Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

friya1Avatar border
TS
friya1
Cerpen Friya
Cerpen Friya



Cerita Cinta Gadis Remaja
 
 
Gadis belasan tahun itu kembali menemuiku. Azira, demikian ia memperkenalkan diri pada pertemuan kami yang pertama. Seperti biasa, ia memang selalu datang untuk bercerita dan berbagi semua beban di hatinya. Katanya tak ada teman lain yang lebih baik dan bisa membuatnya nyaman.
 
Denganku ia selalu bisa membuka semua isi hatinya. Bahkan hal yang mungkin tak akan ia ceritakan pada orang lain, karena setiap rahasianya selalu terkunci disini. Tak sedikitpun ceritanya pernah kubuka. Pun pada ibunya juga tidak, kendati hampir setiap hari kami bertemu.
 
Bagiku Azira adalah teman yang manis, pintar dan berprestasi. Terbukti dengan deretan piala yang tersusuh rapi di kamarnya. Ia juga cukup manis dengan tubuh mungil dan rambut panjang yang selalu terikat rapi.
 
Malam ini ia datang dengan menangis. Apalagi kalau bukan tentang si Rudi, cowok playboy kampungan itu. Maaf saja kalau terasa kasar, tapi aku memang tak menyukainya. Cowok payah, hampir selalu membuat Azira menangis.
 
Seperti minggu lalu, ia membentak Azira di depan semua teman satu kelasnya. Tebak apa sebabnya? Hanya karena Azira lupa membawakan bahan untuk tugas praktikum Rudi. Huhh ... mendengarnya saja membuatku terpancing emosi. Kenapa ia tak membawa sendiri tugas praktikumnya. Dasar playboy!
 
“Aku bertengkar lagi sama Rudi, Pon.” Azira memulai ceritanya. Ia memang selalu memanggilku dengan nama Poni, karena poniku yang berwarna kecoklatan terlihat begitu menarik katanya.
 
“Dia bilang aku terlalu pencemburu. Terlalu kepo dengan kegiatannya. Sekarang coba pikir, pacar mana yang nggak cemburu liat cowoknya cekikikan sama cewek lain di kantin?”
 
Hmhhh ... aku memang belum pernah pacaran, tapi aku tahu persis hubungan mereka berdua sudah tidak sehat. Setiap hari ada saja yang mereka ributkan. Terkadang hal-hal sepele saja bisa menjadi pemicu pertengkaran.
 
“Aku capek kayak gini terus, tapi aku sayang sama dia, Pon.”
 
Heran juga aku melihat Azira. Berkali-kali ia mengatakan ‘capek’, tapi nyatanya ia tetap bertahan. Entah apa yang ia harapkan dari Rudi si playboy itu. Aku belum pernah bertemu secara langsung dengannya. Namun, dari semua yang Azira ceritakan aku yakin dia bukan laki-laki yang baik.
 
Pernah ia bahkan memukul gadis manis ini hanya karena tak memberi kunci jawaban saat ujian. Azira menangis sejadi-jadinya padaku. Namun, ia tak ingin ada orang lain yang tahu. Begitulah hal itu tetap menjadi rahasia kami berdua.
 
“Mungkin dia udah nggak sayang lagi sama aku, ya?”
 
Seharusnya tanpa bertanyapun Azira sudah tahu bahwa ia hanya dimanfaatkan saja. Ia terlalu lugu hingga mengira sedikit perhatian dari Rudi adalah karena sayang. Akibatnya sekarang ia menahan sakit setiap hari. Namun, aku tak tahu bagaimana untuk membuatnya tersadar.
 
“Apa aku harus putus sama dia?”
 
Kalau aku ada di posisi Azira, sudah sejak dulu hal itu kulakukan. Namun, aku tetap memilih diam. Terus mendengarkan ia yang menangis. Azira bilang itulah yang membuat dia lebih senang bercerita kepada ku, dibandingkan teman-temannya yang lain.
 
Tak ada nyinyiran atau kalimat bernada provokasi, tetap hanya diam mendengarkan. Bukankah saat sedang sedih, orang kadang lebih butuh didengarkan ketimbang diceramahi.
 
Iba rasanya aku menatap tetes demi tetes airmata mubazir yang mengalir dari matanya. Namun, entah kenapa ia begitu keras bertahan.
 
Cukup lama ia bercerita hingga akhirnya gadis itu menguap, mengantuk.
 
“Semoga besok jadi hari yang lebih baik.” Selalu begitu kalimat terakhirnya pada setiap pertemuan kami. Namun, bagaimana akan menjadi hari yang lebih baik jika ia selalu memaksa hati mudanya untuk bertahan.
 
***
 
Terkadang kisah cinta gadis remaja membuatku bergidik ngeri. Bersama hanya untuk disakiti atau menyakiti. Bagaimana bisa seorang gadis menghabiskan waktunya hanya untuk menangisi laki-laki, yang bahkan belum pernah memberikan satu kebaikan apapun untuk hidupnya.
 
Azira contohnya. Bukan sekali dua kali dia datang dengan menangis. Demi satu nama, Rudi. Cowok temperamental yang selalu meributkan hal-hal kecil sekalipun.
 
Aku mengetahui semua kisah tentang mereka. Bagaimana awalnya mereka bisa menjalin hubungan yang berlabel ‘pacaran’. Azira jatuh hati pada Rudi yang selalu tersenyum manis. Berjalan dengan penuh kharisma, mereka menyebutnya ‘cool’.
 
Azira seperti mendapat durian runtuh saja ketika Rudi menyatakan cinta. Yang ia sebut ‘nembak’. Ia pulang sekolah dengan wajah berbinar-binar. Serta merta bercerita panjang lebar dengan senyum yang tak henti mengambang. Aku senang melihat lesung di pipinya yang nampak sangat manis bersanding dengan senyumnya.
 
Namun, hanya dua minggu berselang ia datang dengan menangis. Itu adalah pertengkaran mereka yang pertama. Rudi tidak senang karena Azira melabrak adik kelas yang duduk berdua dengannya di pojok sekolah.
 
Sejak itulah pertengkaran demi pertengkaran mereka terus saja terjadi. Membuat Azira terlalu sering pulang sekolah dengan mata yang basah, dan bangun tidur dengan mata yang bengkak.
 
Prestasi belajarnya pun agaknya menurun, karena tempo hari sempat kudengar ayahnya marah besar karena Azira sudah lima kali bolos sekolah dalam satu bulan. Apalagi kalau bukan karena bertengkar dengan Rudi.
 
Ingin sekali rasanya aku meminta Azira untuk meninggalkan pacar playboynya itu. Namun, tak ada kata-kata apapun yang mampu terucap.
 
****
 
Azira datang dengan wajah penuh kemarahan. Melemparkan segala apa yang ada di dekatnya. Aku memandang tak mengerti. Tak pernah ia nampak sebegitu marah.
 
Ia menatapku cukup lama sebelum akhirnya mendekat. Raut wajahnya sedikit melunak ketika berhadap-hadapan denganku.
 
“Dia jalan sama Bella, anak IPA 1. Cewek tengil itu. Aku pikir dia itu teman yang baik, kami udah satu sekolahan sejak SD, bisa-bisanya dia nusuk aku.”
 
Kini aku paham dengan kemarahannya. Hal ini sudah kuperkirakan jauh-jauh hari. Sudah pasti akan begini jadinya. Cowok seperti Rudi tidak akan tahan dengan satu gadis saja.
 
“Aku muak. Setelah semua yang aku lakuin buat dia, akhirnya begini. Berbulan-bulan sabar ngadepin sikap kasarnya, tapi apa balasnya?”
 
Tak ada lagi air mata yang keluar kini. Hanya kemarahan terpampang jelas di wajah manisnya. Lesung di pipi yang begitu kusuka pun kini tak hadir menghiasi.
 
“Aku bakal ngasih pelajaran sama cewek sialan itu!”
 
Ia serta merta berdiri dan berlari pergi. Aku merasa khawatir. Apa yang ia maksud dengan memberi pelajaran? Apa ia akan menyakiti gadis bernama Bella itu hanya demi seorang Rudi.
 
Tidak! Azira tak boleh melakukan hal yang gegabah. Ia bisa mendapat masalah besar nantinya, terutama dari ayahnya yang benar-benar keras. Namun, aku tak berdaya untuk mencegahnya.
 
Berjam-jam aku menunggunya dengan gelisah. Apa yang ia lakukan pada gadis itu. Ia pasti akan bercerita lagi padaku nantinya, siapa lagi yang selalu ia percaya selain aku. Semoga Azira tidak melakukan hal bodoh apapun.
 
Azira datang empat jam kemudian dengan senyum aneh terukir di bibirnya.
 
“Aku udah bales apa yang dia lakuin sama aku. Besok foto dia yang udah aku edit jadi separoh telanjang bakal tersebar di sekolah. Pasti dia bakal malu banget buat datang ke sekolah, kan? Rasain! Suruh siapa nyari masalah sama Zira!”
 
Aku terkesiap. Azira menyebarakan foto editan setengah telanjang gadis itu? Gadis yang malang, ia pasti akan merasa sangat malu.
 
Kutatap lagi wajah Azira yang masih mengulum senyum. Ini bukanlah Azira yang biasa. Bagaimana bisa gadis manis ini berubah menjadi begitu mengerikan hanya karena cinta.
 
Masalah besar menantinya kini. Jika esok hari foto itu tersebar, mereka pasti akan menyelidiki kebenarannya. Mereka akan tahu darimana foto itu berasal. Azira benar-benar dalam masalah. Ia mungkin lupa, serapi apapun ia menyimpan bangkai, baunya akan menguar di udara.
 
Astaga ... aku tak mengerti jalan pikiran gadis remaja. Gadis yang tadinya begitu manis berubah menjadi monster jahat dengan seringai di sudut bibirnya, demi memandang lawan yang kini tak berdaya.
 
Terlalu dini bagi gadis seusia mereka untuk bersentuhan dengan cinta, di saat mereka bahkan belum bisa mengendalikan emosi di dalam diri. Tak berpikir panjang ke belakang. Hanya memperturutkan ego semata. Sedikit perselisihan saja cukup untuk membuat mereka melakukan apa saja tanpa memikirkan resikonya.
 
Oh ... Azira ....
 
Tahukah kamu dengan masalah besar yang mengintai kini?
 
“Kita tunggu aja besok, Pon. Cewek gatel itu pasti bakal bersujud minta maaf di kakiku.”
 
Azira tersenyum puas. Andaikan ia tahu bahwa ialah yang akhirnya akan tersujud. Andaikan saja ia tahu betapa ia akan tersudut.
 
“Selamat malam, Pon,” tulisnya mengakhiri pertemuan malam ini.
 
Ia menyentuh benang wol berwarna coklat yang disusun membentuk poni pada sampulku. Bagiku, senyuman itu kini terasa begitu mengerikan.
 
****
istijabah
indahmami
anasabila
anasabila dan 15 lainnya memberi reputasi
16
1.8K
33
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan