- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Arymurthy, Membawa Sumarah ke Ranah Politik


TS
lostcg
Arymurthy, Membawa Sumarah ke Ranah Politik
Arymurthy, Membawa Sumarah ke Ranah Politik
20 September 2019 , 19:55

Arimurty sebagai Steering Committee Musyawarah Nasional Kepercayaan di Yogyakarta, 27-30 Desember 1970. Ist/dok
JAKARTA – Awal September 2019, Dinas Dukcapil Kabupaten Batanghari, Jambi, membagikan dokumen kependudukan bagi masyarakat Suku Anak Dalam yang tinggal di Kejasung, Desa Padang Kelapo, Kecamatan Maro Sebo Hulu. Dari 98 penerima dokumen kependudukan tersebut, ada 9 KTP dan 9 kartu keluarga (KK) yang berbeda dari KTP lainnya.
Pada 9 KTP dan KK tersebut, tak tercantum agama sang pemilik. Pasalnya, mereka memang bukan penganut agama tertentu. Mereka adalah penghayat kepercayaan yang telah meyakininya secara turun temurun.
Ya, setara dengan pemeluk agama, hak penghayat kepercayaan untuk mencantumkan kepercayaan yang diyakininya dalam dokumen kependudukan, kini telah diakui oleh negara.
Perjuangan agar aliran kepercayaan bisa tercantum pada dokumen kependudukan, tak ditempuh dalam waktu singkat. Pada bulan November 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) menerima uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.
Permohonan itu diajukan Nggay Mehang Tana dan kawan-kawan agar penghayat kepercayaan dapat memasukkan kepercayaannya di kolom Kartu Keluarga (KK) dan e-KTP pada 28 September 2016.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat di Gedung MK, Jakarta Pusat, pada Selasa, 7 November 2017 lalu.
Merunut ke belakang, para penganut kepercayaan memang harus menempuh jalan panjang dan terjal sebelum haknya menganut kepercayaa tertentu diakui oleh negara.
Merujuk sejarah, pada masa awal kemerdekaan, berkat ketokohan seorang penghayat kepercayaan Wongsonegoro, hubungan penghayat kepercayaan dengan negara masih cukup harmonis.
Pada masa itu, Wongsonegoro yang sempat menduduki jabatan Gubernur Jawa Tengah hingga menteri tersebut, berhasil menghimpun penghayat kepercayaan ke dalam Badan Kongres Kebatinan Seluruh Indonesia (BKKI) di Semarang. Tercatat, Presiden Soekarno hadir pada pelaksanaan BKKI yang ketiga pada Juli 1958.
Namun, di kala itu, terdapat aturan yang membatasi kebebasan spiritual masyarakat penghayat kepercayaan. Salah satunya dengan kehadiran Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Keagamaan (Pakem) yang berdiri pada 1954 di bawah Kejaksaan Agung.
Ditambah lagi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama yang diketuk palu pada 27 Januari 1965. Bagi para penghayat, beleid ini kerap menjadi dasar pemberlakuan perlakuan diskriminatif yang mereka alami.
Masa terkelam bagi para penghayat kepercayaan adalah pascaperistiwa September 1965. Setelah peristiwa tersebut, kecurigaan pada penghayat kepercayaan meningkat. Aliran Kepercayaan dinilai bisa menodai kemurnian agama yang diakui di Indonesia.
Namun, angin segar kemudian dirasakan para penghayat kepercayaan. Salah satunya, adalah saat pemerintah Orde Baru menunjukkan keberpihakan pada aliran kepercayaan, dengan dibentuknya Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa.
Direktorat yang dibentuk berdasarkan Kepres No.27 yo No.40 tahun 1978 tersebut dipimpin oleh Arymurthy, seorang pegawai kantor pajak yang juga menganut aliran kepercayaan Sumarah.
Direktorat baru tersebut berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, bukan berada di bawah Departemen Agama. Artinya, aliran kepercayaan diakui sebagai kebudayaan.

Paguyuban Sumarah
Sebagai salah satu aliran kebatinan, Paguyuban Sumarah terbilang masih eksis hingga kini. Sumarah berasal dari bahasa Jawa berarti pasrah atau menyerah terhadap segala ketentuan Tuhan Yang Maha Esa.
Aliran kepercayaan yang lahir tahun 1935 tersebut semula berbentuk komunitas atau paguyuban. Namun, seiring perkembangannya, aliran ini akhirnya bertransformasi menjadi organisasi, resmi dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang jelas.
Adalah Arymurthy, sosok yang turut meresmikan Sumarah dari Paguyuban menjadi sebuah organisasi modern. Dia pula lah yang turut membentuk Sumarah sebagai salah satu aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang masih eksis hingga kini. Paguyuban ini pun mendapat tempat di dunia politik.
Sebagai seorang Sumarah, Arymurthi menilai sudah sewajarnya seseorang memilih jalan Sumarah dengan iman bulat akan kekuasaan ilahi.
"Cukup menyerahkan diri selaku alat atau utusan semata-mata agar seluruh penjelmaan wujud hidup berupa perantara (warana) kehendak-Nya. Inilah makna “Sumarah” sebagaimana ditemui di mana pun adanya dan tidak hanya (juga belum tentu) di kalangan orang-orang yang menamakan diri dan atau penghayatannya Sumarah," kata Arymurthy sebagaimana dituturkan Paul Stange dalam bukunya yang Berjudul, Kejawen Modern, Hakikat dalam Penghayatan Sumarah.
Sumarah dikenal sebagai filsafat hidup dan bentuk meditasi yang berasal dari Jawa, tepatnya di daerah Yogyakarta. Praktek ini dilakukan dengan pengembangan kepekaan dan penerimaan melalui relaksasi tubuh, perasaan, dan pikiran. Tujuannya, tak lain untuk menciptakan ruang di dalam diri, batin, dan kesunyian yang diperlukan untuk mewujudkan jati diri.
Laku spritual yang dijalankan Kepercayaan Sumarah dilakukan dengan meditasi yang biasa disebut sujud. Hal ini merupakan bentuk untuk menyerah-pasrahkan seluruh aspek keberadaan pribadi sehingga sang diri tidak lebih dari sekadar wahana atau kendaraan bagi kehendak Tuhan.
"Sesi sujud biasanya dilakukan setiap minggu, dan lazimnya digelar di kediaman para warga yang telah maju penghayatan rohaninya," ujar Paul Stange dalam buku yang sama.
Dalam praktiknya, ajaran Sumarah mempunyai penghayat yang menjadi pamong bagi penghayat lainnya. Warga yang taat mengikuti sesi sujud setiap minggu, kemudian melanjutkan praktik sujud individualnya di rumah dan di kehidupan sehari-harinya.
Para pamong inilah menjadi pengikut yang paling bersemangat dalam menjalankan laku spiritual Sumarah. Mereka menghabiskan beberapa malam dalam seminggu bersama penghayat Sumarah lainnya.

"Meskipun mereka menghabiskan banyak waktu dalam sujud internal dengan para warga lain, semua anggota Sumarah tetap melakukan kegiatan hidup sehari-hari secara normal, seperti bekerja dan bercengkrama dengan keluarga," tutur Paul Stange.
Arymurthy memang menekankan kewajiban sebagai pembimbing dan pamong hanya terjadi pada saat tugas itu diberikan oleh hak (kebenaran).
"Seseorang adalah pamong hanya pada saat-saat bertugas itu. Di luar itu, kita hanya memerlukan pamong untuk kemudahan administrasi. Apakah ia benar-benar berlaku sebagai seorang pamong atau tidak, tergantung pada fungsi-fungsi yang timbul dari dalam dirinya. Di luar itu, ia tidak mempunyai hak istimewa atau otoritas apapun atas orang lain," jelasnya sebagaimana dikutip dalam buku Politik Perhatian, Rasa dalam Kebudayaan Jawa yang juga ditulis Paul Stange.
Menurutnya, tujuan dari praktik rohani tersebut bukan menarik diri dari masyarakat. Tidak juga ingin mencari keanehan, melainkan demi memperoleh keseimbangan lahir dan batin belaka.
Jika praktik Sujud Sumarah berhasil, maka efeknya akan berimbas ke dalam kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Sumarah berkeyakinan rasa kasih sayang terhadap sesame, diwujudkan melalui pengabdian bagi masyarakat. Di sisi lain, sang penghayat juga akan menjadi makhluk yang benar selaras dengan kehendak Tuhan.
Perkembangan
Paguyuban Sumarah berdiri di Kota Yogyakarta pada pertengahan tahun 1930an oleh Sukinohartono. Bersama Suhardo dan Sutadi, ia menarik pengikut hingga 500 orang di akhir masa pendudukan Jepang.
Memasuki era 1940-an pengikut Sumarah bertambah hingga beberapa ribu orang, seiring dengan masa revolusi di masa penjajahan Jepang. Paguyuban pun terus tumbuh dan dikelola secara formal di bawah kepemimpinan Dr. Surono.
Pada era itu, pusat Paguyuban Sumarah masih berada di Kota Yogyakarta. Namun, di era Surono, Sumarah terjebak dalam kemistikannya. Jadi, meski anggota Paguyuban di eranya bisa mencapai 6.000-an orang, pucuk kepemimpinan di bawah sang dokter pun harus beralih.
"Sejak 1966, pusat organisasi berpindah ke Jakarta dan dipimpin Arymurthy dan Zahid Hussein sampai 1992," tambah Paul Stange dalam bukunya.
Pada puncaknya tahun 1975, organisasi ini telah memiliki jumlah anggota sebanyak kurang lebih 10 ribu orang. Meski dua puluh tahun setelahnya anggota Sumarah menyusut hingga separuhnya.
Pada awal perjuangan Orde Baru (1966-1970), di tangan Arymurthy dan dua rekannya, Sidoyono dan Pranyoto, Paguyuban Sumarah sebenarnya mulai menggeliat. Organisasi ini mulai merapat kepada para penguasa.
Langkah ini ditunjukkan dengan memboyong Kepengurusan waktu itu dari Yogyakarta ke Jakarta. Nama kepengurusan pun berubah menjadi Pimpinan Pusat Sumarah. Arymurthy yang juga seorang birokrat yang bekerja di kantor pajak dan tokoh politik dalam naungan Partai Golongan Karya, membawa Organisasi Sumarah ke ranah politik.
"Ia ingin menghimpun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia dalam kekaryaan yang disebut Badan Koordinasi Karyawan Kerohanian/ Ketabiban/ Kejiwaan Indonesia (BK5I)," tulis Stange.
Secara kelembagaan, kelompok ini di bawah kendali Paguyuban Sumarah yang secara politis melekat pada Golongan Karya. Bahkan, Sumarah menjadi semakin besar dengan pengaruh tokoh lainnya yakni Zahid Hussein, yang masuk ke Pengurusan Sumarah pada 1970–1974. Ia menjadi ketua yang membidangi organisasi dan pengembangan dan dikenal sebagai orang kepercayaan presiden Soeharto.
Puncaknya, pada tahun 1978, aliran kebatinan atau kepercayaan secara resmi diakui sebagai sebuah ekspresi keimanan yang sah, dibawah koordinasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Imbas yang cukup terasa adalah tampilnya Arymurthy dan Zahid Hussein di TVRI untuk menyampaikan ajarannya di hadapan masyarakat.
Pada era itu pula, aliran Sumarah mendapat tempat di sisi penguasa. Tak heran, pada bulan Desember 1970 di bawah komando Arymurthi, Soetjipto dan Zahid Hussein, diselenggarakan Munas Kepercayaan yang melahirkan Sekretariat Kerjasama Kepercayaan (SKK). Pada dekade ini Sumarah mencapai puncak kejayaannya dan menyebar hampir ke seluruh pulau Jawa. (Kartika Runiasari)
https://www.validnews.id/Arymurthy--...ah-Politik-UmM
Saat ini sudah diakui resmi, mari saatnya melestarikan tradisi & budaya tradisional termasuk agama lokal
20 September 2019 , 19:55

Arimurty sebagai Steering Committee Musyawarah Nasional Kepercayaan di Yogyakarta, 27-30 Desember 1970. Ist/dok
JAKARTA – Awal September 2019, Dinas Dukcapil Kabupaten Batanghari, Jambi, membagikan dokumen kependudukan bagi masyarakat Suku Anak Dalam yang tinggal di Kejasung, Desa Padang Kelapo, Kecamatan Maro Sebo Hulu. Dari 98 penerima dokumen kependudukan tersebut, ada 9 KTP dan 9 kartu keluarga (KK) yang berbeda dari KTP lainnya.
Pada 9 KTP dan KK tersebut, tak tercantum agama sang pemilik. Pasalnya, mereka memang bukan penganut agama tertentu. Mereka adalah penghayat kepercayaan yang telah meyakininya secara turun temurun.
Ya, setara dengan pemeluk agama, hak penghayat kepercayaan untuk mencantumkan kepercayaan yang diyakininya dalam dokumen kependudukan, kini telah diakui oleh negara.
Perjuangan agar aliran kepercayaan bisa tercantum pada dokumen kependudukan, tak ditempuh dalam waktu singkat. Pada bulan November 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) menerima uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.
Permohonan itu diajukan Nggay Mehang Tana dan kawan-kawan agar penghayat kepercayaan dapat memasukkan kepercayaannya di kolom Kartu Keluarga (KK) dan e-KTP pada 28 September 2016.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat di Gedung MK, Jakarta Pusat, pada Selasa, 7 November 2017 lalu.
Merunut ke belakang, para penganut kepercayaan memang harus menempuh jalan panjang dan terjal sebelum haknya menganut kepercayaa tertentu diakui oleh negara.
Merujuk sejarah, pada masa awal kemerdekaan, berkat ketokohan seorang penghayat kepercayaan Wongsonegoro, hubungan penghayat kepercayaan dengan negara masih cukup harmonis.
Pada masa itu, Wongsonegoro yang sempat menduduki jabatan Gubernur Jawa Tengah hingga menteri tersebut, berhasil menghimpun penghayat kepercayaan ke dalam Badan Kongres Kebatinan Seluruh Indonesia (BKKI) di Semarang. Tercatat, Presiden Soekarno hadir pada pelaksanaan BKKI yang ketiga pada Juli 1958.
Namun, di kala itu, terdapat aturan yang membatasi kebebasan spiritual masyarakat penghayat kepercayaan. Salah satunya dengan kehadiran Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Keagamaan (Pakem) yang berdiri pada 1954 di bawah Kejaksaan Agung.
Ditambah lagi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama yang diketuk palu pada 27 Januari 1965. Bagi para penghayat, beleid ini kerap menjadi dasar pemberlakuan perlakuan diskriminatif yang mereka alami.
Masa terkelam bagi para penghayat kepercayaan adalah pascaperistiwa September 1965. Setelah peristiwa tersebut, kecurigaan pada penghayat kepercayaan meningkat. Aliran Kepercayaan dinilai bisa menodai kemurnian agama yang diakui di Indonesia.
Namun, angin segar kemudian dirasakan para penghayat kepercayaan. Salah satunya, adalah saat pemerintah Orde Baru menunjukkan keberpihakan pada aliran kepercayaan, dengan dibentuknya Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa.
Direktorat yang dibentuk berdasarkan Kepres No.27 yo No.40 tahun 1978 tersebut dipimpin oleh Arymurthy, seorang pegawai kantor pajak yang juga menganut aliran kepercayaan Sumarah.
Direktorat baru tersebut berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, bukan berada di bawah Departemen Agama. Artinya, aliran kepercayaan diakui sebagai kebudayaan.

Paguyuban Sumarah
Sebagai salah satu aliran kebatinan, Paguyuban Sumarah terbilang masih eksis hingga kini. Sumarah berasal dari bahasa Jawa berarti pasrah atau menyerah terhadap segala ketentuan Tuhan Yang Maha Esa.
Aliran kepercayaan yang lahir tahun 1935 tersebut semula berbentuk komunitas atau paguyuban. Namun, seiring perkembangannya, aliran ini akhirnya bertransformasi menjadi organisasi, resmi dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang jelas.
Adalah Arymurthy, sosok yang turut meresmikan Sumarah dari Paguyuban menjadi sebuah organisasi modern. Dia pula lah yang turut membentuk Sumarah sebagai salah satu aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang masih eksis hingga kini. Paguyuban ini pun mendapat tempat di dunia politik.
Sebagai seorang Sumarah, Arymurthi menilai sudah sewajarnya seseorang memilih jalan Sumarah dengan iman bulat akan kekuasaan ilahi.
"Cukup menyerahkan diri selaku alat atau utusan semata-mata agar seluruh penjelmaan wujud hidup berupa perantara (warana) kehendak-Nya. Inilah makna “Sumarah” sebagaimana ditemui di mana pun adanya dan tidak hanya (juga belum tentu) di kalangan orang-orang yang menamakan diri dan atau penghayatannya Sumarah," kata Arymurthy sebagaimana dituturkan Paul Stange dalam bukunya yang Berjudul, Kejawen Modern, Hakikat dalam Penghayatan Sumarah.
Sumarah dikenal sebagai filsafat hidup dan bentuk meditasi yang berasal dari Jawa, tepatnya di daerah Yogyakarta. Praktek ini dilakukan dengan pengembangan kepekaan dan penerimaan melalui relaksasi tubuh, perasaan, dan pikiran. Tujuannya, tak lain untuk menciptakan ruang di dalam diri, batin, dan kesunyian yang diperlukan untuk mewujudkan jati diri.
Laku spritual yang dijalankan Kepercayaan Sumarah dilakukan dengan meditasi yang biasa disebut sujud. Hal ini merupakan bentuk untuk menyerah-pasrahkan seluruh aspek keberadaan pribadi sehingga sang diri tidak lebih dari sekadar wahana atau kendaraan bagi kehendak Tuhan.
"Sesi sujud biasanya dilakukan setiap minggu, dan lazimnya digelar di kediaman para warga yang telah maju penghayatan rohaninya," ujar Paul Stange dalam buku yang sama.
Dalam praktiknya, ajaran Sumarah mempunyai penghayat yang menjadi pamong bagi penghayat lainnya. Warga yang taat mengikuti sesi sujud setiap minggu, kemudian melanjutkan praktik sujud individualnya di rumah dan di kehidupan sehari-harinya.
Para pamong inilah menjadi pengikut yang paling bersemangat dalam menjalankan laku spiritual Sumarah. Mereka menghabiskan beberapa malam dalam seminggu bersama penghayat Sumarah lainnya.

"Meskipun mereka menghabiskan banyak waktu dalam sujud internal dengan para warga lain, semua anggota Sumarah tetap melakukan kegiatan hidup sehari-hari secara normal, seperti bekerja dan bercengkrama dengan keluarga," tutur Paul Stange.
Arymurthy memang menekankan kewajiban sebagai pembimbing dan pamong hanya terjadi pada saat tugas itu diberikan oleh hak (kebenaran).
"Seseorang adalah pamong hanya pada saat-saat bertugas itu. Di luar itu, kita hanya memerlukan pamong untuk kemudahan administrasi. Apakah ia benar-benar berlaku sebagai seorang pamong atau tidak, tergantung pada fungsi-fungsi yang timbul dari dalam dirinya. Di luar itu, ia tidak mempunyai hak istimewa atau otoritas apapun atas orang lain," jelasnya sebagaimana dikutip dalam buku Politik Perhatian, Rasa dalam Kebudayaan Jawa yang juga ditulis Paul Stange.
Menurutnya, tujuan dari praktik rohani tersebut bukan menarik diri dari masyarakat. Tidak juga ingin mencari keanehan, melainkan demi memperoleh keseimbangan lahir dan batin belaka.
Jika praktik Sujud Sumarah berhasil, maka efeknya akan berimbas ke dalam kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Sumarah berkeyakinan rasa kasih sayang terhadap sesame, diwujudkan melalui pengabdian bagi masyarakat. Di sisi lain, sang penghayat juga akan menjadi makhluk yang benar selaras dengan kehendak Tuhan.
Perkembangan
Paguyuban Sumarah berdiri di Kota Yogyakarta pada pertengahan tahun 1930an oleh Sukinohartono. Bersama Suhardo dan Sutadi, ia menarik pengikut hingga 500 orang di akhir masa pendudukan Jepang.
Memasuki era 1940-an pengikut Sumarah bertambah hingga beberapa ribu orang, seiring dengan masa revolusi di masa penjajahan Jepang. Paguyuban pun terus tumbuh dan dikelola secara formal di bawah kepemimpinan Dr. Surono.
Pada era itu, pusat Paguyuban Sumarah masih berada di Kota Yogyakarta. Namun, di era Surono, Sumarah terjebak dalam kemistikannya. Jadi, meski anggota Paguyuban di eranya bisa mencapai 6.000-an orang, pucuk kepemimpinan di bawah sang dokter pun harus beralih.
"Sejak 1966, pusat organisasi berpindah ke Jakarta dan dipimpin Arymurthy dan Zahid Hussein sampai 1992," tambah Paul Stange dalam bukunya.
Pada puncaknya tahun 1975, organisasi ini telah memiliki jumlah anggota sebanyak kurang lebih 10 ribu orang. Meski dua puluh tahun setelahnya anggota Sumarah menyusut hingga separuhnya.
Pada awal perjuangan Orde Baru (1966-1970), di tangan Arymurthy dan dua rekannya, Sidoyono dan Pranyoto, Paguyuban Sumarah sebenarnya mulai menggeliat. Organisasi ini mulai merapat kepada para penguasa.
Langkah ini ditunjukkan dengan memboyong Kepengurusan waktu itu dari Yogyakarta ke Jakarta. Nama kepengurusan pun berubah menjadi Pimpinan Pusat Sumarah. Arymurthy yang juga seorang birokrat yang bekerja di kantor pajak dan tokoh politik dalam naungan Partai Golongan Karya, membawa Organisasi Sumarah ke ranah politik.
"Ia ingin menghimpun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia dalam kekaryaan yang disebut Badan Koordinasi Karyawan Kerohanian/ Ketabiban/ Kejiwaan Indonesia (BK5I)," tulis Stange.
Secara kelembagaan, kelompok ini di bawah kendali Paguyuban Sumarah yang secara politis melekat pada Golongan Karya. Bahkan, Sumarah menjadi semakin besar dengan pengaruh tokoh lainnya yakni Zahid Hussein, yang masuk ke Pengurusan Sumarah pada 1970–1974. Ia menjadi ketua yang membidangi organisasi dan pengembangan dan dikenal sebagai orang kepercayaan presiden Soeharto.
Puncaknya, pada tahun 1978, aliran kebatinan atau kepercayaan secara resmi diakui sebagai sebuah ekspresi keimanan yang sah, dibawah koordinasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Imbas yang cukup terasa adalah tampilnya Arymurthy dan Zahid Hussein di TVRI untuk menyampaikan ajarannya di hadapan masyarakat.
Pada era itu pula, aliran Sumarah mendapat tempat di sisi penguasa. Tak heran, pada bulan Desember 1970 di bawah komando Arymurthi, Soetjipto dan Zahid Hussein, diselenggarakan Munas Kepercayaan yang melahirkan Sekretariat Kerjasama Kepercayaan (SKK). Pada dekade ini Sumarah mencapai puncak kejayaannya dan menyebar hampir ke seluruh pulau Jawa. (Kartika Runiasari)
https://www.validnews.id/Arymurthy--...ah-Politik-UmM
Saat ini sudah diakui resmi, mari saatnya melestarikan tradisi & budaya tradisional termasuk agama lokal
0
1.1K
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan