Kaskus

Entertainment

alunaziyaAvatar border
TS
alunaziya
PESAN DARI 'PUNCAK SURONO'
PESAN DARI 'PUNCAK SURONO'

PESAN MISTERIUS DARI 'PUNCAK SURONO'

Kuputuskan untuk ikut meski belum pernah ada pengalaman mendaki gunung sebelumnya. Enak saja mereka berencana pergi bersama Rani, cewek centil dan populer di kampus yang akhir-akhir ini terlihat caper sama Ali, pacarku.

"Kamu yakin?" tanya Ali saat kami turun dari mobil. Dia tampak cemas karena dua hari lalu aku sakit.

"Masa mau balik lagi? Tega, ih!" sungutku seraya berlalu meninggalkannya.

PESAN DARI 'PUNCAK SURONO'

Jelas-jelas kita sudah sampai di Purbalingga dan bersiap untuk naik ke lokasi, Ali masih belum percaya kalau aku akan mengikutinya. Hmm ... jangan-jangan ada udang di balik batu. Awas saja! Tak kan kubiarkan gadis cantik itu menebar jala cintanya di atas Gunung Slamet yang menjadi tujuan kami.

Setelah briefing di pos awal serta mengecek kelengkapan dan sedikit pengarahan, kami pun memulai pendakian. Tidak banyak barang yang kubawa dalam ransel, hanya beberapa makanan ringan dan selimut tebal. Bawaan Ali justru lebih banyak, begitu juga yang lain. Kami pergi ber-enam dan berpasangan termasuk Rani yang tampak tak senang melihat keberadaanku.

"Ingat-ingat pesanku, Yang. Kamu jangan sembarangan nanti di sana. Naik gunung tidak semudah yang kamu pikirkan," ucap Ali yang berjalan di belakangku.

"Baru empat kali kamu ngomong hal yang sama," ketusku sambil terus mengikuti yang lain. Tidak nyaman rasanya disepelein begini, apalagi sama pacar sendiri. "Kamu selalu begini kalau lagi naik, ya?" tanyaku agak keras.

"Maksud kamu?" Terdengar dia balik bertanya seolah tak mengerti. Dasar! Cowok berkacamata itu malah tersenyum saat aku menghentikan langkah dan menoleh, menatapnya sewot. "Iya ... iya, Ulin sayang. Jangan ngambekan gitu, ah. Kita udah jauh tertinggal, nih. Ayo!" ajaknya lagi seraya mengulurkan tangan.

Kami kembali berjalan karena matahari sudah lumayan terik. Rute yang kami lalui adalah jalur Bambangan, yaitu jalur paling singkat untuk mencapai puncak Gunung Slamet. Prediksi awal, sebelum malam kami sudah sampai di atas untuk mendirikan tenda dan menyaksikan matahari terbit dari ketinggian esok hari. Ah ... tak bisa kubayangkan betapa romantisnya suasana itu, bersama orang terkasih pula.

Meski pernah beberapa kali ikut kegiatan mencari jejak dan menjelajah hutan kota, tapi medannya tidak seberat sekarang. Harus menapaki jalan yang tak rata dan sesekali harus saling mengulurkan tangan, bahu membahu saat melalui jalanan cukup terjal. Diam-diam terselip rasa sesal dalam hati. "Capek!" keluhku lirih.

PESAN DARI 'PUNCAK SURONO'

Oh, my God! Apa ini? Seketika tenggorokan tercekat saat melihat dua buah pohon besar di depan kami. Entah kenapa ada perasaan gamang saat memperhatikan sekeliling yang lengang. Ali menahan langkah saat jemariku mencengkeram lengannya dengan kuat.

"Bentar, Yang. Aku ... pingin pipis," bisikku dengan tatapan memohon. Dia tampak diam lalu menoleh ke arah yang lain, telah jauh mendahului kami. "Sebentar ...." Lirih, aku merengek lagi.

"Kita bisa tertinggal jauh, Sayang. Jalan sebentar lagi, ya?" bujuknya.

"Aaah ...? Aku udah nggak tahan." Hampir saja aku menangis kalau saja cowok jangkung itu tidak mengangguk kemudian membimbing ke rerimbunan semak untuk buang air kecil. Dia tidak lupa menyerahkan satu botol air mineral dan mengambil alih tas ransel dari punggung kemudian berbalik ke arah lain, membelakangiku.

Setelah merasa nyaman dan mencuci tangan, aku kembali mengambil tas ransel dan berjalan mengikuti Ali yang mendahului. Mata ini sempat memerhatikan sekeliling yang entah kenapa, seperti berkabut. Ada sebuah papan kecil di sebuah pohon, 'Pos Samarantu'.

PESAN DARI 'PUNCAK SURONO'

"Kenapa maksa ikut, sih. Kalau mamamu tahu, bisa berabe aku," ucap Ali agak keras, mungkin agar terdengar jelas olehku.

"Jadi kamu nyesel ngajakin aku?"

"Bukan begitu, Ulin. Aku sih malah seneng kamu nemenin. Cuma nggak enak aja sama yang lain kalau perjalanan ini sedikit terhambat karena sikap kamu ini."

"Maksud kamu apa? Aku tidak minta gendong, jalan sendiri juga. Jahat banget, sih. Kenapa baru bilang sekarang?" Kesal. Aku berbalik dan kembali berjalan turun dengan menahan emosi.

"Ulin ...!" Ali memanggil. Aku tak perduli dan terus berjalan menyusuri rute yang kami lalui sebelumnya. "Tunggu, Yang. Ulin ...." Dia merajuk lagi, kali ini mengejarku.

"Aku minta pipis sekali aja kamu ngomongnya kemana-mana. Bilang aja dari awal kalau kamu keberatan, biar bisa deket-deket terus sama cewek paling cantik di kampus. Iya, kan? Kamu pikir aku nggak tahu kalau diem-diem kalian sering chatingan? Bisa aja alesannya. Dasar!"

"Ulin ...!" Dia terus memanggil. Enggan rasanya menoleh kalau saja tidak merasa aneh dengan apa yang kini terlihat di depanku. Bukan semak belukar atau rerimbunan pohon, tapi ... jalanan rata. "Ulin ...." Panggilan itu semakin terdengar sayup.

"Ali ...." Bibir ini tercekat saat tak melihat keberadaan Ali di belakangku. Di mana dia? "Sayang ... kamu di mana? Jangan bercanda, ah!" teriakku. Hening. Kupandang lagi sekeliling, berbeda dengan apa yang terlihat sebelumnya. Aku berdiri di tengah jalan dengan bulak persawahan di sisi kiri dan kanan. "Ali ...!" teriakku lagi. Tetap hening.

Untuk beberapa saat, aku terdiam. Jalan sepanjang ini dan tidak ada siapa-siapa? Bahkan tak satu kendaraan pun yang terlihat dari ujung ke ujung. Apa yang terjadi? Ali tidak ada dan semuanya menghilang. Tidak ada pilihan selain menyusuri jalan itu dengan perasaan tak karuan. Hal terakhir yang kuingat adalah pohon besar bertuliskan 'Pos Samarantu'.

Entah sudah berapa lama aku berjalan bahkan setengah berlari, tapi rasanya ... jalan ini tak berujung. Suara pun seakan habis karena lelah berteriak memanggil Ali dan yang lain. Aku tak mengerti kenapa tersesat sendirian di tempat ini. Di mana aku?

"Ulin!" Ada yang Cumiik.

Brukk!!
Sekonyong-konyong badan ini ambruk saat sepasang tangan tiba-tiba menarik tubuhku hingga hempas di tanah. Pandangan kabur dan mendadak gelap, hanya mendengar suara bersahutan memanggil namaku.

Panas! Aroma minyak angin membuatku tak nyaman. Aku benci bau ini!

"Uhh!!" sungutku seraya menghalau sesuatu dari wajah.

"Kamu sudah sadar?" Suara itu terdengar dekat. Ali dan yang lain tampak mengelilingiku yang terrbaring di pangkuan Rani. Seketika bangkit dan menatap mereka satu per satu.

"Di mana ini? Dari mana saja kalian?!" teriakku kemudian dengan menahan tangis.

"Kamu yang dari mana? Hampir empat jam kami berpencar mencarimu, tahu?!" Suara itu datang dari arah lain, Kak Danang pimpinan rombongan kami. Wajah cowok berkumis itu sedikit garang menatapku lalu ke arah Ali yang berada di sebelahnya. "Sejak awal aku sudah ingatkan. Jaga pacarmu yang manja ini baik-baik. Kita ke sini bukan untuk main-main, ngerti?"

Hening.

"Trus gimana sekarang, Kak?" tanya Rani seraya membantuku duduk. "Lanjut apa gimana? Hari sudah mulai gelap."

"Lanjut aja! Tidak mungkin kita buat tenda di sini. Bahaya," gumamnya seraya membenahi ranselnya. Begitu pun yang lain.

"Masih kuat jalan?" bisik Ali saat mengambil alih ransel yang seharusnya kugendong. Aku mengangguk, padahal kedua kaki ini terasa kebas dan pegal bukan main. "Pelan-pelan saja jalannya. Kamu jalan di depan," bisiknya lagi.

Setelah minum dan memastikan kondisiku sudah lebih baik, kami kembali melanjutkan perjalanan. Ada rasa bersalah, tapi juga tak bisa memikirkan apa yang sebenarnya terjadi beberapa saat yang lalu.

Ali tak banyak bertanya, dia hanya terus membimbingku dengan sesekali memapah dan menguatkan ketika aku mulai kelelahan hampir menangis. "Sebentar lagi sampai, Yang." Kalimat itu yang terus dia bisikkan di sela senyumnya yang teduh.

PESAN DARI 'PUNCAK SURONO'

Benar saja, akhirnya bisa bernapas lega saat kami kemudian sampai di puncak. Setidaknya itu yang mereka katakan, karena bagiku ini adalah sebuah tanah lapang dengan penerangan yang temaram oleh sinar bulan yang sedikit menyembul dari balik awan. Dingin.

"Kita buat tenda di sini!" Kak Danang memberi instruksi sementara dua cewek yang lain mulai menyiapkan perbekalan. Aku hanya duduk meluruskan kaki yang telah bengkak dan memerhatikan Ali yang juga membongkar ransel, mendirikan tenda kecil untuk beristirahat.

"Tidur saja. Pakai selimutmu. Dingin," ucap Ali singkat. Marahkah? Ah ... rasa lelah ini membuatku mengesampingkan semua dan lebih memilih untuk memejamkan mata dengan menggunakan ransel sebagai bantal.

Hawa dingin kian menusuk tulang. Seketat apapun merapatkan selimut, tetap saja tak bisa mengusir dingin yang semakin menggigil. Usapan lembut di kening membuatku berusaha membuka mata meski terasa berat.

"Udah baikan?" tanya Ali dengan tatapan cemas. Aku hanya mengerjap, tubuh seakan tak bisa bergerak, mati rasa. "Ini yang kutakutkan. Seharusnya tidak mengajakmu, Yang. Maaf, ya?" bisiknya sambil membalik kain kompres di dahiku.

"Maaf sudah merepotkan kalian," gumamku parau. Ada rasa hangat yang meleleh di sudut mata ini, tapi segera diusap olehnya.

"Sstt ... jangan banyak bicara. Tidur saja. Besok kita bisa lihat matahari terbit dan pemandangan indah dari sini. Jangan sakit, ya?" bisiknya lagi, juga kecupan hangat di kening saat aku mulai memejamkan mata kembali.

Ada nyala api. Aku tidak salah lihat dan memang ada api unggun kecil di sana, di luar tenda. Sepertinya hanya Kak Danang yang terjaga dan masih duduk menjaga api. Perlahan bangkit dengan hati-hati agar tidak membangunkan Ali yang tertidur di dekat kakiku. Sepi. Terlihat yang lain juga masih tertidur di dalam tenda mereka.

"Kakak tidak tidur?" tanyaku saat telah berada di dekatnya. Tidak ada jawaban, dia hanya menolehku sebentar dan tersenyum, lalu kembali menampah ranting kecil ke dalam api. "Boleh ... duduk di sini?" tanyaku.

Dia hanya mengangguk. Aku pun duduk di dekatnya dengan tanpa alas, ikut menikmati hangatnya api yang menyala meski tak begitu besar. "Maaf sudah merepotkan kalian," ucapku setelah mengumpulkan keberanian.

Tetap tidak ada jawaban, kecuali deheman kecil disambung dengan senandung lirih yang terdengar lebih mirip gumaman. Aku tak begitu familiar dengan nadanya. Sepertinya dia masih marah soal kecerobohanku beberapa jam yang lalu. "Kenapa kamu memaksakan diri untuk ikut?" tanyanya tiba-tiba, tanpa menoleh.

"Eh? Aku ... ingin melihat pagi dari sini," jawabku lirih.

"Orang-orang sepertimu kadang mengabaikan norma yang berlaku di daerah sini. Seenaknya mengobrak-abrik alam dan mengotori gunung dengan sampah-sampah yang kalian bawa dari bawah. Tak punya adab ...." Kenapa dia meruntuk? Orang ini tidak sedang memarahiku, kan? "Besok kalau turun, bawa juga sampah-sampah itu bersama kalian. Jangan merusak kedamaian yang kian terusik makin harinya. Ngerti?" ucapnya lagi. Kali ini menoleh dan menatapku dengan dingin.

Bulu kudukku meremang. Entah kenapa tatapan mata Kak Danang terasa mengerikan. Seketika megalihkan pandangan dan kembali merasa aneh dengan suara riuh yang terdengar lamat-lamat dari arah bawah. Kadang hilang, sesekali terdengar jelas suara musik ... gamelan? Ah! Aku pasti salah dengar.

"Kakak dengar itu?" tanyaku tanpa sadar.

"Ini hari pasar. Ada pertunjukan wayang di sana," gumamnya.

Wayang? Aku hanya mengernyitkan kening, mencoba memerhatikan sekeliling yang hampir semua terlihat gelap. Apa mungkin di bawah sana ada perkampungan? Kenapa kami tidak melewatinya saat naik sore tadi?

"Masuklah! Sebentar lagi pagi," ucapnya lagi. Aku hanya mengangguk dan segera berdiri tanpa lagi bertanya. Agaknya suasana hati Kak Danang sedang tidak baik.

"Selamat malam, Kak." Aku berpamitan saat meninggalkannya dan masuk kembali ke dalam tenda. Meringkuk di bawah selimut yang menutupi seluruh tubuh.

PESAN DARI 'PUNCAK SURONO'

Ali membangunkanku menjelang pagi, menyaksikan matahari terbit dan membiaskan sinar terang yang menampilkan eksotiknya pemandangan dari atas ketinggian. Luar biasa indah. Untuk beberapa saat kami menikmati ciptaan-Nya dengan takjub.

Tak menunggu lama, kami pun berkemas dan mulai turun untuk kembali pulang. Ali bahkan tak berhenti tersenyum saat melihatku memunguti beberapa sampah plastik bekas mie instan dan botol air mineral kosong yang banyak berserakan di sembarang tempat, memasukkannya ke dalam kantung kresek hitam besar yang juga kutemukan di sana.

"Mau diapakan?" tanya Kak Danang saat dia mendekat.

"Dibawa turun. Kakak kan bilang semalam," jawabku. Dia tampak diam, menatapku dengan sorot aneh kemudian berlalu. "Bagus," gumamnya.

"Ayo!" Ali melambai memanggilku yang langsung berlari mengikutinya.

Akhirnya kami turun tanpa aral dan halangan berarti. Tidak seberat saat mendaki tempo hari. Sesekali berseloroh dan bahkan bernyanyi bersama dengan membawa beberapa kantung berisi sampah yang kami pungut selama perjalanan.
--
Kami telah kembali berada di mobil dan bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing. Rani terlihat lebih akrab dan tak sungkan mengajakku bicara. Pun saat kami harus duduk bersebelahan.

"Akhirnya ... kita berhasil," ucapnya tersenyum. "Meskipun empat jam sempat stress mencari orang yang ternyata muterin pohon."

Mereka tergelak, menatapku berbarengan. Yah ... menurut mereka, aku hanya berjalan setengah berlari memutari sebuah pohon. Itu pun hanya satu orang yang kemudian melihatku.

"Makasih nasehatnya semalam, Kak."

"Ya?" tanya Kak Danang menaikkan alisnya menatapku. "Nasehat apa?" lanjutnya.

Aku terdiam, juga menatap yang lain bergantian. Entah bagaimana menjelaskan perbincangan kami semalam di luar tenda.

"Jangan aneh-aneh, deh. Kamu tahu nggak, Lin? Konon, ada seorang pendaki bernama Surono yang jatuh ke jurang. Nah, itulah kenapa puncak Gunung Slamet itu diberi nama Puncak Surono. Itu sebagai tanda untuk menghormatinya sekaligus menjadi pengingat agar pendaki lain lebih berhati-hati," Rani lagi yang menjelaskan.

Aku terdiam.
Lalu ... siapa yang bicara padaku semalam kalau bukan Kak Danang?

Mobil melaju kencang.
---

Selesai

Cerita:fiksi
Sumber gambar:google dan backpaperjakarta.com
Diubah oleh alunaziya 01-10-2019 05:44
zafinsyurgaAvatar border
4iinchAvatar border
jiyanqAvatar border
jiyanq dan 22 lainnya memberi reputasi
23
2.5K
51
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan