- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Membongkar Rahasia Dapur Buzzer


TS
venomwolf
Membongkar Rahasia Dapur Buzzer
SUKABUMIUPDATE.com - Denny Siregar santai menanggapi tudingan dirinya sebagai buzzer (pendengung) Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Ia mengaku sudah terbiasa dengan tudingan itu.
"Mudah-mudahan dibayar Jokowi deh. Ini juga enggak dibayar-bayar, cuma dituduh doang," kata Denny saat dihubungi Tempo, Rabu 2 Oktober 2019.
Nama Denny Siregar di media sosial kerap jadi kontroversi karena dituding menyebar kabar yang melenceng. Terakhir akun @Dennysiregar7 mencuit soal ambulans yang merawat korban kerusuhan setelah aksi unjuk rasa berujung ricuh pada 26 September 2019 lalu.
Saat itu Denny mencuit, "Hasil pantuan malam ini..Ambulans pembawa batu ketangkep pake logo @DKI Jakarta."
Warganet kemudian menemukan bahwa kabar ambulans bawa batu itu juga diunggah oleh akun resmi Polda Metro Jaya. Namun ada kejanggalan, sebabnya cuitan Denny Siregar diunggah 52 menit sebelum akun TMC mencuit adanya ambulans yang membawa batu tersebut.
Setelah sempat heboh, cuitan di akun Polda Metro Jaya kemudian dihapus. Pemerintah DKI Jakarta membantah ambulans itu membawa batu.
Tuntutan menangkap Denny Siregar pun muncul karena dianggap menyebar hoaks. Tapi, Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono menjelaskan bahwa faktanya ada batu dalam mobil tersebut.
"Alhamdulillah. Clear ya, bukan hoaks," cuit Denny sambil mengutip pernyataan Argo di sebuah situs berita.
Denny menolak disebut buzzer. Ia menilai dirinya lebih pas dianggap influencer. "Buzzer adalah orang yang memviralkan sesuatu tanpa ide. Kalau saya mungkin lebih kepada influencer, karena saya menuangkan sebuah ide, sebuah tulisan dalam narasi," kata Denny.
Keberadaan buzzer saat ini dinilai meresahkan. Dalam opini Tempo disebut buzzer pendukung Jokowi dinilai makin membahayakan demokrasi. Para pendengung jadi bagian dari kepentingan politik jangka pendek: mengamankan kebijakan pemerintah.
Awal Penggunaan Buzzer
Peneliti Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), Rinaldi Camil, mengatakan bahwa penggunaan buzzer untuk kepentingan politik mulai digunakan pada 2009.
"Brand masuk melihat peluang marketing melalui jasa buzzer influencer pada 2006. Kemudian itu masuk ke politik untuk membangun citra kandidat," kata Rinaldi saat ditemui Tempo di Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2019.
Pada perkembangannya, buzzer digunakan untuk melawan kampanye hitam dan meningkatkan citra positif kandidat agar berpengaruh terhadap potensi keterpilihan.
"Dalam konteks ini buzzer bermanfaat untuk politik pragmatis dimana ada opini-opini yang perlu dimenangkan, supaya citra kandidat itu tidak tenggelam dengan fitnah-fitnah," katanya.
Penelitian CIPG pada 2017 menunjukkan istilah buzzer untuk politik mulai populer pada Pilkada DKI 2012. Kemudian secara luas untuk kepentingan politik terjadi pada Pilpres 2014 dan akhirnya di setiap pemilu.
Rinaldi menjelaskan, buzzer memiliki kemampuan dalam mengamplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan. Buzzer biasanya memiliki jaringan luas, misalnya punya akses ke informasi kunci, mampu menciptakan konten sesuai konteks, cakap menggunakan media sosial, persuasif, dan digerakkan motif tertentu (bayaran dan sukarela).
Namun, istilah buzzer ini juga kerap overlap dengan influencer. Orang menilai influencer juga buzzer karena sama-sama memiliki kemampuan mengamplifikasi pesan. Yang membedakan dengan buzzer, influencer dianggap memiliki keahlian dalam bidang tertentu sehingga suaranya laik didengar publik.
Keterlibatan buzzer di Indonesia dalam peristiwa politik, masih dari penelitian CIPG, telah berkontribusi negatif terhadap citra dan pemaknaan khalayak terhadap buzzer. Sejak saat itu, buzzer mendapat cap negatif sebagai pihak yang dibayar untuk memproduksi konten negatif di media sosial.
Sebetulnya, kata Rinaldi, peran buzzer tidak diperlukan lagi pascapemilu atau ketika kandidat sudah menang. Sebab, keberadaannya malah menjadi distorsi. Sehingga, akan sulit membedakan mana aspirasi publik yang otentik. "Penggunaan buzzer untuk aktivitas mendukung pemerintah secara citra itu tidak akan membantu, karena akan menciptakan gap antara citra dan realitas," kata dia.
Penelitian Oxford Soal Buzzer
Sebuah studi Universitas Oxford mengungkap Indonesia termasuk dalam negara yang menggunakan media sosial untuk propaganda politik, disinformasi, dan upaya melemahkan pers. Riset ini adalah proyek Computational Propaganda Research Project, yang dilakukan Oxford Internet Institute dan dirilis pada 26 September 2019.
Dari kajian Oxford, 87 persen negara menggunakan akun manusia, 80 persen akun bot, 11 persen akun cyborg, dan 7 persen menggunakan akun yang diretas. Secara umum, pasukan siber Indonesia menggunakan akun bot dan yang dikelola manusia, dengan tujuan menyebarkan propaganda pro pemerintah atau partai politik, menyerang kampanye, mengalihkan isu penting, memecah belah dan polarisasi, dan menekan pihak yang berseberangan.
Jenis pasukan siber, menurut Oxford Internet Institute, dibagi dengan besarnya ukuran tim dan waktu kontrak, serta kemampuan strategi dan anggaran. Ada lima jenis kapasitas pasukan siber: tim berkapasitas minimal, rendah, medium, dan tinggi.
Indonesia umumnya menggunakan tim kapasitas rendah (Low Cyber Troop Capacity), yang berarti melibatkan sejumlah tim-tim kecil yang aktif selama pemilu atau agenda tertentu.
Hal ini juga diamini dari hasil analisis Drone Emprit yang menunjukkan adanya penggunaan pasukan siber yang bekerja secara sistematis dalam memanipulasi opini publik tentang revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK).
"Ketika membangun isu di KPK itu pelan-pelan, ada tagar-tagar yang diangkat. Tagar-tagar ini menggunakan semuanya, cyber troop dan computational propaganda," kata penemu Drone Emprit, Ismail Fahmi.
Ia mengatakan ketika membangun isu KPK, pasukan siber yang terdiri dari tim buzzer, influencer, dan strategist secara perlahan mengangkat tagar-tagar bernarasi positif yang terekam Drone Emprit pada 10-17 September 2019. Contoh tagar yang digunakan, yaitu #RevisiUUKPKForNKRI, #KPKKuatKorupsiTurun, #DukungRevisiUUKPK, #KPKLebihBaik, #KPKPatuhAturan.
Di samping itu, kata Ismail, ada isu yang sudah lama namun kembali diangkat, yaitu KPK dan Taliban. Narasi yang dibangun ialah seolah-olah di dalam KPK ada Taliban, dan bertujuan untuk memecah opini publik pada saat pengesahan revisi UU KPK.
Sebab, kemunculan narasi itu membuat persepsi publik terhadap KPK menjadi negatif. Padahal, Taliban yang dimaksud tidak memiliki asosiasi terhadap kelompok Taliban di Afghanistan."Opini publik pecah antara yang mendukung, yang mendukung mulai ragu-ragu, tidak percaya," katanya.
Agar tagar-tagar tersebut trending, Ismail mengatakan bahwa pasukan siber ini menggunakan skema giveaway atau memberi hadiah bagi netizen. Akun @MenuWarteg salah satunya yang mengadakan undian berhadiah dengan menggunakan tagar #KPKPatuhAturan. Selain mengadakan undian berhadiah, pasukan siber ini juga membuat meme yang banyak. "Ini sistematisnya bagus, kampanyenya bagus, step by step membangun opini publik, dan it works," ujar Ismail.
Dari kelompok yang menolak revisi UU KPK, Drone Emprit mencatat bahwa akun Anita Wahid membuat klarifikasi soal isu miring terhadap KPK. Namun, akun putri Gus Dur itu juga diserang komentar negatif dari pihak pro revisi UU KPK maupun oposisi pemerintah.
Ismail menuturkan, serangan KPK dengan isu Taliban sangat kuat. Hal ini pun berdampak pada akun-akun yang membela KPK ikut tenggelam di media sosial, karena mereka bergerak secara sporadis dan tidak terorganisir seperti pasukan siber.
https://sukabumiupdate.com/detail/ra...a-Dapur-Buzzer
Mengenal Buzzer, Influencer, Dampak dan Fenomenanya di Indonesia
KOMPAS.com — Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko meminta kepada buzzer yang selama ini mendukung Jokowi untuk tidak menyuarakan hal yang desdruktif bagi pemerintahan Jokowi sendiri.
Menurut Moeldoko, dalam situasi saat ini tidak diperlukan lagi buzzer yang bersuara desdruktif, namun dukungan politik yang lebih membangun.
Selain itu, selama ini Moeldoko mengamati bahwa para buzzer sering melemparkan kata-kata yang tidak enak didengar dan tidak enak di hati.
Lantas apa itu buzzer?
Menanggapi pertanyaan tersebut, pengamat media sosial Enda Nasution mengungkapkan bahwa buzzer merupakan akun-akun di media sosial yang tidak mempunyai reputasi untuk dipertaruhkan.
" Buzzer lebih ke kelompok orang yang tidak jelas siapa identitasnya, lalu kemudian biasanya memiliki motif ideologis atau motif ekonomi di belakangnya, dan kemudian menyebarkan informasi," ujar Enda saat dihubungi Kompas.com, Jumat (4/9/2019).
"Kan tidak ada konsekuensi hukum juga menurut saya, ketika ada orang yg mau mem-bully atau menyerang atau dianggap melanggar hukum, dia tinggal tutup aja akunnya atau menghapus akunnya atau dibiarkan saja hingga tidak aktif lagi," lanjut dia.
Selain itu, menurut Enda, bila ada akun yang memiliki nama yang jelas dan latar belakang yang jelas, ia menyebutnya dengan influencer.
"Jadi kalo misalnya akun tersebut memiliki nama dan real orangnya, contohnya Denny Siregar, atau selebritis atau profesi lainnya yang punya follower besar dan punya sikap atau preferensi untuk mendukung sesuatu atau tidak mendukung sesuatu," kata Enda.
Menurutnya, dengan begitu akun tersebut tidak bisa seenaknya mengunggah sesuatu, karena bila salah atau terdapat orang yang tidak suka, dapat menimbulkan risiko terhadap pemilik akun tersebut.
"Dalam kategori influencer, mereka memiliki nama asli dan latar belakang yang jelas, misalnya orang-orang partai, politisi, orang bisnis, atau pengamat-pengamat politik, kita tidak bisa menyebut mereka sebagai buzzer, mereka adalah influencer yang punya preferensi dukung mendukung sesuatu isu atau orang," ungkap dia.
Baca juga: Mengenal Jaringan 5G, Cara Kerja dan Bahayanya
Fenomena buzzer di Indonesia
Menurut dia, fenomena buzzer sebenarnya sama seperti ketika media sosial pertama kali dijadikan ajang untuk perang opini dan berusaha memenangkan opini publik.
"Nah, dalam alam demokratis yang sifatnya kontestasi seperti ini, maka kemudian siapa yang menang secara opini, maka dia juga yg dianggap lebih populer, akhirnya kehadiran buzzer mulai muncul disitu," terang dia.
Hal itu dikarenakan ruang-ruang publik sekarang tidak lagi dipenuhi media mainstream, tetapi juga media sosial yang sama-sama mempengaruhi dan berusaha meyakinkan publik terhadap satu atau lain isu.
"Jadi sebenarnya konsekuensi real dari kehadiran ruang publik dan juga sistem demokrasi, makanya muncul lah buzzer-buzzer ini, kelompok-kelompok yang berusaha untuk berperang atau memenangkan opini di ruang publik," kata dia lagi.
Enda juga mengatakan, buzzer ada yang dibayar dan ada juga yang hanya sukarelawan.
Bila dia (sukarelawan), biasanya karena motif ideologis, karena memang dia setuju dengan isu ini.
Sedangkan buzzer yang dibayar biasanya memiliki motif ekonomi, artinya mungkin selain mendukung, ia juga profesional di bidang tersebut sehingga mendapat bayaran.
Baca juga: Demo Mahasiswa Ricuh, Kominfo Belum Berencana Batasi Akses Internet
Dampak buzzer
Menurut Enda, kehadiran buzzer memiliki dampak di masyarakat.
"Dampaknya yakni kebingungan dari masyarakat, siapa yang harus dia percaya, walaupun ada sumber-sumber yg kredibel misal media yang kredibel, pemerintah juga masih sebagai sumber yang kredibel," jelas dia.
"Tapi di zaman media sosial seperti sekarang, informasi tidak dilihat dari sumbernya yang mana, bahkan seringkali enggak tahu sumbernya dari mana karena merupakan hasil copy paste dari WhatsApp, atau status Facebook dan sebagainya," lanjut dia.
Sehingga, yang terjadi adalah masyarakat harus menentukan sendiri harus percaya dengan siapa.
Kebanyakan masyarakat mempercayai sesuatu melalui referensi yang telah ia miliki sebelumnya.
"Bila dia merasa kelompok A itu jahat, maka informasi yang mendukung referensi itu, akan ia percaya dan akhirnya ia sebarkan, begitu juga sebaliknya," kata Enda.
Jadi, menurut Enda banyak informasi yang sering kali membuat kita hidup dalam ketidakpastian.
"Bila akan terus begini, kita akan terjebak dalam popularism artinya seolah-olah yang paling populer itu yang benar, padahal kebenaran itu bukan masalah populer atau tidak," tutup dia.
https://www.kompas.com/tren/read/201...nesia?page=all
Emil Salim dkk Minta Jokowi Tak Takut Terbitkan Perppu KPK
Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah tokoh yang mengikuti pertemuan dengan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka pada 26 September lalu membeberkan materi yang sudah mereka sampaikan di sana. Mereka meminta Jokowi tak perlu takut mengeluarkan Perppu KPK.
Dalam jumpa pers di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, mereka mengatakan telah memberikan pertimbangan kepada Jokowi soal urgensi Perppu tentang UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lihat juga: Istana Sebut Perppu KPK Ibarat Simalakama bagi Jokowi
Ekonom senior, Emil Salim mengatakan pihaknya mendorong Presiden RI Joko Widodo untuk segera mengeluarkan Perppu tersebut.
Ia mengatakan para tokoh melihat KPK telah melakukan tindak pencegahan dan penindakan terhadap korupsi secara signifikan. Sedangkan, revisi UU KPK yang kini telah disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR pada 17 September lalu, dinilainya sebagai bentuk upaya pelemahan lembaga tersebut.
"Penyidikan, penyadapan semua dikucilkan pengangkatan dan itu harus dari penyidikan, harus dari kepolisian. Kebebasan dari KPK menjalankan usahanya seperti yang dia lakukan di masa lampau dikebiri," kata Emil, Jakarta, Jumat (4/10).
"Kami mengusulkan, mengharap kepada presiden agar dikeluarkan Perppu untuk menarik mengubah RUU KPK dari DPR itu," tambahnya.
Selain itu Emil mengatakan dirinya dan sejumlah tokoh senior yang hadir, melakukan konferensi pers untuk menunjukkan bahwa mereka hadir mendukung presiden.
Mantan Menteri Lingkungan Hidup itu pun menyebut kewajiban Jokowi juga untuk memperkuat pemberantasan korupsi. Salah satunya, dengan membatalkan revisi UU KPK yang justru melemahkan pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Menurut Emil, penolakan atas UU KPK yang telah direvisi adalah demi menegakkan perjuangan bangsa yang bebas korupsi.
Ia pun membahas bagaimana KPK yang berdiri sejak 2002 telah membawa perubahan signifikan dengan turut menindak sejumlah petinggi negara korup seperti Ketua MK, Ketua DPR, ketua DPD, para kepala daerah, hingga para menteri, serta DPR.
"Kami merasa perjuangan ini harus diteruskan, dilanjutkan, demi kebersihan dari pemerintahan aparatur negara ini," ujar Emil.
Lihat juga: Ngabalin soal Perppu KPK: Jangan Mengancam Presiden
Tidak Ada Bedanya Dengan Orde Baru
Sementara itu Peneliti utama bidang politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mochtar Pabottingi yang turut hadir mengatakan jika Jokowi tidak menerbitkan Perppu, maka masa pemerintahannya bisa saja menjadi lebih mirip dengan pemerintahan orde baru.
"Pak Harto (Soeharto) tuh banyak sekali pembangunan yang dilakukannya tapi karena korupsi merajalela dan dibiarkan semuanya jadi hilang, musnah," ujar Mochtar.
"KPK itu intinya reformasi, kalau dihilangkan KPK itu ya bubar, reformasi habis. Tidak ada artinya tidak ada bedanya dengan orde baru," tambah dia.
Mochtar juga menekankan Jokowi tidak perlu takut mengeluarkan Perppu karena akan banyak pihak yang mendukungnya. Menurutnya sekarang ini merupakan waktu di mana Jokowi bisa menentukan sikap berada pada pihak yang mendukung orde baru atau di pendukung reformasi.
Ia pun menyinggung kebanyakan pihak di DPR RI merupakan mereka yang tidak punya sikap dan ideologi sehingga hanya mendukung kepentingan tertentu.
"Ini adalah moment to be or not to be," kata Mochtar.
"Coba kalau pak Jokowi hari ini atau besok keluarkan Perppu maka semua yang nolak akan balik lagi pada Jokowi karena memang mereka adalah bajing loncat tidak ada prinsip. Jadi ini yang harus disadari oleh Pak Jokowi untuk tidak usah takut," katanya.
Mochtar Pabottinggi (kiri) dan Emil Salim (kanan) saat tiba di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, untuk mengikuti pertemuan para tokoh dengan Presiden RI Joko Widodo, Kamis (26/9). (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan)
Dalam jumpa pers yang digelar hari ini, setidaknya 13 tokoh termasuk Emil dan Mochtar yang hadir menjelaskan kepada wartawan. Sisanya, di antaranya adalah Franz Magnis Suseno, Taufiequrachman Ruki, Albert Hasibuan, Bivitri Susantì, Ismid hadad, Toety Herati, Omi Kamaria, dan Slamet Raharjo.
Pada 26 September lalu, dari 52 tokoh yang diundang, sebanyak 41 orang termasuk Emil dan Mochtar mendatangi Istana Kepresidenan bertemu dengan Jokowi. Salah satu bahasan dalam pertemuan itu perihal revisi UU KPK yang sudah disahkan lewat paripurna DPR.
Usai pertemuan tersebut, Jokowi mengatakan akan melakukan perhitungan perihal polemik revisi UU KPK yang sudah jadi undang-undang tersebut. Dia pun menjanjikan akan memberikan keputusan sesingkat-singkatnya tanpa mau melugaskan tenggat waktu.
"Tadi sudah saya sampaikan secepat cepatnya, sesingkat-singkatnya [akan diberi keputusan]," ujar Jokowi memungkasi pertanyaan wartawan kala itu di Istana Merdeka.
Pada kesempatan yang sama, Mantan Ketua MK Mahfud MD selaku perwakilan para tokoh mengatakan pembicaraan mengenai UU KPK dengan Jokowi menghasilkan tiga opsi. Selain Perppu KPK, ada juga opsi legislative review yang bisa dilakukan parlemen dan judicial review yang bisa ditempuh ke Mahkamah Konstitusi.
Mahfud mengatakan Perppu KPK merupakan opsi yang paling kuat. Menurutnya pembahasan Perppu tersebut bisa dilakukan sampai ada suasana yang baik membicarakan isi dan substansinya.
"Presiden juga sudah menampung, pada saatnya yang memutuskan istana," ujar Mahfud.
Mahfud sendiri tak terlihat hadir dalam jumpa pers hari ini di Menteng bersama Emil Salim dkk.
Presiden Joko Widodo menerima puluhan tokoh, mulai dari akademisi, seniman, hingga budayawan di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9). (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan)
Lihat juga: Desakan Perppu KPK, Mahfud Minta Semua Pihak Hormati Jokowi
Diketahui, gelombang demonstrasi yang digawangi kalangan mahasiswa terjadi di sejumlah kota di Indonesia pekan ini. Tuntutannya terutama adalah pembatalan perundangan yang dianggap diskriminatif dan merugikan masyarakat, seperti RKUHP dan revisi UU KPK.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin meminta agar para mahasiswa tidak menekan dan mengancam Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan Perppu KPK.
Pernyataan itu menanggapi desakan mahasiswa agar Jokowi menerbitkan Perppu KPK sebelum 14 Oktober. Bila Jokowi tak menerbitkan Perppu, mahasiswa mengancam akan melakukan aksi besar-besaran.
"Jangan membiasakan diri melakukan tekanan. Mengancam itu tidak bagus. Jangan pernah memberikan batas waktu kemudian mengancam itu tidak bagus," kata Ngabalin di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat (4/10).
Lagipula, kata Ngabalin, Perppu merupakan hak subjektif Presiden. Tak ada satu pun yang berhak menekan atau mengancam presiden.
Sebelumnya, Yasonna H Laoly, yang kini telah mundur dari jabatan Menkumham karena jadi anggota DPR, mendorong agar UU KPK yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna itu dijalankan dulu saha dengan menyingkirkan prasangka buruk.
"Jalankan dulu lah, lihat [prakteknya], kalau nanti tidak sempurna buat legislative review. Belum dijalankan kok sudah suuzan. Kan enggak begitu caranya. Jalankan dulu," kata Yasonna di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu (2/10).
Saat pengesahan revisi UU KPK jadi undang-undang di DPR pada 17 September lalu, unsur pemerintah diwakili Yasonna yang masih menjabat Menkumham dan Menpan RB Syafruddin.
https://m.cnnindonesia.com/nasional/...kan-perppu-kpk
"Mudah-mudahan dibayar Jokowi deh. Ini juga enggak dibayar-bayar, cuma dituduh doang," kata Denny saat dihubungi Tempo, Rabu 2 Oktober 2019.
Nama Denny Siregar di media sosial kerap jadi kontroversi karena dituding menyebar kabar yang melenceng. Terakhir akun @Dennysiregar7 mencuit soal ambulans yang merawat korban kerusuhan setelah aksi unjuk rasa berujung ricuh pada 26 September 2019 lalu.
Saat itu Denny mencuit, "Hasil pantuan malam ini..Ambulans pembawa batu ketangkep pake logo @DKI Jakarta."
Warganet kemudian menemukan bahwa kabar ambulans bawa batu itu juga diunggah oleh akun resmi Polda Metro Jaya. Namun ada kejanggalan, sebabnya cuitan Denny Siregar diunggah 52 menit sebelum akun TMC mencuit adanya ambulans yang membawa batu tersebut.
Setelah sempat heboh, cuitan di akun Polda Metro Jaya kemudian dihapus. Pemerintah DKI Jakarta membantah ambulans itu membawa batu.
Tuntutan menangkap Denny Siregar pun muncul karena dianggap menyebar hoaks. Tapi, Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono menjelaskan bahwa faktanya ada batu dalam mobil tersebut.
"Alhamdulillah. Clear ya, bukan hoaks," cuit Denny sambil mengutip pernyataan Argo di sebuah situs berita.
Denny menolak disebut buzzer. Ia menilai dirinya lebih pas dianggap influencer. "Buzzer adalah orang yang memviralkan sesuatu tanpa ide. Kalau saya mungkin lebih kepada influencer, karena saya menuangkan sebuah ide, sebuah tulisan dalam narasi," kata Denny.
Keberadaan buzzer saat ini dinilai meresahkan. Dalam opini Tempo disebut buzzer pendukung Jokowi dinilai makin membahayakan demokrasi. Para pendengung jadi bagian dari kepentingan politik jangka pendek: mengamankan kebijakan pemerintah.
Awal Penggunaan Buzzer
Peneliti Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), Rinaldi Camil, mengatakan bahwa penggunaan buzzer untuk kepentingan politik mulai digunakan pada 2009.
"Brand masuk melihat peluang marketing melalui jasa buzzer influencer pada 2006. Kemudian itu masuk ke politik untuk membangun citra kandidat," kata Rinaldi saat ditemui Tempo di Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2019.
Pada perkembangannya, buzzer digunakan untuk melawan kampanye hitam dan meningkatkan citra positif kandidat agar berpengaruh terhadap potensi keterpilihan.
"Dalam konteks ini buzzer bermanfaat untuk politik pragmatis dimana ada opini-opini yang perlu dimenangkan, supaya citra kandidat itu tidak tenggelam dengan fitnah-fitnah," katanya.
Penelitian CIPG pada 2017 menunjukkan istilah buzzer untuk politik mulai populer pada Pilkada DKI 2012. Kemudian secara luas untuk kepentingan politik terjadi pada Pilpres 2014 dan akhirnya di setiap pemilu.
Rinaldi menjelaskan, buzzer memiliki kemampuan dalam mengamplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan. Buzzer biasanya memiliki jaringan luas, misalnya punya akses ke informasi kunci, mampu menciptakan konten sesuai konteks, cakap menggunakan media sosial, persuasif, dan digerakkan motif tertentu (bayaran dan sukarela).
Namun, istilah buzzer ini juga kerap overlap dengan influencer. Orang menilai influencer juga buzzer karena sama-sama memiliki kemampuan mengamplifikasi pesan. Yang membedakan dengan buzzer, influencer dianggap memiliki keahlian dalam bidang tertentu sehingga suaranya laik didengar publik.
Keterlibatan buzzer di Indonesia dalam peristiwa politik, masih dari penelitian CIPG, telah berkontribusi negatif terhadap citra dan pemaknaan khalayak terhadap buzzer. Sejak saat itu, buzzer mendapat cap negatif sebagai pihak yang dibayar untuk memproduksi konten negatif di media sosial.
Sebetulnya, kata Rinaldi, peran buzzer tidak diperlukan lagi pascapemilu atau ketika kandidat sudah menang. Sebab, keberadaannya malah menjadi distorsi. Sehingga, akan sulit membedakan mana aspirasi publik yang otentik. "Penggunaan buzzer untuk aktivitas mendukung pemerintah secara citra itu tidak akan membantu, karena akan menciptakan gap antara citra dan realitas," kata dia.
Penelitian Oxford Soal Buzzer
Sebuah studi Universitas Oxford mengungkap Indonesia termasuk dalam negara yang menggunakan media sosial untuk propaganda politik, disinformasi, dan upaya melemahkan pers. Riset ini adalah proyek Computational Propaganda Research Project, yang dilakukan Oxford Internet Institute dan dirilis pada 26 September 2019.
Dari kajian Oxford, 87 persen negara menggunakan akun manusia, 80 persen akun bot, 11 persen akun cyborg, dan 7 persen menggunakan akun yang diretas. Secara umum, pasukan siber Indonesia menggunakan akun bot dan yang dikelola manusia, dengan tujuan menyebarkan propaganda pro pemerintah atau partai politik, menyerang kampanye, mengalihkan isu penting, memecah belah dan polarisasi, dan menekan pihak yang berseberangan.
Jenis pasukan siber, menurut Oxford Internet Institute, dibagi dengan besarnya ukuran tim dan waktu kontrak, serta kemampuan strategi dan anggaran. Ada lima jenis kapasitas pasukan siber: tim berkapasitas minimal, rendah, medium, dan tinggi.
Indonesia umumnya menggunakan tim kapasitas rendah (Low Cyber Troop Capacity), yang berarti melibatkan sejumlah tim-tim kecil yang aktif selama pemilu atau agenda tertentu.
Hal ini juga diamini dari hasil analisis Drone Emprit yang menunjukkan adanya penggunaan pasukan siber yang bekerja secara sistematis dalam memanipulasi opini publik tentang revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK).
"Ketika membangun isu di KPK itu pelan-pelan, ada tagar-tagar yang diangkat. Tagar-tagar ini menggunakan semuanya, cyber troop dan computational propaganda," kata penemu Drone Emprit, Ismail Fahmi.
Ia mengatakan ketika membangun isu KPK, pasukan siber yang terdiri dari tim buzzer, influencer, dan strategist secara perlahan mengangkat tagar-tagar bernarasi positif yang terekam Drone Emprit pada 10-17 September 2019. Contoh tagar yang digunakan, yaitu #RevisiUUKPKForNKRI, #KPKKuatKorupsiTurun, #DukungRevisiUUKPK, #KPKLebihBaik, #KPKPatuhAturan.
Di samping itu, kata Ismail, ada isu yang sudah lama namun kembali diangkat, yaitu KPK dan Taliban. Narasi yang dibangun ialah seolah-olah di dalam KPK ada Taliban, dan bertujuan untuk memecah opini publik pada saat pengesahan revisi UU KPK.
Sebab, kemunculan narasi itu membuat persepsi publik terhadap KPK menjadi negatif. Padahal, Taliban yang dimaksud tidak memiliki asosiasi terhadap kelompok Taliban di Afghanistan."Opini publik pecah antara yang mendukung, yang mendukung mulai ragu-ragu, tidak percaya," katanya.
Agar tagar-tagar tersebut trending, Ismail mengatakan bahwa pasukan siber ini menggunakan skema giveaway atau memberi hadiah bagi netizen. Akun @MenuWarteg salah satunya yang mengadakan undian berhadiah dengan menggunakan tagar #KPKPatuhAturan. Selain mengadakan undian berhadiah, pasukan siber ini juga membuat meme yang banyak. "Ini sistematisnya bagus, kampanyenya bagus, step by step membangun opini publik, dan it works," ujar Ismail.
Dari kelompok yang menolak revisi UU KPK, Drone Emprit mencatat bahwa akun Anita Wahid membuat klarifikasi soal isu miring terhadap KPK. Namun, akun putri Gus Dur itu juga diserang komentar negatif dari pihak pro revisi UU KPK maupun oposisi pemerintah.
Ismail menuturkan, serangan KPK dengan isu Taliban sangat kuat. Hal ini pun berdampak pada akun-akun yang membela KPK ikut tenggelam di media sosial, karena mereka bergerak secara sporadis dan tidak terorganisir seperti pasukan siber.
https://sukabumiupdate.com/detail/ra...a-Dapur-Buzzer
Mengenal Buzzer, Influencer, Dampak dan Fenomenanya di Indonesia
KOMPAS.com — Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko meminta kepada buzzer yang selama ini mendukung Jokowi untuk tidak menyuarakan hal yang desdruktif bagi pemerintahan Jokowi sendiri.
Menurut Moeldoko, dalam situasi saat ini tidak diperlukan lagi buzzer yang bersuara desdruktif, namun dukungan politik yang lebih membangun.
Selain itu, selama ini Moeldoko mengamati bahwa para buzzer sering melemparkan kata-kata yang tidak enak didengar dan tidak enak di hati.
Lantas apa itu buzzer?
Menanggapi pertanyaan tersebut, pengamat media sosial Enda Nasution mengungkapkan bahwa buzzer merupakan akun-akun di media sosial yang tidak mempunyai reputasi untuk dipertaruhkan.
" Buzzer lebih ke kelompok orang yang tidak jelas siapa identitasnya, lalu kemudian biasanya memiliki motif ideologis atau motif ekonomi di belakangnya, dan kemudian menyebarkan informasi," ujar Enda saat dihubungi Kompas.com, Jumat (4/9/2019).
"Kan tidak ada konsekuensi hukum juga menurut saya, ketika ada orang yg mau mem-bully atau menyerang atau dianggap melanggar hukum, dia tinggal tutup aja akunnya atau menghapus akunnya atau dibiarkan saja hingga tidak aktif lagi," lanjut dia.
Selain itu, menurut Enda, bila ada akun yang memiliki nama yang jelas dan latar belakang yang jelas, ia menyebutnya dengan influencer.
"Jadi kalo misalnya akun tersebut memiliki nama dan real orangnya, contohnya Denny Siregar, atau selebritis atau profesi lainnya yang punya follower besar dan punya sikap atau preferensi untuk mendukung sesuatu atau tidak mendukung sesuatu," kata Enda.
Menurutnya, dengan begitu akun tersebut tidak bisa seenaknya mengunggah sesuatu, karena bila salah atau terdapat orang yang tidak suka, dapat menimbulkan risiko terhadap pemilik akun tersebut.
"Dalam kategori influencer, mereka memiliki nama asli dan latar belakang yang jelas, misalnya orang-orang partai, politisi, orang bisnis, atau pengamat-pengamat politik, kita tidak bisa menyebut mereka sebagai buzzer, mereka adalah influencer yang punya preferensi dukung mendukung sesuatu isu atau orang," ungkap dia.
Baca juga: Mengenal Jaringan 5G, Cara Kerja dan Bahayanya
Fenomena buzzer di Indonesia
Menurut dia, fenomena buzzer sebenarnya sama seperti ketika media sosial pertama kali dijadikan ajang untuk perang opini dan berusaha memenangkan opini publik.
"Nah, dalam alam demokratis yang sifatnya kontestasi seperti ini, maka kemudian siapa yang menang secara opini, maka dia juga yg dianggap lebih populer, akhirnya kehadiran buzzer mulai muncul disitu," terang dia.
Hal itu dikarenakan ruang-ruang publik sekarang tidak lagi dipenuhi media mainstream, tetapi juga media sosial yang sama-sama mempengaruhi dan berusaha meyakinkan publik terhadap satu atau lain isu.
"Jadi sebenarnya konsekuensi real dari kehadiran ruang publik dan juga sistem demokrasi, makanya muncul lah buzzer-buzzer ini, kelompok-kelompok yang berusaha untuk berperang atau memenangkan opini di ruang publik," kata dia lagi.
Enda juga mengatakan, buzzer ada yang dibayar dan ada juga yang hanya sukarelawan.
Bila dia (sukarelawan), biasanya karena motif ideologis, karena memang dia setuju dengan isu ini.
Sedangkan buzzer yang dibayar biasanya memiliki motif ekonomi, artinya mungkin selain mendukung, ia juga profesional di bidang tersebut sehingga mendapat bayaran.
Baca juga: Demo Mahasiswa Ricuh, Kominfo Belum Berencana Batasi Akses Internet
Dampak buzzer
Menurut Enda, kehadiran buzzer memiliki dampak di masyarakat.
"Dampaknya yakni kebingungan dari masyarakat, siapa yang harus dia percaya, walaupun ada sumber-sumber yg kredibel misal media yang kredibel, pemerintah juga masih sebagai sumber yang kredibel," jelas dia.
"Tapi di zaman media sosial seperti sekarang, informasi tidak dilihat dari sumbernya yang mana, bahkan seringkali enggak tahu sumbernya dari mana karena merupakan hasil copy paste dari WhatsApp, atau status Facebook dan sebagainya," lanjut dia.
Sehingga, yang terjadi adalah masyarakat harus menentukan sendiri harus percaya dengan siapa.
Kebanyakan masyarakat mempercayai sesuatu melalui referensi yang telah ia miliki sebelumnya.
"Bila dia merasa kelompok A itu jahat, maka informasi yang mendukung referensi itu, akan ia percaya dan akhirnya ia sebarkan, begitu juga sebaliknya," kata Enda.
Jadi, menurut Enda banyak informasi yang sering kali membuat kita hidup dalam ketidakpastian.
"Bila akan terus begini, kita akan terjebak dalam popularism artinya seolah-olah yang paling populer itu yang benar, padahal kebenaran itu bukan masalah populer atau tidak," tutup dia.
https://www.kompas.com/tren/read/201...nesia?page=all
Emil Salim dkk Minta Jokowi Tak Takut Terbitkan Perppu KPK
Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah tokoh yang mengikuti pertemuan dengan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka pada 26 September lalu membeberkan materi yang sudah mereka sampaikan di sana. Mereka meminta Jokowi tak perlu takut mengeluarkan Perppu KPK.
Dalam jumpa pers di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, mereka mengatakan telah memberikan pertimbangan kepada Jokowi soal urgensi Perppu tentang UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lihat juga: Istana Sebut Perppu KPK Ibarat Simalakama bagi Jokowi
Ekonom senior, Emil Salim mengatakan pihaknya mendorong Presiden RI Joko Widodo untuk segera mengeluarkan Perppu tersebut.
Ia mengatakan para tokoh melihat KPK telah melakukan tindak pencegahan dan penindakan terhadap korupsi secara signifikan. Sedangkan, revisi UU KPK yang kini telah disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR pada 17 September lalu, dinilainya sebagai bentuk upaya pelemahan lembaga tersebut.
"Penyidikan, penyadapan semua dikucilkan pengangkatan dan itu harus dari penyidikan, harus dari kepolisian. Kebebasan dari KPK menjalankan usahanya seperti yang dia lakukan di masa lampau dikebiri," kata Emil, Jakarta, Jumat (4/10).
"Kami mengusulkan, mengharap kepada presiden agar dikeluarkan Perppu untuk menarik mengubah RUU KPK dari DPR itu," tambahnya.
Selain itu Emil mengatakan dirinya dan sejumlah tokoh senior yang hadir, melakukan konferensi pers untuk menunjukkan bahwa mereka hadir mendukung presiden.
Mantan Menteri Lingkungan Hidup itu pun menyebut kewajiban Jokowi juga untuk memperkuat pemberantasan korupsi. Salah satunya, dengan membatalkan revisi UU KPK yang justru melemahkan pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Menurut Emil, penolakan atas UU KPK yang telah direvisi adalah demi menegakkan perjuangan bangsa yang bebas korupsi.
Ia pun membahas bagaimana KPK yang berdiri sejak 2002 telah membawa perubahan signifikan dengan turut menindak sejumlah petinggi negara korup seperti Ketua MK, Ketua DPR, ketua DPD, para kepala daerah, hingga para menteri, serta DPR.
"Kami merasa perjuangan ini harus diteruskan, dilanjutkan, demi kebersihan dari pemerintahan aparatur negara ini," ujar Emil.
Lihat juga: Ngabalin soal Perppu KPK: Jangan Mengancam Presiden
Tidak Ada Bedanya Dengan Orde Baru
Sementara itu Peneliti utama bidang politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mochtar Pabottingi yang turut hadir mengatakan jika Jokowi tidak menerbitkan Perppu, maka masa pemerintahannya bisa saja menjadi lebih mirip dengan pemerintahan orde baru.
"Pak Harto (Soeharto) tuh banyak sekali pembangunan yang dilakukannya tapi karena korupsi merajalela dan dibiarkan semuanya jadi hilang, musnah," ujar Mochtar.
"KPK itu intinya reformasi, kalau dihilangkan KPK itu ya bubar, reformasi habis. Tidak ada artinya tidak ada bedanya dengan orde baru," tambah dia.
Mochtar juga menekankan Jokowi tidak perlu takut mengeluarkan Perppu karena akan banyak pihak yang mendukungnya. Menurutnya sekarang ini merupakan waktu di mana Jokowi bisa menentukan sikap berada pada pihak yang mendukung orde baru atau di pendukung reformasi.
Ia pun menyinggung kebanyakan pihak di DPR RI merupakan mereka yang tidak punya sikap dan ideologi sehingga hanya mendukung kepentingan tertentu.
"Ini adalah moment to be or not to be," kata Mochtar.
"Coba kalau pak Jokowi hari ini atau besok keluarkan Perppu maka semua yang nolak akan balik lagi pada Jokowi karena memang mereka adalah bajing loncat tidak ada prinsip. Jadi ini yang harus disadari oleh Pak Jokowi untuk tidak usah takut," katanya.
Mochtar Pabottinggi (kiri) dan Emil Salim (kanan) saat tiba di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, untuk mengikuti pertemuan para tokoh dengan Presiden RI Joko Widodo, Kamis (26/9). (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan)
Dalam jumpa pers yang digelar hari ini, setidaknya 13 tokoh termasuk Emil dan Mochtar yang hadir menjelaskan kepada wartawan. Sisanya, di antaranya adalah Franz Magnis Suseno, Taufiequrachman Ruki, Albert Hasibuan, Bivitri Susantì, Ismid hadad, Toety Herati, Omi Kamaria, dan Slamet Raharjo.
Pada 26 September lalu, dari 52 tokoh yang diundang, sebanyak 41 orang termasuk Emil dan Mochtar mendatangi Istana Kepresidenan bertemu dengan Jokowi. Salah satu bahasan dalam pertemuan itu perihal revisi UU KPK yang sudah disahkan lewat paripurna DPR.
Usai pertemuan tersebut, Jokowi mengatakan akan melakukan perhitungan perihal polemik revisi UU KPK yang sudah jadi undang-undang tersebut. Dia pun menjanjikan akan memberikan keputusan sesingkat-singkatnya tanpa mau melugaskan tenggat waktu.
"Tadi sudah saya sampaikan secepat cepatnya, sesingkat-singkatnya [akan diberi keputusan]," ujar Jokowi memungkasi pertanyaan wartawan kala itu di Istana Merdeka.
Pada kesempatan yang sama, Mantan Ketua MK Mahfud MD selaku perwakilan para tokoh mengatakan pembicaraan mengenai UU KPK dengan Jokowi menghasilkan tiga opsi. Selain Perppu KPK, ada juga opsi legislative review yang bisa dilakukan parlemen dan judicial review yang bisa ditempuh ke Mahkamah Konstitusi.
Mahfud mengatakan Perppu KPK merupakan opsi yang paling kuat. Menurutnya pembahasan Perppu tersebut bisa dilakukan sampai ada suasana yang baik membicarakan isi dan substansinya.
"Presiden juga sudah menampung, pada saatnya yang memutuskan istana," ujar Mahfud.
Mahfud sendiri tak terlihat hadir dalam jumpa pers hari ini di Menteng bersama Emil Salim dkk.
Presiden Joko Widodo menerima puluhan tokoh, mulai dari akademisi, seniman, hingga budayawan di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9). (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan)
Lihat juga: Desakan Perppu KPK, Mahfud Minta Semua Pihak Hormati Jokowi
Diketahui, gelombang demonstrasi yang digawangi kalangan mahasiswa terjadi di sejumlah kota di Indonesia pekan ini. Tuntutannya terutama adalah pembatalan perundangan yang dianggap diskriminatif dan merugikan masyarakat, seperti RKUHP dan revisi UU KPK.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin meminta agar para mahasiswa tidak menekan dan mengancam Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan Perppu KPK.
Pernyataan itu menanggapi desakan mahasiswa agar Jokowi menerbitkan Perppu KPK sebelum 14 Oktober. Bila Jokowi tak menerbitkan Perppu, mahasiswa mengancam akan melakukan aksi besar-besaran.
"Jangan membiasakan diri melakukan tekanan. Mengancam itu tidak bagus. Jangan pernah memberikan batas waktu kemudian mengancam itu tidak bagus," kata Ngabalin di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat (4/10).
Lagipula, kata Ngabalin, Perppu merupakan hak subjektif Presiden. Tak ada satu pun yang berhak menekan atau mengancam presiden.
Sebelumnya, Yasonna H Laoly, yang kini telah mundur dari jabatan Menkumham karena jadi anggota DPR, mendorong agar UU KPK yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna itu dijalankan dulu saha dengan menyingkirkan prasangka buruk.
"Jalankan dulu lah, lihat [prakteknya], kalau nanti tidak sempurna buat legislative review. Belum dijalankan kok sudah suuzan. Kan enggak begitu caranya. Jalankan dulu," kata Yasonna di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu (2/10).
Saat pengesahan revisi UU KPK jadi undang-undang di DPR pada 17 September lalu, unsur pemerintah diwakili Yasonna yang masih menjabat Menkumham dan Menpan RB Syafruddin.
https://m.cnnindonesia.com/nasional/...kan-perppu-kpk






venomwolf88 dan 4 lainnya memberi reputasi
3
2.5K
30


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan