lebronkzAvatar border
TS
lebronkz
SEJARAH PETENG (Tertutup & Sengaja Ditutup) CIREBON
Maaf sebelumnya, tulisan ini saya salin dari cerita Rd. Kholil Abdullah, dimana tulisan ini saya salin kembali dengan tidak bermaksud apa-apa, melainkan murni untuk kelarifikasi, dan sebagai orang Islam ber kewajiban untuk menyampaikan atau memberikan informasi yang kami miliki, atau kalau dalam bahasa Al-Qurannya yaitu “Watawa show bil haqq” dan informasi ini sifatnya hanya untuk keluarga besar kami, tidak ada unsure lain, sebab masih banyak keluarga kami yang tidak mengetahuinya, meski nama Buyut kami itu sudah banyak dipakai untuk nama jalan (Cirebon dan Brebes), dan mungkin saja masyarakat yang telah mengabadikan nama Buyut kami melalui nama jalan itu juga kurang mengetahui siapa dan dari mana sebenarnya berasal. Karenanya kami selaku keturunannya sedikit mau berbagi dengan anda, barangkali ada diantara anda masih ada yang termasuk saudara kami.

Saya sendiri masih termasuk Keluarga besar Cirebon, tepatnya saya dari Keluarga Besar Cirebon yang ada di Mertasinga dan Susukan Lebak - Cirebon.

Dengan mengucapkan “A’uudzubillaahi Minasy Syaithoonir Rojiim Bismillaahir Rahmaanir Rahiim” Kisah ini akan kami mulai :

Cikal Bakal Terjadinya Pemberontakan di Cirebon
Kebanyakan orang hanya tahu nama, tidak tahu siapakah nama se benarnya Buyut Rancang, dan dari mana beliau berasal. Untuk mengetahui detailnya, kami sebagai anak cucunya, akan memberikan runutan cerita beliau, biar yang selama ini jadi misteri, akan terkuak. Akan tetapi sebelum kami memulai cerita, kami ajak anda untuk berfikir dan berangan- angan kebelakang pada 300 tahun yang silam dimana Kedudukan Cirebon pada waktu itu berada pada bayang-bayang pengaruh Mataram.

Ketika itu Amangkurat I berkuasa dari tahun 1646 hingga 1677. Masa pemerintahan yang ditandai dengan banyaknya pergolakan agaknya menjadi faktor penting mengapa Cirebon semakin menjadi lemah. Pada zaman Amangkurat I, Penguasa Cirebon Panembahan Girilaya (bernama lahir Pangeran Abdul Karim), cucu Panembahan Ratu dan sekaligus sebagai menantu Amangkurat, atas desakan VOC meminta kepada pihak Mataram agar Cirebon yang pada waktu itu masih tidak mau tunduk kepada VOC, agar bisa datang untuk menemui Mataram dengan alasan sowan kepada mertua.

Mendapat desakan dari VOC akhirnya pihak Mataram yang sudah terpengaruh VOC mengundang menantunya Panembahan Girilaya atau Pangeran Abdul Karim agar menghadap ke Mataram. Dengan berat hati permintaan pihak Mataram itu akhirnya disetujui.

Keberangkatan Gusti Panembahan tersebut dengan disertai kedua puteranya, yakni Pangeran Mertawijaya (Pangeran Syamsuddin) dan Pangeran Wangsakerta (Pangeran Afifuddin) Sebagai pengganti kedudukannya selaku Sultan Cirebon, ditunjuk puteranya yang paling bungsu, yaitu Pange ran Kertawijaya (Pangeran Badruddin).
Panembahan Ratu wafat pada tahun 1662 Masehi. Sebelum meninggal beliau membagi kerajaannya menjadi dua yang diwariskan kepada ke dua puteranya itu. Pangeran Martawijaya diangkat sebagai Panembahan Sepuh yang berkuasa atas Kasepuhan. Sedangkan Kertawijaya ditunjuk sebagai Panembahan Anom yang berkuasa atas Kanoman.
Sementara itu, Raja Amangkurat I yang kurang bijaksana menimbul kan kebencian di kalangan istana dan penguasa-penguasa daerah yang lain termasuk Cirebon. Dengan didukung oleh seorang pangeran dari Madura bernama Tarunajaya, sang putera mahkota mengadakan pemberontakan. Sayangnya, usaha mereka menentang Amangkurat I tidak berhasil karena perpecahan antara keduanya.
Raja Amangkurat I kemudian meninggal di Tegalwangi Cirebon setelah melarikan diri dari ibukota Mataram. Dalam pertempuran tersebut, kedua pangeran dari Cirebon itu memihak pada pihak pemberontak. Kira-kira tahun 1678 Masehi, kedua bangsawan pewaris tahta Cirebon kembali ke tanah kelahirannya. Dengan demikian kini di Cirebon berkuasa tiga sultan, masing-masing Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Sultan Cerbon.
Sementara itu di Mataram sebagai akibat dari pemberontakan Taru najaya, bertumpuklah hutang yang harus dibayarkan kepada pihak VOC- Belanda yang membantu Amangkurat I. Pihak Mataram membayar hutang nya itu dengan cara melepaskan pelabuhan-pelabuhan potensial beserta penghasilan yang amat menguntungkan itu kepada VOC.
Akibat kelanjutan perbuatan Amangkurat I adalah adanya peng hapusan gelar Sultan dari penguasa Cirebon pada tahun 1681 Masehi. Sebagai gantinya, raja-raja Cirebon kembali pada gelar Panembahan yang sesungguhnya lebih rendah dari Sultan.
Kemunduran Kesultanan Cirebon semakin meningkat sejak tahun 1773 Masehi. Setelah Panembahan terakhir gugur dimedan pertempuran akibat adanya penghianatan dan dalam rangka mempertahankan kedaulat an dan syari’at Islam yang diyakininya dan wafat sebelum sempat mewaris kan tahta kepada keturunannya yang saat itu masih kecil-kecil (akan dikisah kan dalam episode lanjutan), daerahnya kemudian menjadi terbagi-bagi dan dikuasai oleh para pangeran.
Setelah Cirebon mengalami kekalahan melawan VOC, pihak Keraton Cirebon pada waktu itu sudah tidak mengelola Negara lagi, semuanya diatur pihak Pemerintah Kolonial, dan sebagai gantinya Sultan dan para pinange ran hanya diberikan subsidi atau gajih dari VOC. dan tidak mempunyai kewe nangan apa-apa, sampai pengangkatan Sultanpun harus menunggu reko mendasi Pemerintah Kolonial Belanda, apalagi gelar kebangsawanan, itu semua diatur oleh Belanda, alasannya karena kalau terlalu banyak para pinangeran, pihak pemerintah akan mengeluarkan anggaran yang sangat besar, sehingga pada waktu itu gelar kebangsawanan dibatasi oleh pemerintah, dan tidak sembarang orang akan memakainya, semuanya harus berdasarkan besluit pemerintah (karena menyangkut gajih). Sultan hanya bersifat mengusulkan.
Sultan pada waktu itu hanyalah diberi sebagai pengelola Keraton, kesenian, dan masih diperbolehkan membuat silsilah (tentunya dalam peng awasan Pemerintah Belanda), dan mengelola adat istiadat yang biasa dilakukan Keraton seperti Hulu bakti, matur bakti, grebeg syawal, panjang jimat, muludan, dan lain sebagainya hanya itu. Karenanya tidaklah heran kalau banyak para pinangeran yang merasa tersihkan dan tidak diakui oleh pihak VOC atau Pemerintah Belanda.
Pembatasan gelar kebangsawanan terhadap keluarga Keraton dan aturan-aturan Keraton lainnya yang bersendikan Syari'ah Agama Islam itu harus disesuaikan dengan aturan Pemerintah Belanda. Sementara pihak Keraton sendiri tidak bisa berbuat banyak. dengan sangat terpaksa, diharuskan menyetujui aturan tersebut.
Adanya dua hal pokok itulah banyak masyarakat dan keluarga kera ton, pada waktu itu merasa sangat dilecehkan, dan tidak dihargai sama sekali. para kaum santri dipasung kebebasan berekspresi dalam beribadah kepada Allah SWT, kaum bangsawan yang tidak mendapatkan rekomendasi Pemerintah dijadikan Abdi dalem Masyarakat, dan tidak mendapatkan gajih dari pemerintah. Kaum santri dari kalangan bangsawan yang mendapatkan rekomendasi pemerintah (mendapat gajih), juga tidak cocok dengan aturan semacam itu.
Para kaum intelektual dan cendikia dari golongan bangsawan keturun an keraton, banyak yang keluar meninggalkan istana dan memilih bergabung dengan masyarakat dan kaum santri, dan berawal dari situlah sering muncul api pemberontakan dimana-mana. seperti di Kerawang, Di Sumedang, Di Majalengka, Di Cirebon, dan di beberapa daerah lain di Jawa Barat.
Para pemimpin pemberontakan itu semuanya adalah sebagian besar kaum santri yang di pimpin langsung oleh Kiainya sendiri seperrti Di Kerawang muncul pemberontakan atau kerusuhan yang di pimpin Ki Bagus Rangin, Di Sumedang dipimpin Ki Bagus Serit, Di Cirebon dipimpin langsung oleh Ki Bagus Jabin, Di Cirebon Timur dipimpin Bagus Sidong dan di Majalengka di pimpin oleh Ki Bagus Arsitem.Dan semua nama-nama itu bukan nama asli, nama itu hanyalah nama- nama inisial atau nama sandi dalam perjuangan, agar jati dirinya tidak dapat diketahui musuh.
Sehingga dalam hal ini pihak Pemerintah Kolonial sendiripun sangat merasa kewalahan untuk menangkap dan meredam pemberontakan ter sebut, hamper lebih kurang 30 tahun pemberontakan di Cirebon tidak bisa dipadamkan. Pemberontakan yang yang sangat besar dan tercatat dalam sejarah (1816-1818) yang dikenal dengan nama “Perang Kedongdong” yang sangat monumental dan sekaligus merupakan cikal bakal “Perang Diponegoro”.
Yang memahami perang pasti yang ditanya, siapa yang mengotaki atau dalang dibalik itu semua…?

To Be Continued......


Best Regards,

ttd
Rd. Vishnu Kusumawardhana, SH
0
43.9K
44
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan