ginanisa7Avatar border
TS
ginanisa7
Kabut Berdimensi

Sinar mentari ufuk timur membangunkanku. Mendorongku untuk menyapa senyumannya. Mencoba mengajakku untuk bercengkerama dengan kicauan burung yang sudah sejak pagi saling mengisi ruang semesta dengan decitan berirama. Menemani terbitnya sang induk penghuni Bimasakti. Menebar taburan semangat untuk seisi bumi. Memaksaku yang masih berat terbangun, untuk bergerak menjalankan rencana liburanku.

Tentunya, Aku tidak ingin terlambat untuk hari petualangan ini. Hanya tinggal bersiap diri. Karena sudah semalaman suntuk, Aku menyusun dan mempersiapkan segala perlengkapanku. Tidak akan Aku malas untuk melanglang buana setiap pelosok tempat di luar sana.

Bertualang itu jiwaku. Aku selalu haus pengalaman. Menjelajahi setiap detail suatu tempat. Menapaki luasnya belahan dunia. Membangun setiap pengalaman untuk menemukan hal baru. Gunung bagai istana hijau, di mana Aku dapat bebas untuk berteriak, lari mengejar suara alam, untuk memenuhi kepuasan diriku dalam bertualang. Meski terkadang, tidak semua orang berani untuk datang. Karena mereka takut pada suatu hal yang tidak nyata, suatu hal mistis yang mereka percayai, dan Aku tidak percaya dengan semua itu. Dengan apa yang mereka sebut dengan hantu.

Aku hanya tinggal menunggu dua orang teman serasiku. Teman satu kampus yang memiliki kecocokan denganku, dan tentunya pemberani. Ryan, seorang teman laki-laki, sahabatku, yang selalu berargumentasi tentang sebuah petualangan. Mendeskripsikan setiap tempat yang ia datangi, walau tempat itu serumit benua Eropa. Mempresentasikan segala pengalaman yang ia alami.

Menaklukkan alam itu bagai prinsip hidup yang tidak pernah nyata. Karena Aku dan Ryan hanya pencinta alam, penikmat semesta, bukan penakluk jagat raya.
Bahkan yang ada, semestalah yang menaklukkan hati kami untuk terus menapaki bumi ini, tanpa jejak yang terbatas. Walau begitu, prinsip hidupnya masih terus bertahan dan melekat dalam jiwa seorang Ryan.

Tetapi di antara persamaan kami, Ryan berbeda pendapat denganku tentang hantu. Menurutnya, semua itu ada, baik yang nyata maupun yang kasat mata. Aku pun sering mendengarnya bercerita mengenai gangguan yang ia dapatkan saat bertualang. Tetapi, Aku sama sekali tidak percaya semua itu.

Tidak banyak wanita yang berani menerobos ketakutannya untuk menjelajahi dunia luar. Hanya ada satu yang kukenal dari sekian banyak teman wanitaku. Ia adalah Laura. Gadis lemah lembut yang sangat hebat dan pemberani. Ia pernah menyelamatkan salah seorang teman kampusku yang tersesat di hutan ketika tengah berkemah. Seorang diri, tengah malam, tanpa teman. Tetapi, Aku sama sekali tidak melihat raut ketakutan di perangainya saat ia kembali. Itulah mengapa Aku dan Ryan sangat terhormat bisa berteman dengannya.

Liburan panjang akhir semester, membuatku seperti diberi kesempatan untuk lebih banyak menemui alam, menyapanya dengan diriku ada di sana.

“Ben, menurutku karena kita memiliki waktu berlibur yang lebih lama, apa tidak sebaiknya kita mencoba berkemah ke gunung?” Tanya Ryan mengeluarkan pendapatnya.

“Iya juga. Aku sih ingin ke gunung di daerah timur itu loh yang banyak dibicarakan orang-orang.” Sahut Laura menambahkan.
“Ya Aku sih sangat setuju. Ke mana pun, asal ke alam bebas, Aku pasti ikut.” Ujarku penuh semangat.
“Tapi, bukannya gunung itu mistis ya? Banyak orang yang datang mendapat gangguan. Aku sering mendengarnya dari orang-orang yang sudah pernah mengunjunginya.” Jelas Ryan terlihat ragu.
“Ya ampun, mereka hanya mencoba menakuti kita yang belum pernah ke sana.” Timpalku membantahnya.
“Oh sepertinya kamu takut hantu ya Ryan? Hahaha.” Tambah Laura mencoba menghibur diri.

Aku pun menyetujui rencana itu. Kami akan pergi ke sana. Tempatku, istanaku. Rasanya sudah tidak sabar ingin segera berada di sana. Hari itu, hari liburan pertama, kami pergi ke sana.

Melalui perjalanan yang melelahkan, kami pun sampai di sana. Gunung yang menjulang tinggi itu seperti menyambutku. Lekukan bukit di kaki gunung bagai mengulurkan tangan agar Aku cepat menguliknya. Batang tinggi berdaun, bagai para pemimpin yang berjajar menunggu setiap tamu alam yang datang. Suara angin bak iringan tarian perayaan. Aku menginjakkan langkahku pada tanah berliuk ini.


Sumber

Ya, Gunung Semeru. Sebuah gunung berapi kerucut di Jawa Timur. Salah satu gunung yang sangat ingin kudaki. Gunung tertinggi di Pulau Jawa, dengan puncaknya Mahameru. Ketinggian 3.676 meter dari permukaan laut tak membuatku ciut nyali.

Membantu Laura untuk turun dari mobil Jeep yang terlalu tinggi untuknya. Mengambil segala barang bawaan yang sudah diturunkan Ryan.

“Mas Beni, Mas Ryan, dan Mbak Laura kita sudah sampai. Kalian tinggal menyusuri jalur ini. Nanti, kalian akan sampai di sebuah perkemahan pendaki yang sudah sejak kemarin ada di sini, dan kalian bisa mendirikan tenda di sana. Besok saya akan kembali untuk menjemput kalian di tempat ini.” Jelas Pak Warjo, bapak pengantar kami.
“Baik Pak. Terima kasih atas bantuannya.” Ucapku sambil berjabat tangan.
“Sama-sama, itu memang tugas saya. Oh, untung saya ingat!”
“Kenapa Pak?” Tanya Ryan penasaran.
“Nanti, jika hari sudah sore, dan kalian melihat kabut tebal di sebelah utara. Jangan masuk ke dalamnya, cukup melewatinya saja, dan kalian jangan berpikir yang aneh-aneh!” Jelas Pak Warjo pelan, penuh misteri.
“Loh memangnya kenapa? Itu kan hanya kabut biasa.” Spontan, Aku mengeluarkan kata-kata itu.
“Lebih baik, ikuti saja pesan saya!” Tegas Pak Warjo sambil menepuk pundakku dan bersiap menaiki mobil Jeep untuk kembali.
“Baik Pak, maafkan teman saya ini.” Sahut Laura memperbaiki kesalahanku.

Kami mulai menyusuri jalan yang selalu menanjak itu. Sambil sesekali berhenti untuk berswafoto dengan latar yang tentunya hijau. Terkadang, untuk mengisi kekosongan saat perjalanan, Aku melihat foto-foto yang tadi kami ambil. Dan...

“Hey apa ini?” Ucapku terkejut dengan apa yang Aku lihat.
“Kenapa Ben?” Tanya Ryan polos.
“Coba Aku lihat!” Pinta Laura mengambil ponselku.
“Terlihat kan?” Aku mencoba meyakini mereka.
“Iya! Seperti ada seseorang yang lewat di belakang kita.” Ujar Ryan sebari terus meneliti.
“Iya benar. Tapi, ini tidak terlalu jelas apakah seorang laki-laki atau perempuan.” Tambah Laura mengernyitkan dahi.
“Tapi, tidak mungkin ada seseorang yang lewat. Tadi kita berfoto di pinggir jurang.” Tangkisku tak percaya.
“Iya juga. Ah, mungkin itu hanya hewan terbang yang lewat.” Kata Laura menenangkan diri.
“Mungkin.” Ryan mengakhiri percakapan kami tentang hal itu.

Setelah satu jam di perjalanan, kami sampai di bumi perkemahan. Menyimpan barang-barang kami, dan pergi lagi untuk bertegur sapa dengan teman alamiku. Aku mengajak Ryan dan Laura ke arah puncak gunung. Suhu dingin mulai menusuk tulangku pada pagi menjelang siang itu. Tidak ada batas waktu bagi kami untuk menikmati anugerah Tuhan itu.

“Aaaaaa” Teriakan itu membuatku terhenti dan menoleh cepat. Mencoba mencari tahu asal suara itu. Tetapi, tidak ada siapa pun. Hanya ada kami di antara pohon-pohon ini.

“Kalian dengar itu?” Tanyaku agak waswas.
“Dengar apa? Aku tidak mendengar apa pun.” Jawab Ryan kebingungan.
“Iya, kenapa sih Ben? Ayo jalan lagi!” Ajak Laura dengan senyuman kecil.

Aku hanya terpaku pada diriku sendiri. Bingung, mengapa hanya Aku yang mendengar teriakan jelas itu? Apa Aku bersugesti? Tetapi, Aku tidak pernah sekhayal ini. Ini terlalu nyata untuk khayalan seseorang yang tidak percaya hantu. Jika itu benar-benar seorang wanita, mau apa seorang diri di tengah hutan di gunung. Atau bisa jadi itu suara salah satu pendaki di sini. Apa ia membutuhkan bantuan? Tapi, benar-benar tidak ada siapa pun, sedangkan suara itu jelas-jelas sangat dekat. Aku benar-benar tidak yakin itu seorang wanita sungguhan. Tapi, Aku juga tidak percaya hantu. Ah entahlah.

Hari mulai petang, Aku memutuskan untuk mengajak dua orang temanku yang sedang memperebutkan kamera untuk kembali ke perkemahan. Tetapi, karena tidak ada yang mau mengalah, kamera itu terlempar jauh ke belakang pohon besar di tanjakan yang mengarah ke puncak. Mau tidak mau, Aku harus membantu mereka mencari kamera itu. Fokus kami hanya pada kamera itu. Tanpa menyadari keadaan sekitar yang hampir malam, dan parahnya...

“Tunggu! Kalian sadar tidak?” Tanyaku dengan kekhawatiran.
“Ya, Aku sadar ini sudah malam.” Ryan menjawab sesederhana itu dan diiyakan oleh Laura.
“Bukan, kalian ingat pesan bapak itu?” Aku memberikan kode yang kuharap langsung disadari mereka.
“Oh tidak! Kita sudah memasuki kabut ini.” Laura sangat terkejut menyadari itu.
“Gawat! Lalu kita harus bagaimana? Aku takut terjadi sesuatu. Aku takut ada hantu yang tiba-tiba muncul dan menyerang kita” Ryan terlihat sangat khawatir dan mulai berimajinasi.
“Syut, berpikirlah yang jernih. Kita lanjutkan cari kameranya sambil cari cara untuk kembali!” Pintaku.

Dalam gelapnya malam dan tebalnya kabut, kami menyusuri jalan tanpa tahu arah tujuan. Hanya senter, satu-satunya alat yang dapat dimanfaatkan dalam situasi ini. Ponselku sama sekali tidak berguna tanpa sinyal. Menebak arah berdasarkan insting Ryan yang tidak terlalu dapat dipercaya.

Sepanjang jalan, Ryan terus berceloteh tentang gangguan hantu yang diceritakan temannya di gunung ini. Rasanya, ingin kubungkam mulutnya agar ia tidak terus mengatakan hal-hal bodoh.

“Sudahlah Ryan, hantu itu tidak ada!” Ujarku menghentikan celotehnya.
“Beni! Kau..” Laura hampir memarahiku.
“Apa? Jika di sini ada makhluk halus atau penghuni tidak kasat mata, tolong tampakkan wujud kalian atau buktikan dengan suara jika kalian ada di sini!” Tantangku pada seluruh hantu yang kata Ryan ada.
“Ben, kau keterlaluan!” Laura menajamkan matanya padaku, ia sangat kesal.
“Aku hanya ingin membuktikan pada kalian, bahwa yang namanya hantu itu tidak ada, buktinya sampai detik ini belum ada tanda-tanda apa pun.” Jelasku membela diri.

Kami melanjutkan perjalanan. Di tengah kesunyian ini, Aku melihat siluet seorang wanita yang berdiri di dekat pohon besar tepat di puncak tanjakan di hadapanku. Tubuh itu terkena cahaya bulan, jadi hanya bentuk hitam sebuah lekukan tubuh yang terlihat. Tubuh itu hanya diam. Pemandangan itu diiringi dengan suara serigala yang mengaung. Siapa yang tidak merinding dengan situasi seperti ini?

Aku langsung menghentikan langkah kaki dan memandang dua temanku yang juga ternyata melihatnya. Tidak ada kata yang keluar. Hanya gemetar yang menghiasi situasi ini. Kami saling berpandangan, bayangan itu hilang seketika. Kami saling berpikir positif dan menenangkan diri. Baiknya, kami menemukan kamera yang semenjak tadi dicari di pinggir semak belukar di dekat kami.

“Alhamdulillah, akhirnya!” Ucapku sangat senang. Kuambil kamera itu. Tetapi, ada kaki yang berdiri terhalang oleh batang pohon. Kuberanikan untuk mengambil kamera. Langsung berbalik tanpa ingin tahu siapa pemilik kaki pucat itu. Ternyata Ryan dan Laura sudah lari sejak tadi. Kususul mereka dengan terengah-engah. Wangi melati sudah tercium sepanjang jalan.

“Gila kalian! Meninggalkan Aku begitu saja.” Aku mulai protes mencoba meminta penjelasan.
“Ma maaf Ben. Saat Aku melihat wanita itu, Aku otomatis langsung lari.” Laura berusaha menjelaskan sambil masih memegangi lutut.
“Aku juga. Itu menyeramkan Ben.” Tambah Ryan bergidik.
“Aku lebih menyeramkan, Aku melihat kakinya dari dekat. Untungnya Aku berhasil mengambil kamera ini.” Ucapku.

Setelah menenangkan diri, kami berusaha mencari jalan keluar. Tetapi, ada kejanggalan. Aku merasa hanya melewati jalan yang sama tanpa keluar dari kabut ini. Ryan dan Laura pun begitu. Sampai ke tujuh kalinya kami melewati tanjakan, turunan, pohon besar, dan batu besar yang sama. Langsung kami berhenti di bawah pohon yang rindang. Kami berdiskusi.

“Bagaimana ini? Aku takut tidak bisa kembali.” Ungkap Laura pasrah.
“Kita pasti bisa kembali, pasti ada jalan keluar.” Aku menenangkannya.
“Apa kita meminta bantuan pada yang ada di sini saja? Siapa tahu ada yang bisa membantu.” Usul Ryan.
“Minta bantuan pada siapa Ryan? Tak ada yang tinggal di daerah seperti ini.” Tangkisku memecahkan ketidaklogisan ini.
“Siapa tahu ada, akan kucoba! Bagi yang ada di sini, tolong kami, kami tersesat. Siapa pun tolong, datanglah, dan bantu kami.” Teriak Ryan entah pada siapa. Dua tiga detik, tidak ada sahutan dari siapa pun.
“Sudah kubilang, tak ada siapa pun di sini.” Ujarku meremehkan Ryan.

“Maaf, apa barusan ada yang minta tolong?” Sahut seorang wanita yang datang dari balik pohon. Pakaiannya seperti penduduk desa yang ada di daerah ini. Rambutnya disanggul, membuat ia terlihat anggun dengan sarung kebat yang dikenakannya. Aku melongo tidak percaya. Siapa wanita yang masih berkeliaran di gunung tengah malam seperti ini?
“Apa yang bisa kubantu?” Tanyanya lagi.
“Kami adalah pendaki gunung, lalu...” Ryan menjelaskan panjang lebar. Sedangkan Laura terdiam lelah tanpa kata. Aku hanya menyimak percakapan Ryan dan wanita itu.
“Aku tahu jalan pulang, mari biar kuantar!” Tawar wanita itu yang melihat tajam ke arahku.

Ryan dan Laura sangat senang mendengar itu. Mereka berjalan berdampingan bersama sang wanita penyelamat. Sedang Aku berjalan di belakang mereka, masih meragukan wanita itu. Meski Aku tidak percaya hantu, tapi Aku pernah baca tentang suatu cara untuk melihat itu. Salah satunya melalui kolong kaki. Jadi, Aku hanya perlu melihat ke belakang secara terbalik. Walau tidak terlalu percaya, Aku akan coba mempraktikkannya. Aku berhenti sejenak tanpa diketahui mereka. Aku berbalik arah dan melakukannya. Ternyata, wanita itu tidak menginjak tanah. Percaya tidak percaya, tapi itulah yang Aku lihat.

“Berhenti!” Teriakku pada kedua temanku yang digandeng wanita itu. Ia berbalik dengan mata yang menyala.
“Jangan ikuti dia! Wanita ini bukan manusia, dia hantu.” Tegasku sambil menarik kedua temanku.

Ryan dan Laura terus menggerutu padaku. Sedang Aku masih memperhatikan wanita itu. Benar saja. Ia berubah. Gigi runcingnya keluar, matanya memerah, kukunya memanjang bak cakar yang melingkar panjang, dan pakaiannya menjadi kotor penuh darah. Aku terpaku dengan semua yang kualami ini.

“Hahaha, kalian tidak akan bisa keluar dari sini. Hahahahah” Ucap wanita jelek itu. Ryan dan Laura hanya memejamkan mata. Aku masih membuka mata untuk menyaksikan itu. Kukunya seperti bersiap akan mencakarku.

Dugaanku benar. Ia mulai menyerang, untung saja Aku dapat menghindar.
“Teman-teman, baca doa-doa dan mohon perlindungan pada Tuhan!” Pintaku dalam kebingungan.

Doa demi doa kubacakan. Terlihat wanita itu menjerit kepanasan. Di tengah kekuatan doa, datang Pak Warjo dari belakang wanita itu sambil membawa lentera penerang. Ia terlihat komat-kamit membaca doa. Kami pun masih terus membaca doa-doa yang kami tahu. Wanita itu terus menjerit kesakitan. Tegang, takut, pasrah bercampur aduk. Tetapi, Aku seorang manusia, jauh lebih sempurna dibanding makhluk itu. Kulantunkan ayat suci, membantu Pak Warjo. Akhirnya, wanita itu seperti melebur menjadi asap dan menghilang seiring terbawa angin. Keringat dingin sudah bercucuran dan kami baru bisa bernapas lega sekarang.

“Terima kasih banyak Pak, tadi kami...” Ucapku belum selesai bicara.
“Syut, saya sudah tahu.” Jawabnya pelan.
“Bapak tahu dari mana kami ada di sini?” Tanya Laura dengan keringat yang masih mengucur di pelipisnya.
“Semua orang di perkemahan mencari kalian, dan saya curiga kalian pergi ke kabut ini.” Jelas Pak Warjo.
“Oh begitu, lalu siapa wanita tadi?” Tanya Ryan sangat penasaran.

Pak Warjo menjelaskan itu sambil berjalan pulang ke arah matahari terbit. Ya, kami ada di hutan semalaman. Menurutnya, wanita itu dulunya penduduk desa yang bunuh diri karena kehilangan anaknya. Ia menghabisi nyawanya di bawah pohon besar, tepat di mana Aku mengambil kamera kami. Ia menjadi ratu bagi penghuni hutan.
Jika ada yang menarik perhatiannya, ia akan mulai memperlihatkan dirinya pada setiap orang yang datang. Ia selalu ingin membawa para pendatang untuk dijadikan budaknya. Ia biasa disebut Senakala. Biasanya yang mudah dipengaruhi itu, mereka yang datang dan bersugesti negatif. Jika sampai matahari terbit masih berada di dalam kabut itu, maka selamanya akan tetap di sana.

Cerita itu berakhir ketika kami sudah sampai di perkemahan. Merapikan barang bawaan untuk pergi meninggalkan tempat ini. Menjadikan semua itu sebagai pengalaman. Pengalaman yang membuatku percaya bahwa hantu itu ada, bahwa kita harus saling menghormati, dan jangan mengganggu bahkan menantang mereka. Kita harus percaya mereka itu ada. Tetapi, jangan takut pada mereka yang tidak terlihat. Karena derajat kita sebagai manusia jauh lebih tinggi dibanding mereka. Manusia butuh dimanusiakan, begitu juga hantu. Mengertilah.


Sumber
sebelahblog
ningka
zafinsyurga
zafinsyurga dan 15 lainnya memberi reputasi
16
1.4K
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan