Kaskus

Entertainment

Pengaturan

Mode Malambeta
Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dhenokwidaAvatar border
TS
dhenokwida
Kandasnya Cinta Di Puncak Lawu
Kandasnya Cinta Di Puncak Lawu
Aku Nayla. Pagi ini aku lagi heboh banget nyiapin perlengkapan buat naik ke Lawu. Mulai dari jaket, kaos kaki, minyak kayu putih, sleeping bag, cemilan dan air minum. Aku cuma bawa 1 ransel ukuran sedang aja. Soalnya rencana pendakian cuma 1 malam aja. Menikmati pergantian tahun di puncak Lawu. Hemm menyenangkan sekali. Pemandangan indah, udara dingin, ditemani Rian. Ya, Rian yang mengajakku untuk merayakan pergantian tahun di puncak Lawu. Rian adalah pacarku. Kami sudah berpacaran hampir 1 tahun. Tanggal 1 Januari nanti tepat setahun hubungan kami. Ah, gak sabar rasanya ingin cepat bertemu Rian.

"Bu, Nayla malam ini nginap di rumah teman ya, mau tahun baruan," ucapku berbohong pada ibuku yang tengah menggoreng tempe di dapur. Karena aku gak mau ibu khawatir. Kalo tau aku mau naik gunung sudah pasti beliau melarang.
"Ya, ati-ati. Tapi besok udah harus pulang lho ya," jawab ibu mewanti-wanti.
"Oke bu," ku cium kening ibu yang mulai keriput.
Kupacu sepeda motorku menuju rumah Rian. Jarak rumah kami lumayan jauh, kurang lebih 1 jam. Sengaja memang Rian tidak menjemputku. Karena rumahnya lebih dekat dengan lokasi pendakian nanti.
Selama perjalanan jantungku berdegup tak karuan. Membayangkan gimana menyusuri jalan mendaki Lawu. Aku suka alam. Tapi selama ini aku lebih sering menikmati pantai. Tak terasa tinggal 1 belokan lagi sampai di rumah Rian. Rumah bercat hijau muda yang nampak asri. Halamannya penuh dengan tanaman bunga juga buah. Kuparkirkan sepeda motorku di samping rumah. Rian menyambutku dengan senyumnya.
"Nyampe juga akhirnya. Udah pada nungguin loh," kata Rian.
"Tinggal aku aja ya," jawabku sambil melirik seorang perempuan duduk di sofa ruang tamu bersama Roland, sepupu Rian.
"Mas Roland," sapaku sambil menjabat tangannya.
"Hei Nay," Roland tersenyum. "Udah lama banget ya kita gak ketemu?"
"Iya nih, mas Roland sibuk banget. Udah wisuda ya mas katanya?"
"Iya, akhirnya udah lega. Makanya mau refreshing, menikmati pemandangan alam. Kamu baru pertama kali kan?" ujar Roland membuat suasana agak santai.
"Iya ni mas. Agak takut sih, tapi penasaran," jawabku. Aku masih melirik perempuan yang duduk di depanku. Manis. Kulit putih, rambut lurus sebahu, dengan lesung pipit saat senyum. Siapa dia? Aku penasaran. Rian keluar sambil membawa ransel dan menenteng jaket.
"Oia Nay, udah kenalan belom? kenalin ini Mira," kata Rian yang langsung membuat jantungku sedikit berdesir. Mira tersenyum. Aku membalasnya dengan hambar.
"Oh, sampe lupa aku Nay. Asik ngobrol sampe gak ngenalin Mira," timpal Roland.
"Nih Mir jaketnya," Rian memberikan jaket yang dibawanya tadi. Mira menyambutnya dengan senyum lesung pipit manis itu. Kenapa aku agak kesal? Rasanya ingin pulang, tapi bayangan puncak Lawu yang indah menari-nari di benakku. Ku tepis rasa cemburu ini. Mungkin saja Mira itu saudaranya atau teman atau siapa gitu. Aku mencoba berpikir positif.
"Yuk berangkat sekarang. Udah siang nih," ucap Roland memecah kekakuan.
"Nay, kamu sama aku ya pake motormu," kata Roland. Aku melirik Rian. Berharap Rian yang akan memboncengku.
"Iya Nay, kamu sama Roland ya, Mira gak bisa bawa motor. Biar aku bonceng dia," ujar Rian. Kenapa harus Rian yang boncengin Mira. Dia kan bisa sama Roland. Aku menggerutu dalam hati. Ingin menangis rasanya. Kami pun berangkat. Selama perjalanan aku hanya diam. Sepertinya Roland menangkap gelagat cemburu ku. Dia berusaha mencairkan suasana dengan mengajakku ngobrol. Aku hanya mengiyakan saja. Entah apa yang dia bicarakan.
***

Kandasnya Cinta Di Puncak Lawu
gambar: kitamuda.id

Tak lama akhirnya kami pun sampai. Kami akan mendaki lewat jalur Cemoro Sewu. Sebelum naik kami berkumpul di pos pertama. Ternyata ada 4 orang cowok teman Rian yang sudah menunggu. Entah siapa saja aku tak kenal. Suasana hatiku mulai buruk. Ku lihat Mira selalu di dekat Rian. Aku pun gak habis pikir, apa maksud Rian. Seolah-olah aku bukan pacarnya. Dia hanya peduli pada Mira. Katanya Mira baru pertama naik gunung. Bukakah aku juga sama? Hish kesal sekali rasanya. Tapi masih kutahan biar kekesalan itu gak tumpah. Katanya harus jaga sikap dan omongan kalo di alam bebas seperti ini. Sudah hampir maghrib tapi kami belum juga mulai naik. Entah apa yg ditunggu aku hanya ikut saja. Tampak Roland datang membawa nasi bungkus.
"Nih makan dulu biar kuat nanti sampai puncak," katanya sambil membagikan nasi bungkus.
Aku cuma memandangi nasi itu. Gak selera rasanya. Tiba-tiba Roland memgambil bungkusan nasi ditanganku. Membukanya lalu mulai menyuapiku. Aku agak kaget, tapi ku buka juga mulutku makan nasi dan ayam dari tangan Roland. "Udah, jangan cemberut terus," bisiknya. Aku hanya diam. Mengela nafas dalam. Berusaha menenangkan diri.
"Makanlah, biar kuat Nay, jauh lho perjalanan nanti," kata Roland.
"Kamu udah tau mas, Rian sama Mira?" tanyaku penasaran. Roland cuma tersenyum.
"Udah siap semua. Sekarang sudah jam 7 malam. Mari kita berdoa dulu sebelum mulai pendakian. Semoga lancar dan tepat pergantian tahun nanti kita sudah sampai puncak," salah seorang teman Rian memimpin doa. Kami pun mulai berangkat.
"Jalan pelan pelan aja ya, bimbing yang baru pertama naik," ujar teman Rian yang tadi memimpin doa. Joni namanya. Dan dia sudah 9 kali naik turun Lawu.
***

Ku lihat Rian menggandeng tangan Mira. Berjalan di depan ku. Roland masih tetap di belakangku. Roland yang paling tau perasaanku saat ini. Karena dia yang tau gimana perjuangan Rian untuk mendapatkan cintaku. Dan sekarang, aku gak ngerti apa yang terjadi saat ini. Ada apa dengan Rian. Siapa Mira yang tiba-tiba muncul. Kakiku lemas. Lututku bergetar. Tubuhku oleng. Roland menangkapku dan membantuku duduk. Belum setengah perjalanan rasanya tubuhku mati rasa. Dingin merasuk sampai ke tulang.
"Kamu gak papa Nay?" tanya Roland sambil membantu meluruskan kakiku.
"Kenapa Nayla?" Joni mengulurkan air mineral. Aku minum seteguk. "Bawa coklat atau gula gak?" ucap Joni pada Roland. "Ada mas," jawab Roland. Lalu dengan sigap dia memberikan sepotong coklat dari saku celananya padaku. Ku atur nafas perlahan. Lebih baik sekarang.
"Gimana Nayla, masih sanggup gak? Perjalan masih jauh," tanya Joni.
"Masih mas. Sebentar lagi saya lanjut nyusul yang lain," jawabku.
"Bener Nay?" tanya Roland meyakinkan. Aku hanya mengangguk.
"Ya sudah temani dia ya Land," kata Joni sambil menepuk bahu Roland. Lalu dia melanjutkan perjalanan untuk mengecek kondisi anggota yang lain. Aku masih duduk ditemani Roland.
"Kalo gak kuat balik aja Nay, aku temani," kata Roland.
"Gak papa mas, aku oke kok. Lagian mas Roland kan mau refreshing habis ngerjain skripsi. Masa belum sampai puncak udah balik lagi cuma nganter aku doang," jawabku. Roland hanya tersenyum. Tiba-tiba Rian datang. "Loh kok kamu balik lagi?" tanyaku kaget.
"Iya mau jemput kamu. Mira udah sampai pos, dia lagi istirahat," jawabnya. Kenapa dia ngomongin Mira. Siapa juga yang nanya. Haish, bete banget guweh.
"Ayok," Rian menarik tanganku. Menggandenku menyusuri jalan setapak yang makin nanjak. Roland mengikuti di belakang kami.
***

Hawa dingin makin menusuk tulang. Ku rapatkan jaketku, jam di tangan sudah menunjukkan pukul 11 malam.
"Sedikit lagi kita akan sampai di puncak. Kita istirahat dulu sebentar ya teman-teman," suara Joni memecah heningnya malam. Di sekitar kami sudah tidak ada lagi pos. Hanya tampak rumput ilalang dan gelapnya langit di hiasi kerlip bintang. Indahnya. Ku rebahkan tubuhku diatas rumput basah karena embun. Sudut mataku melihat Mira yang menyandarkan kepalanya dibahu Rian. Tak terasa pipiku hangat, buliran bening membasahinya. Ibu, aku rindu. Aku ingin pulang.
"Minum Nay," ucap Roland sambil menyodorkan botol air mineral ke arahku. Cepat-cepat ku hapus air mataku lalu menyambut botol itu. "Thanks mas," suaraku parau. Air muka Roland berubah. Seperti iba, atau apa, entahlah. Semua diam. Hanya suara angin yang berdesir di telingaku. Tiba-tiba bulu kudukku merinding. Jantungku berdegup semakin kencang. Aku mendekat ke arah Roland.
"Kenapa?" tanya Roland.
"Enggak," jawabku singkat. Ada perasaan takut yang menggelayutiku.
"Teman-teman, yuk kita lanjut. Jalan menuju puncak ini agak menanjak dan licin. Jadi hati-hati ya, saling menjaga dan tetap berdekatan," kata Joni. Diapun mulai berjalan paling depan. Di ikuti 3 cowok yang aku tak tahu siapa nama mereka, aku dan Roland, lalu paling belakang Rian dan Mira. Jalanan kali ini memang lebih licin ditambah gelapnya malam. Beberapa kali aku terpeleset. Dan tentu saja Roland yang memegangi tanganku. Entah apa yang ada dipikiran Rian. Cemburukah dia? Kurasa tidak. Karena dia sibuk menjaga cewek manis di sampingnya.
***

Kandasnya Cinta Di Puncak Lawu
gambar: jatengxplorenesia.co.id


Tak lama kemudian, akhirnya kami pun sampai di puncak, di iringi gemuruh kembang api tanda tahun telah berganti. Aku hanya tersenyum tipis. Ada rasa haru karena bisa berhasil sampai puncak. Tapi rasa marah semakin menyesaki dada ketika kulihat Rian memeluk Mira. Tak kuhiraukan anggota lain yang menumpahkan perasaan lega dengan berseru dan berpelukan satu sama lain. Terlihat semua bahagia, kecuali aku. Ada rasa sesal kenapa aku harus ikut kesini. Seharusnya aku tidak ikut. Air mataku meleleh. Aku terisak. Roland menepuk-nepuk bahuku.
"Aku mau pulang mas, aku ga kuat lagi," bisikku.
"Sabar Nay, besok kita pulang," jawab Roland.
Roland menghampiri Rian, lalu menariknya menjauh dari Mira. Entah apa yang mereka bicarakan. Terlihat mereka berdebat. Roland menahan diri agar tak semakin emosi. Lalu dia menghampiriku lagi. Duduk dan menghela nafas dalam.
Setelah semua puas berada di puncak, Joni menginstruksikan kepada kami untuk segera turun. Karena tentu saja udara dingin semakin menjadi merasuki tubuh kami. Kami pun berbaris dan mulai menuruni puncak. Jam menunjukkan pukul 1 dini hari. Gelap dan hanya senter yang memandu jalan kami. Aku tak bisa melihat apa-apa. Hanya jalan setapak yang aku lewati. Rumput dan ilalang pun seperti menghilang. Roland berjalan dibelakangku sambil memegang bahuku. Aku memegang jaket cowok di depanku. Kami berjalan satu-satu karena memang jalan hanya setapak kecil ditambah lagi penerangan yang minim. Lewat 1 jami kami menuruni puncak, tapi tak kunjung sampai. Kami seperti berputar-putar saja. Joni terlihat bingung. Dia mengangkat satu tangan tanda menyuruh anggotanya berhenti. Terlihat di memejamkan mata lalu menghela nafas panjang. Jantungku semakin berdebar. Aku tak berani melihat sekeliling dan hanya bisa menunduk. Sejurus kemudan Joni membuka mata lalu mengajak kami kembali melanjutkan perjalanan. Tak lama, kami pun sampai di area orang-orang mendirikan tenda untuk bermalam. Aku menghela nafas lega, tapi rasa takut masih membuatku merinding.
***

Kandasnya Cinta Di Puncak Lawu
gambar: wolipop.detik.com


"Langsung kita dirikan tenda ya," Joni gak banyak bicara. Yang lain pun hanya diam dan mengikuti perintah Joni. Aku duduk di sebela Mira. Dia tersenyum padaku. Aku tak membalas. Bibirku terasa beku. Entah karena udara yang dingin atau rasa cemburu yang membuatnya kaku.
Tak lama tenda sudah berdiri. Satu tenda dengan ukuran lumayan besar. Muat untuk kami ber-8. Semua mulai masuk kedalam tenda. Karena udara di luar semakin menggila. Ketika aku masuk, tiba-tiba Joni memegang bahuku. "Bentar Nay," ujarnya dengan mimik wajah setengah kaget. Dia memegang kepalaku, memejamkan matanya, jantungku berdesir. "Kenapa mas Jon?" tanyaku ketakutan. Ku pegang lengan Joni erat, setengah meremasnya karena takut. Yang lain hanya diam melihat kami. Tak ada yang berani bicara. Ada apa ini, aku semakin takut. Lalu Joni membuka matanya dan mengusap wajahku.
"Udah gak papa, kasih minum Land," kata Joni kemudian pada Roland.
Roland memberiku minum. Tubuhku terasa lemas. "Kenapa mas?" tanyaku lagi.
"Udah gak papa kok. Gak usah mikir yang macem-macem ya. Tenangin pikirannya," kata Joni yang semakin membuatku bingung.
"Tadi waktu masuk ke tenda ada yang ikutin kamu. Rambut kamu kan pendek, tapi aku lihat rambutmu jadi panjang sepinggang, dan warnanya putih," jelas Joni. Aku ingin berteriak. Ku pegang tangan Roland erat. Terlihat jelas bahwa aku ketakutan.
"Tapi udah pergi kok dia. Udah tenang aja," lanjut Joni.
"Makan dong, ada yang bawa roti atau apa gitu? Bikin mie instant yok," Joni berusaha mengalihkan perhatian kami pada sosok yang berambut putih tadi. Karena suasana tenda lumayan dingin.
"Ayoklah masak mie instant aja sama bikin kopi," kata Jupri. Cowok jangkung berambut keriting itu ikut memecah keheningan. Sementara aku tetap ingin berbaring di dalam tenda. Roland menemaniku. Ada Rian juga Mira disana.
"Kamu gak papa Nay?" tiba-tiba Rian bertanya. Aku hanya mengangguk. Kemana aja dia selama pendakian ini. Baru sekarang peduli? Dalam tenda hanya ada kami berempat. Mungkin ini saat yang tepat untuk bertanya meminta penjelasan pada Rian tentang sikapnya. Aku gak kuat lagi menahannya sampai turun esok pagi.
"Rian," aku berusaha memulai pembicaraan.
"Apa maksud kamu? Siapa sebenarnya cewek itu?" tanyaku sambil menunjuk Mira. Rian dan Mira terlihat terkejut dengan pertanyaanku.
"Aku tunangan Rian, Nay," jawab Mira. Air mataku tumpah. Terjawab sudah semuanya. Isakku semakin keras. Tak bisa lagi kubendung semuanya.
"Tega kamu Rian," ucapku. Setengah berlari aku keluar tenda.
"Nay tunggu, Nayla!" Roland berusaha mencegahku. Rian hanya terpaku. Ada rasa bersalah dalam hatinya.
Aku berlari. Aku ingin pulang. Tak kuhiraukan teriakan Roland. Ku susuri jalan setapak yang gelap. Aku terus berlari. Tak kudengar lagi suara Roland. Kakiku lemas. Aku terjatuh. Ku lihat sekeliling gelap. Tiba-tiba seorang perempuan cantik berambut panjang warna putih muncul dari balik ilalang. Dia memegang tanganku lalu membawaku pergi. Lidahku kelu, tak mampu berteriak. Badanku lemas diseret perempuan itu. Lalu pandanganku gelap.
***

Pukul 6 pagi. Matahari mulai muncul. Udara hangat. Roland, Joni dan anggota yang lain masih panik mencari Nayla. Joni mulai menghubungi pos pusat untuk meminta bantuan.
"Ini semua gara-gara elo Rian!" kata Roland marah. "Lagian ngapain elo ngajak Mira padahal elo ngajak Nayla juga?!"
"Gua salah Land," Rian pucat. Tampak jelas kekhawatiran di wajahnya. Mira menangis.
***

Hari mulai sore. Nayla belum juga ditemukan. Para petugas Tim SAR sudah mulai lelah. Ketua Tim SAR mengumumkan menyudahi pencarian hari itu.
"Tapi Nayla belum ketemu pak! Tolong jangan berhenti dulu pak, cari Nayla pak!" ucap Rian setengah berteriak. Wajahnya memerah. Mira berusaha menenangkannya. Roland hanya tertunduk lesu.
"Sabar Rian, kita sudah berusaha, besok kita lanjutin lagi pencarian," kata Joni. Sebagai pemimpin dia tampak merasa bersalah. Rian terisak. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menunggu esok hari.
***

Sebulan setelah kejadian itu, Rian ditemani Roland pergi ke rumah Nayla.
"Assalamualaikum, bu," Roland mengucap salam. "Wa'alaikumsalam," seorang perempuan muda berkacamata menyahut dari dalam rumah. Saat dilihatnya siapa tamu yang datang air mukanya berubah penuh kebencian.
"Mau apa lagi kamu kesini?!" ucapnya dengan nada marah.
"Kak Tasya, aku mau minta maaf sama ibu," jawab Rian sambil tertunduk. Tak berani ia menatap kakak Nayla itu.
"Udah ga ada artinya lagi Rian. Adik aku udah ga ada. Bahkan jenazahnya gak ditemukan. Sekarang ibu depresi berat. Kata maaf kamu gak bisa mengembalikan semuanya. Mending sekarang kamu pergi dari sini, dan jangan pernah kesini lagi!" bentak Tasya. Lalu dibantingnya pintu di depan muka Rian. Braakk!!
"Udah bro, sabar kita balik aja," ujar Roland sambil menepuk bahu Rian. Dengan perasaan hampa Rian mengikuti Roland masuk ke dalam mobil. Pergi meninggalkan rumah Nayla. "Nay, kamu dimana? Maafin aku," bisik Rian. Buliran bening mengalir di pipinya.
***

3 bulan kemudian.
Terlihat Rian dan Mira duduk berdampingan di pelaminan. Mira sangat menawan mengenakan gaun hijau muda. Dia terlihat sangat bahagia. Tapi sebaliknya dengan Rian. Senyum di bibirnya tak mampu menutupi kesedihan di matanya. Sesekali dia menyeka sudut matanya. Menyadari hal itu, Mira menyenggol bahu suaminya itu sambil berbisik, "Kamu kenapa sih sayang, tolong dong jangan bikin pernikahan kita kacau."
"Hemmh," Rian hanya menghela nafas dalam.
"Kamu pasti masih kepikiran Nayla kan? Dia itu udah ga ada Rian, jadi tolong gak perlu kamu inget-inget lagi," lanjut Mira. Tiba-tiba Rian berdiri. Dengan wajah memerah menahan marah, Rian berkata pada Mira, "Beraninya kamu bilang begitu Mir! Nayla hilang itu karena kamu! Buat apa saat itu kamu bilang ke Nayla kalo kamu adalah tunangan aku?!" Suasana pesta mendadak hening. Semua mata tamu tertuju pada pasangan pengantin di pelaminan. "Rian, apa-apaan sih kamu. Jangan bikin malu dong, duduk!" ucap Mira dengan suara agak sedikit ditahan.
"Enggak Mir, harusnya aku bisa nahan dia waktu itu. Harusnya kamu gak ikut ke Lawu waktu itu Mir," lanjut Rian. Kini air matanya tak terbendung lagi.
"Tapi emang bener kamu tunangan aku kan?" jawab Mira berusaha membela diri.
"Aku tunangan sama kamu karena mama aku Mir. Kalo bukan karena perjodohan orang tua kita ini, pasti sekarang aku sudah menikah dan hidup bahagia bersama Nayla," ujar Rian. Lalu dia pergi meninggalkan Mira yang terisak, terduduk lemas di kursi pelaminan. Rian menyetir mobil, melesat meninggalkan gedung pernikahannya.
Semua tamu mulai kasak kusuk, orang tua Rian dan Mira syok. Amburadul sudah pernikahan Rian dan Mira. Di sudut ruangan terlihat perempuan cantik berambut panjang warna putih tersenyum sinis.

*END*
zafinsyurga
4iinch
999999999
999999999 dan 9 lainnya memberi reputasi
10
1.1K
23
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan