan kata demi kata. Kesan renta perlahan padam. Semangatnya luar biasa. Ingatannya masih tajam untuk menceritakan peristiwa nyaris 80 tahun lalu hingga masa revolusi 65 atau PKI.

Mengawal Jenderal Soedirman dan Presiden Soekarno



Meski disebut batalyon, Batalyon Mobile Polisi Tentara dianggap setara dengan divisi. Sebabnya, batalyon khusus ini dipimpin oleh Mayor Jenderal Santoso. Tugas yang diembannya juga khusus dan berat.

Mereka berperang, tetapi sekaligus juga mengawal orang-orang paling penting di republik ini. Kompi 1 dipimpin oleh Kapten Tjokropranolo alias Nolly, bertugas mengawal Jenderal Soedirman.

Kompi 2 Kapten Sumantri, bertugas mengawal Wakil Presiden Hatta, para menteri, dan pejabat militer. Adapun Kompi 3, dipimpin oleh Kapten Susatyo, bertugas mengawal Istana Negara dan Presiden Soekarno.

“Kekuatanya sekitar 200 orang. Jadi bolak-balik, ke medan perang, balik mengawal lagi. Kecuali Kompi 3, semua anggota bergantian terjun ke medan perang, saat dibutuhkan,” dia menjelaskan.

Abu Arifin kali pertama bertugas di Batalyon Mobile Polisi Tentara bertugas di Kompi 1, mengawal Jenderal Soedirman. Namun, ia sempat dipindah tugas mengawal Presiden Soekarno, selama empat bulan.

Perkenalannya yang begitu dekat dengan Soekarno betul-betul membuatnya mengidolakan proklamator ini. Pemikiran Soekarno, semangatnya membela negara dan keberaniannya, begitu merasuk dan berpengaruh kepadanya.

Hanya empat bulan ia mengawal Soekarno. Ia lantas dikembalikan ke Kompi 1, yang bertugas mengawal Jenderal Soedirman, baik dalam keadaan damai maupun perang.

Ia turut dalam perang gerilya hingga Belanda mengakui kedaulatan RI. Dengan setia, ia mengawal Panglima Jenderal Sodirman dalam perang, pelarian, penyusupan, hingga pengaturan strategi perang dari dalam hutan yang begitu melelahkan.

Keluarga Jadi Sasaran



Singkat cerita, Jenderal Soedirman wafat. Para pengawalnya lantas tersebar di kesatuan yang berbeda. Waktu berlalu dan tiba pada 1964, Abu Arifin memutuskan pensiun dini.

Ia memilih berkumpul dengan keluarganya. Kebetulan, istrinya, Sutari bekerja di Balai Pelatihan Kerja (BLK) Dinas Tenaga Kerja di Semarang.

Sesaat berkumpul dengan keluarganya, prahara bernama G30SPKI itu terjadi tanpa terelakkan. Abu Arifin dan keluarganya kena getahnya.

Empat bulan menjadi pengawal Soekarno justru menjadi alasan intel tentara untuk menangkapnya. Ia dianggap sebagai Soekarnois dan harus dibasmi.

Orde Baru, membersihkan semua yang berbau Soekarno. Secara keji, mereka bahkan dituduh simpatisan PKI.

“Saya pengawal Soekarno, istri saya mengidolakan Soekarno. Semuanya dibersihkan, secara keji dengan jargon bahaya laten komunis,” dia menuturkan.

Tak mau menanggung dosa yang tidak dilakukannya, Abu Arifin kabur. Ia bersembunyi di Tanjung Karang, Lampung, kemudian ke Jambi.

Keluarganya jadi sasaran. Istrinya didatangi intel tentara dan dituduh menyembunyikan buron. Sutari ditampar berkali-kali.

Bahkan kemudian dipenjara tanpa persidangan kurang lebih setahun di Penjara Bulu, Semarang. Belakangan, tuduhan itu tak terbukti dan Sutari dibebaskan.

Rekonsiliasi dan Pengakuan Jasa



Nun di pulau seberang, Abu Arifin terus bersembunyi. Ia baru kembali ketika Sudomo menjadi menteri. Ia tak lagi bersembunyi.

Satu per satu keluarganya jadi sasaran. Adik istrinya, dibuang ke Digoel, dan baru kembali belasan tahun kemudian. Kemanakan, paman dan saudara lainnya ada pula yang lenyap tanpa diketahui nasibnya.

“Setelah Sudomo naik, saya bisa pulang. Tapi saya tidak mendapat pensiun dari dinas militer saya,” ujarnya.

Abu Arifin kehilangan harta dan kehormatan. Namun, itu tak membuatnya putus asa. Abu Arifin lantas memutuskan untuk menjadi pendeta. Dan itu semua dilakukan dari rumah kontrakannya yang kecil di Purbalingga.

Zaman berubah, masa berganti. Semenjak reformasi, kran kebebasan dibuka. Abu Arifin lebih leluasa. Hingga kini, ia menjadi penngajar Sekolah Tinggi Teologi (STT) Bandung.

Pada akhirnya, jasa-jasanya sebagai pejuang kemerdekaan diakui. Pada 2013, semasa pemerintahn Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ia memperoleh hibah rumah yang kini ditempati dengan anak bungsunya.

“Saya menjadi pendamping rohani napi, memimpin kebaktian di beberapa lapas juga,” ucapnya.

Di usia nyaris seabad, tepatnya 97 tahun, Abu Arifin tak lagi menyimpan dendam. Ia mengikhlaskannya kepada Tuhan. Di usia senja ini, ia masih bermimpi membuat sebuah buku catatan perjalannya semasa perang kemerdekaan hingga menjelang akhir hayat.
sumber

☆☆☆☆☆

Darah itu merah, Jenderal.
Semerah mata kita yang marah kala ketidakadilan dan kesewenang-wenangan menari-nari didepan mata.
Dan stigma itu pedih, Mayor.
Ketika kepahlawanan tak berharga sama sekali, berubah jadi pelarian. Lari bukan karena takut, tapi karena tak ingin etos kepahlawanan berubah menjadi kematian yang sia-sia.

Stigma yang seringkali dimainkan oleh siapapun juga yang berseberangan pendapat. Stigma yang mudah diucapkan, semudah membalik telapak tangan, tetapi dampaknya menusuk hati hingga beberapa keturunan.

Stigma yang saat ini dipakai oleh mereka, kita, siapapun juga untuk memukul hingga mati perlahan, tanpa peduli benar atau salah, fitnah atau fakta.

Sebagian yang bodoh, menggunakannya dengan tertawa, seringai licik penuh kemenangan. Sebagian yang pintar, menjauhkan diri sambil mengelus dada, dan memohon ampun kepada-Nya.

Disana, teriakan komunis menggema dari barisan manusia berpakaian putih, seputih kapas, dengan tangan menuding kedepan, seolah keadilan adalah milik mereka. Dan surga telah mereka genggam.

Disebelah sana, makian khilafah menyeruak dari manusia dengan pakaian bercorak, bagaikan semak, dengan tangan terkepal, seolah kebenaran telah mereka genggam.

Diujung sana, sekelompok manusia memainkan jarinya, menulis sebaris kalimat dengan satu kata pamungkas : kafir! Menuding kelompok lain yang tak sepaham.

Kata kafir bagi sebagian orang itu pedih Jenderal. Ditambah lagi kata komunis, maka bertambahlah kepedihan itu, Mayor. Bahkan tipisnya silet yang tajam, takkan bisa membuat pedih sampai ke dalam tulang, terasa hingga ajal datang.

Stigma, bahkan membuat orang merasa pemilik surga setelah membuang nama pemberian orangtua, dan mengganti dengan nama yang sulit dicerna.

Tapi dengan namamu, Mayor, membuka mata kita, bahwa nama tak selalu sama dengan keimanan.

Ditanah ini kita menghirup udara yang sama, meminum air dari tanah yang sama, memakan makanan dari tanah yang sama, tetapi kita terasa jauh berbeda. Bukan hanya antara kita, dia, dan mereka. Bahkan kepada Tuhan pun kita dipaksa berbeda, hanya karena pemahaman yang berbeda.

Selamat menyaksikan Indonesia yang turut kau perjuangkan, Mayor. Jangan pernah bermimpi, beberapa tahun setelah kau tiada, Indonesia takkan lagi seperti ini.

Jangan pernah.
Karena kekejaman stigma akan makin merajalela.
Diubah oleh i.am.legend. 05-10-2019 13:19
evywahyuni
Jazed
pakcikanto
pakcikanto dan 8 lainnya memberi reputasi
9
4.2K
48
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan