- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Demo di KPK, Mengaku Dibayar 50 Ribu


TS
Spnews
Demo di KPK, Mengaku Dibayar 50 Ribu
SURABAYAPAGI.COM, Jakarta –Beredar kabar aksi demo yang terjadi Sabtu lalu di Gedung KPK sejumlah pendemo merupakan kelompok bayaran. Utusan Open Government Partnertship sekaligus Coordinator Nasional Lembaga Publish What You Pay Indonesia Maryati Abdullah mengkhawatirkan fenomena tersebut.

Ia mengaku sedih karena ada sekelompok masyarakat ekonomi lemah yang diperlakukan seperti itu.
Menurutnya, fenomena pendemo bayaran tersebut adalah pembodohan demokrasi sekaligus kemunduran demokrasi.
Tidak hanya itu, ia juga melihat fenomena itu adalah potret ekonomi di Indonesia yang menunjukan ketimpangan sosial yang masih tinggi.
Hal itu disampaikannya saat konferensi pers Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi (AMUKK) di Jakarta Pusat pada Minggu (15/9/2019).
"Saya sedih kalau ada kelompok masyarakat yang dibegitukan. Artinya kan mereka butuh pendapatan. Butuh uang makan harian dan sebagainya dan itu adalah potret ekonomi kita yang timpang dan itu ada di sekitar Jakarta artinya di Ibu Kota. Itu fenomena yang menurut saya semacam pembodohan demokrasi. Orang demonstrasi tapi dibayar. Kemudian dia tidak paham substansinya dan itu benar – benar kemunduran,” kata Maryati.
Ia sendiri mengaku tidak tahu siapa yang ada dibalik para pendemo yang mengaku dibayar tersebut.
Namun menurutnya, hal itu menjelaskan bahwa ketimpangan ekonomi dapat membuat kelompok-kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah akan percaya kepada uang dan kekuasaan.
"Dan dengan ekonomi yang timpang itu berbahaya, karena mereka akan percaya kepada uang, siapa yang bayar dan kedua kepada siapa yang punya power (kekuasaan). Power itu macam-macam bisa senjata, politik, dan sebaginya," kata Maryati.
Menurutnya, dalam hal ini kualitas masyarakat berpartisipasi dalam demokrasi menjadi tidak bebas karena masyarakat tidak punya pikiran orisinil, tidak dilindungi, dan berada di bawah pengaruh atau tekanan uang dan kekuasaan tersebut.
"Dan nanti bisa jadi saya juga khawatir hal-hal seperti itu menyebabkan masalah-masalah lain, konflik, politisasi agama. Kan itu sudah muncul dari adanya "kebodohan", informasi asimetrik, uang, dan sebagainya," kata Maryati.
Ia pun menilai fenomena tersebut adalah sebuah anomali dalam demokrasi karena kebebasan warga negara dan suara masyarakat jadi terhalangi karena bayarannya.
"Itu demokrasi yang tidak sehat. Itu tidak boleh. Kita khawatir ekonomi turun, orang-orang miskin dan pengangguran itu dimobilisasi untuk menciptakan chaos politic dan demokrasi. Tidak boleh," kata Maryati.
Diberitakan sebelumnya, Arief (15) datang ke Gedung Merah Putih, KPK , Kuningan, Jakarta Selatan, pada Sabtu sore (14/9/2019). Pelajar ini terlihat bersama gerombolan seusianya duduk di trotoar depan KPK bersama massa bernama Corong.
Saat ditanya, Arief mengaku ikut aksi ini diajak oleh seorang temannya yang sama – sama dari Kampung Pulo, Jakarta Timur.
“Iya ikut ini, dijanjiin dibayar gocap (50 ribu) setelah bubar,” kata dia.
Ia mengaku tak begitu memahami apa yang disampaikan oleh massa.
“Ya gitu aja, dukung Jokowi revisi UU,” ucapnya singkat.
Sementara itu, remaja lain dari massa lainnya yang juga ditanya enggan menjawab pertanyaan yang sama. Mereka hanya menjawab mereka diajak oleh orang dewasa dalam aksi hari ini.
Namun, dari sejumlah informasi di lapangan, massa dibayar bervariasi dari 50 ribu hingga 300 ribu.
Sumber : http://surabayapagi.com/read/demo-di...ibayar-50-ribu

Ia mengaku sedih karena ada sekelompok masyarakat ekonomi lemah yang diperlakukan seperti itu.
Menurutnya, fenomena pendemo bayaran tersebut adalah pembodohan demokrasi sekaligus kemunduran demokrasi.
Tidak hanya itu, ia juga melihat fenomena itu adalah potret ekonomi di Indonesia yang menunjukan ketimpangan sosial yang masih tinggi.
Hal itu disampaikannya saat konferensi pers Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi (AMUKK) di Jakarta Pusat pada Minggu (15/9/2019).
"Saya sedih kalau ada kelompok masyarakat yang dibegitukan. Artinya kan mereka butuh pendapatan. Butuh uang makan harian dan sebagainya dan itu adalah potret ekonomi kita yang timpang dan itu ada di sekitar Jakarta artinya di Ibu Kota. Itu fenomena yang menurut saya semacam pembodohan demokrasi. Orang demonstrasi tapi dibayar. Kemudian dia tidak paham substansinya dan itu benar – benar kemunduran,” kata Maryati.
Ia sendiri mengaku tidak tahu siapa yang ada dibalik para pendemo yang mengaku dibayar tersebut.
Namun menurutnya, hal itu menjelaskan bahwa ketimpangan ekonomi dapat membuat kelompok-kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah akan percaya kepada uang dan kekuasaan.
"Dan dengan ekonomi yang timpang itu berbahaya, karena mereka akan percaya kepada uang, siapa yang bayar dan kedua kepada siapa yang punya power (kekuasaan). Power itu macam-macam bisa senjata, politik, dan sebaginya," kata Maryati.
Menurutnya, dalam hal ini kualitas masyarakat berpartisipasi dalam demokrasi menjadi tidak bebas karena masyarakat tidak punya pikiran orisinil, tidak dilindungi, dan berada di bawah pengaruh atau tekanan uang dan kekuasaan tersebut.
"Dan nanti bisa jadi saya juga khawatir hal-hal seperti itu menyebabkan masalah-masalah lain, konflik, politisasi agama. Kan itu sudah muncul dari adanya "kebodohan", informasi asimetrik, uang, dan sebagainya," kata Maryati.
Ia pun menilai fenomena tersebut adalah sebuah anomali dalam demokrasi karena kebebasan warga negara dan suara masyarakat jadi terhalangi karena bayarannya.
"Itu demokrasi yang tidak sehat. Itu tidak boleh. Kita khawatir ekonomi turun, orang-orang miskin dan pengangguran itu dimobilisasi untuk menciptakan chaos politic dan demokrasi. Tidak boleh," kata Maryati.
Diberitakan sebelumnya, Arief (15) datang ke Gedung Merah Putih, KPK , Kuningan, Jakarta Selatan, pada Sabtu sore (14/9/2019). Pelajar ini terlihat bersama gerombolan seusianya duduk di trotoar depan KPK bersama massa bernama Corong.
Saat ditanya, Arief mengaku ikut aksi ini diajak oleh seorang temannya yang sama – sama dari Kampung Pulo, Jakarta Timur.
“Iya ikut ini, dijanjiin dibayar gocap (50 ribu) setelah bubar,” kata dia.
Ia mengaku tak begitu memahami apa yang disampaikan oleh massa.
“Ya gitu aja, dukung Jokowi revisi UU,” ucapnya singkat.
Sementara itu, remaja lain dari massa lainnya yang juga ditanya enggan menjawab pertanyaan yang sama. Mereka hanya menjawab mereka diajak oleh orang dewasa dalam aksi hari ini.
Namun, dari sejumlah informasi di lapangan, massa dibayar bervariasi dari 50 ribu hingga 300 ribu.
Sumber : http://surabayapagi.com/read/demo-di...ibayar-50-ribu


areszzjay memberi reputasi
1
960
10


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan