HalidaLidutAvatar border
TS
HalidaLidut
Kutitip Janin Di Rahim Istrimu *Stage 1*
Riuh rendah sorak memenuhi panggung, keringat membanjiri seluruh tubuh. Panas yang menguar seakan-akan tak dirasakan. Semua tenggelam dalam euforia. Adrenalin Aris memuncak, mengangkat gitar ke depan muka. Lalu penikmat riuh berteriak nyaring, berdesak-desakan tanpa jeda.

"Sukses kita malam ini, Bro. Seperti biasa." Wajah tampan Leo memberikan salam khas pada mereka berlima. Member grup band yang terkenal hingga mancanegara.

"Yup, ayo pesta!" Gerry si bassis menarik beberapa wanita muda ke dalam kamar hotel. Aris melirik Leo, si vokalis. Terlihat lelaki itu tak sabaran melompat dari duduknya di atas meja, dirangkulnya pinggang dua wanita seksi yang mengapit kiri kanan.

"Surga, Bro. Let's enjoy it." Kedip nakal Dion yang setiap hari pegang keyboard.

"Duluan, Di. Nanti gue nyusul." Aris melambaikan tangan.

Lalu terdengar suara hingar di dalam ruangan. Sepertinya pesta akan dimulai. Biasanya Aris tak akan pernah sekalipun ketinggalan bertempur. Tapi sudah lima bulan ini berbeda. Ada yang mengganggu pikirannya.

[Ris, tolong kasi tau Leo angkat hp. Anaknya pengen ngobrol sebentar. Roadshow masih 15 hari lagi kan?] Sms Amira, istri sang vokalis.

[Udah kukasi tau, kata Leo nanti ditelpon, sekarang lagi meeting. Tenang] Aris tak pandai memberikan emoticon. Tapi berharap bualannya bisa membuat si wanita tenang sebentar.

[Bukan untukku, Ris. Buat Ben anaknya. Tapi it's ok. Tq.]

[Ur welcome] titik. Sms itu dua hari lalu. Berikutnya tak terdengar kabar lagi. Entah kenapa jadi Aris yang menanti.

"Anak lu minta telpon. Penting." Sebelum manggung, tadi siang Aris kembali mengingatkan Leo ... sudah berkali-kali.

"Kenapa jadi lu yang cerewet kek Emak-emak, Ris? Palingan itu alasan bini gue. Woles ajah." Sambil mengetes sound, Leo melenggang.

~~~~~~~~~*****~~~~~~~~~

Semula Aris tidak begitu peduli dengan rumahtangga mereka, apalagi kehidupan orang lain. Tapi tiga bulan lalu terlihat lebam di bawah mata Amira. Sepertinya suami sudah mulai main kasar. Aris paling benci lelaki pengecut begitu, yang beraninya cuma sama perempuan.

Leo memang bukan tipikal nekat. Dia digilai karena suara yang keren dan berwajah tampan. Tingginya sedang, tapi diakui aksi panggungnya menularkan semangat. Memukau. Dia bahkan tak pernah satu pun mencipta lagu.

"Lu yang punya khayalan tingkat tinggi, fren. Sekelas Dewa. Bukan gue." Leo mengelak waktu Aris meminta bikin karya. Lalu dia melengos memberikan senyum nakal pada perempuan berseragam di pojokan ... crew panggung pun tega dibantai lelaki itu. Sadis.

Mengembuskan napas panjang, Aris memutuskan kali ini tak mengikuti pesta mereka. Yang pasti selalu memuaskan. Dulu lelaki jangkung itu sering menyesal jika ketinggalan. Tapi sekarang ... dia jenuh.

Sepuluh tahun berkarir, mungkin waktu yang tidak begitu lama dalam dunia ini. Tapi kebetulan musik mereka disukai pasaran. Permintaan manggung di mana-mana, bahkan kadang ada yang terpaksa ditolak.
Dalam kemasyhuran, karena sering dipuja dan dielu-elu, lambat laun mereka berubah. Tak lagi menyenangkan seperti dulu, setidaknya bagi istri mereka.

"Hatiku rusak, Ris." Amira menunduk bergetar.

"Hmmmm ...." Aris lemah menghadapi wanita, apalagi yang sedang menangis.

"Setelah road show band kalian, Leo pulang membawa dua wanita ke rumah. Kali ini dia sudah terang-terangan." Terbata-bata suara wanita itu terdengar.

"Tak kau usir mereka?" kasar pria itu mengembuskan asap rokok.

"Sudah. Tapi malah dua pramuria itu yang dibela Leo, aku dimakinya di depan mereka. Tak tahan lagi."

"Urus cerai."

"Berkali-kali kupikirkan, tapi kasihan Ben. Dia baru tiga tahun. Yang kukhawatirkan perkembangan jiwanya."

"Dia melihat Bapaknya bawa perempuan lain ke rumah, itu yang merusaknya."

"Kujelaskan pada Leo tentang itu. Tapi lagi-lagi aku ditamparnya."

"Jadi kau tak mau cerai. Kalau begitu terima dia apa adanya."

"Asal dia tak main tangan dan tak bawa para pramurianya ke rumah. Walau berat, aku bisa terima. Tolonglah ... sampaikan padanya." Rengek Amira.

Sebenarnya wanita ini menarik. Berkulit mulus, dia rutin perawatan. Manik matanya indah, teduh. Rambutnya ikal bergelombang, seksi. Tampilannya tak kalah artis. 'Tapi kami lelaki, ketika merasa mapan ... kebanyakan tidak cukup cuma satu', Aris membatin.

"Aku sampaikan. Ngomong-ngomong, kau tak keberatan menemaniku makan malam nanti?" Ragu Aris melontarkan pertanyaan.

"Kita berdua? Leo ikut?" wajah cantik itu terkejut.

"Kau dan aku, tanpa Leo."

"Hmmmm ... jam berapa? Di mana?" Amira terdengar tak yakin menerimanya.

"Jam tujuh. Leo belum bilang pulang ke Indonesia hari ini, kan? Jadi aku jemput kau di rumah."

Terdengar desahan lelah sebelum suara itu berujar, "oke, jemput aku."

~~~~~~~~~*****~~~~~~~~~

Cantik, sungguh. Sialnya sekejap darah Aris berdesir, ingin mencumbui wanita itu. Membukakan pintu mobil, lelaki berkulit sawo matang tersebut salah tingkah melihat betis mulus Amira. Tubuh mungil di hadapan begitu menggiurkan. Leo buta. Wanita ini tak tersentuh selain olehnya, sedang dia sibuk membahagiakan wanita lain yang tubuhnya telah terjamah berpuluh tangan ... bahkan mungkin beratus.

"Kita kemana?" entah kenapa suara Aris terdengar serak, dia berdehem.
Makan malam mereka telah selesai, tapi Aris tidak ingin terburu-buru menyudahi malam.

"Kau suka apa?" manik itu lagi, sedang menatapnya ... indah. Retina Aris menelusuri wajah lembut itu. Damn, lima tahun mengenalnya ... baru kali ini hati lelaki cuek itu menciut.

'Bercinta' ... itu jawaban hati Aris. "nonton? Kau pilih filmnya," pria itu benar-benar belum mau mengakhiri hari bersama Amira.

"Hantu." Lalu Amira terkekeh, terdengar menggoda.

"Fine. Bioskop mana?" Aris berdiri, memberikan tangannya untuk disambut Amira.

"Tempat tinggalmu ...." jawaban tersebut mengejutkan tetapi langsung disambar Aris.

"Ayo."
~~~~~~~~~*****~~~~~~~~~

Amira berkeliling memperhatikan apartemen Aris. Tak banyak isinya, tapi dia senang. Begitu hangat. Hanya terdiri dari dua warna ... hitam dan putih. Tapi yang mengejutkan, ketika mereka datang langsung disambut beberapa ekor kucing. Berlari menggemaskan menghampiri Aris. Tanpa canggung, pria tersebut mencium hidung makhluk-makhluk itu. Kucing-kucing kampung, tapi begitu bersih ... lucu-lucu.

"Kenapa bukan anggora?" Amira berlutut mengelus salah satu kucing.

"Aku senang yang kampung, mereka berhak juga disayang." Aris menggendong yang paling hitam.

"Ah kenapa matanya?!?" Amira terbelalak ngeri.

"Aku menemukannya terlunta. Kecil, kurus, nyaris mati. Dia tak bisa mencari makan sendiri. Selain buta, juga kalah saing dengan yang lebih jago." Aris mencium hidung binatang berbulu tersebut. Sepertinya hidung adalah tempat favoritnya mencium.

"Kasiaaan. Induknya tak bersamanya?" Amira mendekat, mengusap kepala kucing hitam itu.

"Di sampingnya. Mati. Dibantai tangan manusia yang merasa itu tindakan lucu. Lehernya diikat tali, buntutnya putus. Dan si Legam ini ... biji matanya tercungkil keluar." Suara Aris bergetar, seperti menahan geram.

"Ya Tuhan. Kejamnya! Aku tak dapat membayangkan. Jadi namanya Legam. Kau temukan pembunuh Ibunya?" Airmata Amira mendadak berlinang memandang kucing itu. Ternyata banyak makhluk yang jauh lebih tak berdaya daripada dirinya.

"Jika kutemukan. Kubikin bonyok mukanya!" Aris berdesis ... terdengar sadis, "mereka pikir kucing hitam itu pembawa sial, identik sihir, jelmaan iblis. Doktrin sesat apa itu?!? Shit!" Lelaki itu tersengal-sengal.

Canggung.

"Hei, kenalkan aku pada mereka semua. Dan ceritakan kisah perjumpaan kalian." kelopak teduh itu membulat, menunjukkan kesenangan. Suara Amira begitu bersemangat.

"Hmmmm ... mau dimulai dari siapa? Ada belasan kucing. Semuanya kupungut. Aku lebih tertarik pada yang lemah." Suasana tegang mulai mencair, Aris kembali santai.

"Dan ternyata pusat dari segala ketertarikan itu adalah padamu, Tuan Misterius. Di balik rupa yang jarang tersenyum ini ... terdapat kepedulian yang tak terduga di dalamnya. Manis." Wajah Amira sumringah, "aku suka ...."

Sekejap Aris tertegun, bukan karena tidak pernah mendengar perkataan dari bibir wanita ... bahwa mereka menyukainya. Tapi ketika yang menyuarakannya adalah Amira. Entah kenapa, terasa berbeda. Dia sedikit melambung. Mengatasi kegugupan, dipanggilnya nama-nama peliharaannya. Diperkenalkan satu persatu. Ada yang buntung, si Tutung. Yang telinganya hilang sebelah, bernama Gilang. Ada juga yang mulutnya sumbing ... jika boleh dikatakan kucing juga begitu, panggil dia Manis. Dan ternyata si Manis betina.

"Pasaran namanya" Amira tertawa senang, "kau tidak takut dia dirudapaksa para kucing hidung belang di sini?" Lalu wanita itu menggendong Manis, membelai lehernya.

"Ku-steril." Aris memandang takjub, "kau tak jengah menggendong Manis? Dia baru tiga minggu di sini. Kudapati ditabrak lari. Jadi belum terlalu bersih."

Amira mempererat dekapannya, "haruskah aku? Si manis begitu menggoda. Dia cantik. Pantas dipuja."

"Jangan terlalu kencang memeluknya. Aku takut dia mati terjepit ...."

Kali ini tawa Amira benar-benar meledak, "kau begitu protektif terhadap kesayangan berbulumu. Bapaknya kucing. Bagaimana bisa jika nanti ada yang melamar anak-anakmu? Apa akan kau tunjukkan bedil?"

Aris tersenyum.

"Hei, kau tersenyum. 'Congrat Manis telah membuat tuanmu bahagia. Kau memang penggoda." Amira mencium ujung hidung kucing belang itu. Si manis mengeong manja.

Lalu cerita mereka mengalir seputar kesenangan, terutama dunia kucing.
Pada akhirnya, kepuasan itu tak cuma tercipta dari hubungan di atas ranjang. Mereka berdua menghabiskan waktu berjam-jam membicarakan hewan berbulu itu. Aris telah melupakan hasratnya, dan Amira menemukan kenyamanan berkomunikasi.

"Sudah jam sepuluh. Aku pesan taxi dulu." Amira beranjak dari duduknya, pelan-pelan meletakkan si Mungil dari pangkuan. Kucing yang belum lama lahir itu sedang mendengkur halus, saudaranya mati dalam kardus dikerubungi semut. Tersisa Mungil yang bertahan, pun berkat Aris. Tuhan menjodohkan mereka untuk bertemu.

"Aku yang menjemputmu, aku pula yang seharusnya mengantar."

"Tak perlu repot. Ini sudah malam, aku bisa." Amira menepuk-nepuk gaun malamnya, ada beberapa bulu kucing yang menempel di situ.

"Jika tidak mau kuantar. Tak akan kuizinkan kau pulang." Suara Aris memaksa.

"Baiklah keras kepala. Tapi apa kau tak takut pacarmu marah?"

"Aku tak punya." Lelaki itu mengeraskan rahangnya.

"Kenapa tidak? Apartemenmu begitu rapi dan bersih, ini pasti karena sentuhan wanita. Lantas jika kau sedang show ... siapa yang memberi makan kucing-kucingmu?" Amira tak percaya.

"Bibi Ning. Sudah lama bekerja denganku. Dia yang mengurus aku dan kucing-kucing. Dan kau boleh mengatakan padanya langsung ... kalau dia pacarku. Yakin sekali bibi Ning akan mentertawakanmu." Bibir Aris seperti berkedut ingin terpingkal.

"Oh ...." cuma itu yang bisa Amira ucapkan. Karena tiba-tiba saja, mendengar itu dia merasa senang. Lega.

"Jadi pulang?" Aris berharap wanita itu menjawab tidak.

"Ayolah, aku takut lama-lama di sini." Amira berpura-pura gelisah.

Aris pasang wajah waspada, "kenapa?"

"Takut kebablasan." Tawa Amira kembali kencang, seperti sedang melepaskan suatu himpitan.

"Lama-lama kau terlihat seperti kucing." dengkus lelaki tegap itu.

"Bagaimana bisa?" Kening wanita cantik tersebut mengernyit.

"Ingin kubawa pulang selamanya. Sebab terasa kau butuh perlindungan."

Hening.

Lalu tawa Amira mengejek "kau lucu. Ayo antar aku pulang."
~~~~~~~~~*****~~~~~~~~~

Wanita mungil itu sudah berada di dalam rumahnya. Selepas mencium Ben yang telah terlelap. Amira merebahkan tubuh di kasur sendiri, melamunkan malam yang dihabiskan bersama Aris. Begitu menyenangkan, dia banyak tertawa. Sejenak lupa pada luka hatinya. Merasa nyaman berada di dekat lelaki kaku tersebut.

Dan Aris yang berada berkilo jauhnya dari kediaman Amira, sibuk memainkan gitar membawakan nada-nada garang. Sedang hatinya dijinakkan memikirkan perempuan itu. Wanita yang berbeda. Rasanya, warnanya, aromanya. Hatinya suka.

*To be continue*
Diubah oleh HalidaLidut 19-09-2019 18:49
bihun
jiyanq
anasabila
anasabila dan 10 lainnya memberi reputasi
11
6.7K
36
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan