mayyarossaAvatar border
TS
mayyarossa
Tersesat di Lereng Merbabu




“Arghhh ….”

Tramontina kuayunkan sembarangan. Sudah tiga kali aku sampai di pohon tumbang ini. Kuedarkan pandangan. Sial! Hanya ada rimbun pohon di sekeliling. Sementara, hari mulai gelap. Malam mulai merayap. Dingin tetiba menyergap.

Gunung Merbabu sudah seperti rumahku sendiri. Aku pernah mendaki Merbabu lewat semua jalur, baik yang legal maupun jalur pencari rumput. Apalagi ini jalur Wekas, sudah puluhan kali aku naik lewat sini. Jadi, tak mungkin rasanya aku tersesat di sini!





Aku terduduk lemas. Kutancapkan golok di tanah. Botol minum di saku kiri celana kuraih, lalu meminumnya seteguk. Seharusnya, aku sudah sampai di basecamp. Seharusnya, aku sudah bertemu dengan pendaki lain. Seharusnya, aku sudah bertemu lagi dengan kedua temanku.



Aku mulai berpisah dengan dua temanku, Rengganis dan Mahameru, sejak tiga jam yang lalu. Rengganis tergelincir, Mahameru terjatuh saat ingin menolongnya.

Tiba-tiba, tengkukku terasa dingin. Terasa ada angin yang melewatinya. Aku mulai waspada. Gagang tramontina erat di tangan, mataku menatap lurus ujungnya. Dadaku berdebar kencang, keringat mulai membasahi base layerku.

“Mbak.” Sebuah tepukan ringan mengagetkanku. Dengan sigap aku berdiri, kemudian berbalik seraya mengarahkan tramontina ke sumber suara. Tampak di depanku seorang pemuda, dengan celana hitam dan flannel merah yang sudah agak lusuh. Rambutnya agak acak-acakan, kepalanya diikat dengan slayer berwarna oranye, sama seperti milikku. Carrier berwarna senada membebani punggungnya. Wajahnya tampan. Hanya saja, sedikit pucat.

“Sendirian?” Dia dengan ramah bertanya padaku. Aku masih terdiam, sikap waspada.

“Kamu terpisah dari rombongan, ya?” dia kembali bertanya sambil melepas carriernya. Lalu, duduk di samping pohon tumbang. Aku bergeming. Bersyukur, karena akhirnya bertemu seseorang.

“Kamu ngga bawa apa-apa?" tanyanya sambil mengeluarkan botol minum oranye dari carrier. Aku menggeleng lemah.

“Minum?” Disodorkannya botol minum padaku. Aku menggeleng, lagi.

“Lalu, kenapa kamu bisa terpisah dengan teman-temanmu?”

“Seorang temanku sakit, aku perlu bantuan. Tapi, aku ... aku .... Entahlah. Aku sepertinya hanya berputar-putar di tempat ini saja. Sudah tiga kali aku menginjakkan kaki di area pohon tumbang ini."

“Kamu pernah mendaki lewat sini?”

“Pernah. Bahkan, gunung ini sudah seperti rumahku sendiri.”



“Lalu, bagaimana kau bisa tersesat?” Aku mengedikkan bahu.

“Entahlah, aku hanya ingin cepat sampai di base camp, dan meminta pertolongan sekarang." Aku menarik napas panjang, mencoba membuang resah. "Kamu sendiri? Kenapa hanya sendirian? Solo hiker?” tebakku.

“Bukan. Aku naik bersama beberapa teman. Kami sedang dalam perjalanan turun. Tiba-tiba kabut tebal turun. Aku berhenti sejenak, tapi saat kabut hilang, aku tinggal sendirian. Teman-temanku sudah tak ada." Dia menerawang.



"Sudah pernah mendaki lewat sini?"

"Sudah, beberapa kali, mungkin tak sebanyak kamu."

"Hm, lalu, sudah pernah lewat jalan ini?"

"Baru dua kali ini. Ini jalur lama yang melegenda, tapi, tak semua pendaki tahu jalan ini. Hanya pendaki lawas yang mungkin tahu jalan ini. Jalur ini sudah lama tak dilewati, setelah adanya korban yang hilang."

"Iya, aku pernah dengar. Bahkan, aku sering melewatinya, tapi tempat ini ... sepertinya asing bagiku."

"Oh iya, kita belum berkenalan. Siapa namamu?"

"Anjani."

"Aku Arya," katanya sambil mengulurkan tangan. Kusambut uluran tangannya. Dingin, seolah bisa membekukan tangan.
Tiba-tiba gerimis turun.

“An, hari sudah malam, gerimis pula. Bagaimana kalau kita istirahat? Besok kita turun bareng.”

Aku menarik napas panjang, bingung. Aku harus secepatnya sampai ke base camp. Namun, bila terus berjalan, ada kemungkinan tersesat semakin jauh. Sementara di sini, paling tidak aku punya teman untuk menunggu pagi tiba.

“Bagaimana, kau mau istirahat, atau ...?” Dia mengambil tenda dari dalam carrier. "Ayo, bantu aku mendirikan tenda. Kamu ngga mau mati kedinginan karena basah dan hipothermia, 'kan?"



Kami berdua segera mendirikan tenda. Detik berikutnya, Arya mengambil kompor dan menjerang air. Diseduhnya kopi, aromanya sangat menggoda indera penciuman. Setelah itu dia membuat roti dengan selai coklat.

“Kopi?” Diangsurkannya cangkir berisi kopi itu ke arahku. Kuterima, lalu menghirup isinya. Ah … sesaat aku merasa lebih rileks.

“Makanlah,” katanya lagi sambil memberikan roti padaku. Aku tak menolak. Entah kenapa, rasanya lapar sekali. Kami makan sambil mengobrol ringan. Enak juga dia diajak ngobrol.

“Setelah ini tidurlah. Aku akan tidur di teras tenda. Besok pagi aku akan membangunkanmu, kita turun bersama.”

“Arya …."

“Ya ….”

“Terima kasih.”

Dia hanya tersenyum. Tak lama, aku pun tertidur.

***

"Tolong .... Tolong aku." Terdengar rintihan dari sebelahku. Sepertinya aku mengenal suara itu. Itu kan suara ... Arya! Aku menoleh, lalu menjerit saat melihat seseorang duduk di sampingku dengan wajah rusak.

***

“Anjani, kamu kenapa?” Aku merasakan tubuhku diguncang, dingin. Aku menatap ke arah pemuda di sampingku. Entah kenapa, sorot matanya terasa menghunjam.

"Ar, ini beneran kamu, 'kan?"

"Iya, ini aku. Kamu berteriak tadi. Mimpi buruk?"

"Aku ...." Aku hanya menunduk, mengingat mimpiku tadi. Aku melongok ke luar tenda. Masih gelap rupanya.

"Ar, jam berapa ini?"

"Baru jam tiga, An."

“Ayo, kita turun,” jawabku.

“Ayo, tapi, kau turun sendiri, ya. Aku akan menunjukkan jalan padamu."

“Tapi ….”

“Maaf, saat kamu tidur tadi rombonganku turun, dan masih ada dua orang di atas. Aku akan menunggu mereka.”

"Kenapa tak membangunkanku?"

"Sudah, tapi kamu lelap sekali. Sepertinya kamu kecapekan."

"Iya, memang aku rasanya capek sekali."

“Kamu sudah siap turun?" Aku hanya mengangguk. "Ayo, ikuti aku."

"Golokmu," pintanya. Segera kuberikan golok itu, untuk membabat beberapa ranting yang menghalangi jalan.

"Sebenarnya kamu tidak tersesat. Kamu hanya mengambil jalan terlalu ke kiri.”

Kami tiba di tanjakan yang cukup curam. Kakiku sempat gemetar saat melihat ke bawah, jurang di sisi kiri menganga.



"Tak perlu takut. Percaya pada dirimu, jangan lihat ke jurang. Mari, kubantu." Aku menurut, terus mengekornya.

“Anjani, aku hanya bisa mengantarkanmu sampai sini. Ikuti saja jalan ini, maka kau akan sampai ke makam. Well, setelah itu kau tahu ‘kan harus ke mana?”

“Iya, aku tahu.”

“Hati-hati di jalan, ya.” Dia berucap seraya mengembalikan golok.

“Kamu beneran nggak ikut turun?”

“Aku harus menunggu temanku, dan membereskan tenda. Kalau kau tak tergesa pulang, kita pasti akan bertemu di base camp,” kata Arya sambil tersenyum. Kami berjabat tangan, erat. Aku tak mempedulikan rasa dingin yang membekukan tangan, seperti enggan melepasnya.

“Ini aku ada coklat, kamu ngga bawa makanan, ‘kan? Lumayan, buat energi, biar kamu ngga pingsan. Ini juga kamu bawa, ya,” katanya sambil menyerahkan slayer orange yang kemarin dipakainya. Di slayer itu ada sulaman nama, Arya Mahesa.

Aku menerima pemberiannya dan segera memasukkan ke saku celana. Kulepas topi rimba, lalu memberikan padanya.

“Aku tak bawa apa pun. Ini untukmu. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih.” Dia menerimanya dengan senyum mengembang.

“Terima kasih. Pergilah. Hari sebentar lagi terang. Jangan takut, aku mengawasimu dari sini. Kau berani, ‘kan?”

Aku mengangguk. Akhirnya aku berjalan mengikuti jalan itu, lalu menoleh. Arya melambaikan tangan. Kubalas lambaiannya seraya melempar senyum termanis.

Mentari mulai terbit saat aku berada di jalur pendakian yang benar. Leganya hatiku, akhirnya bertemu dengan pemakaman yang terletak di ujung desa. Aku tinggal belok kiri, lalu mengikuti jalan menurun itu.

Sesampainya di base camp, aku terkejut. Dua temanku sudah di sana, ayah dan ibu juga. Bahkan, beberapa tim SAR pun ada bersama mereka.





“Anjani!” Hampir bersamaan mereka meneriakkan namaku saat tiba di base camp.

“Rengganis! Mahameru! Ini benar kalian, ‘kan?” Kami bertiga berpelukan, dan menangis.





“Ayah, Ibu!” Orang tuaku pun memeluk dengan berlinang air mata. Aku masih tak mengerti dengan apa yang terjadi.

“Kamu kemana saja, An?”

“Maafkan aku. Aku tersesat kemarin. Kalian, sudah sampai sini? Kalian sudah sehat?”

“Kamu sudah hilang empat hari, An!" Aku terhenyak.

"Empat hari?"

"Iya. Kami berusaha mencarimu, tapi nihil.” Rengganis, temanku yang sakit kemarin mencoba menjelaskan. “Alhamdulillah, kamu sudah kembali.” Dia kembali memelukku. Aku merasakan kejanggalan. Empat hari? Aku hanya semalam berpisah dengan mereka, 'kan?

“Tapi, aku hanya berpisah dari kalian satu malam?" Kami semua saling pandang.

"An, kamu sudah hilang empat hari. Tim SAR sudah bergerak sejak tiga hari lalu. Sejak kita turun dari puncak, dan kamu pamit mencari bantuan, sorenya tim SAR datang menjemput kami, atas laporan pendaki yang mendahului kami."



Aku hanya terdiam, masih belum bisa mencerna kata-kata Rengganis.

"Itu nggak mungkin, Nis. Sungguh, aku hanya tidur di tenda satu malam."

"Kamu nenda sama siapa, An?" Kali ini Mahameru bersuara.

"Aku bertemu seorang pendaki, Arya. Dia juga tersesat karena kabut tebal. Aku ingin melanjutkan perjalanan, tapi hujan turun. Arya membuka tenda. Tadi, dia menunjukkan jalan padaku."

"Arya?" Kali ini Mas Dono, pengelola base camp yang bertanya.

"Iya, Mas. Dia masih menunggu rombongannya. Sebentar lagi dia pasti sampai sini.”

“Tapi, tak tercatat pendaki yang bernama Arya, Ndhuk.” Aku menatap Mas Dono, mulai merasa tambah janggal dengan semua.

“Mungkin ... mungkin naik lewat jalur lain, Mas.”

“Kami sudah cek semua jalur sejak kamu dikabarkan hilang.”

Aku segera meminta buku registrasi, dan memeriksanya. Tiba-tiba sebuah foto terjatuh dari buku itu. Aku memungutnya.

“Arya ….”

“Kamu bertemu dia, Ndhuk?”

“Iya, Mas. Dia yang menolong saya.” Kutatap foto itu, persis sama dengan Arya yang kujumpai tadi. Mas Dono menarik napas panjang.

“Dia pendaki yang hilang tujuh tahun lalu, Ndhuk,” lirihnya, tapi bagai petir di telingaku. Kuraih coklat pemberiannya dari saku celana. Ternyata, coklat tadi masih ada, hanya saja, bungkusnya terlihat lusuh. Kulihat expired datenya, bulan Juni, enam tahun lalu. Aku lemas. Tiba-tiba, lututku goyah dan semuanya gelap.

Jogja, 22 September 2019.

Tulisan ini based on true story. Mohon maaf bila ada kesamaan nama, tempat, dan kejadian. Tulisan ini tercipta karena keprihatinan terhadap banyaknya pendaki yang hilang beberapa waktu terakhir ini. Teriring doa untuk sahabat yang lebih dulu berpulang di pangkuan sang alam.

Semoga bermanfaat, sampai jumpa di lain kesempatan. Oh iya, semua foto ini dokpri ane, ya, GanSist.
Diubah oleh mayyarossa 26-09-2019 10:40
Gresta
sebelahblog
zafinsyurga
zafinsyurga dan 37 lainnya memberi reputasi
38
6.4K
161
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan