Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

MataPolitikAvatar border
TS
MataPolitik
Rasisme, Kemarahan dan Momentum untuk Kemerdekaan Papua


Di kaki gunung Sentani, di mana hutan tropis yang rimbun terhampar di depan danau berwarna kehijauan, para jamaah bergerak memasuki gereja. Para pria mengenakan setelan jas dan dasi dan sandal atau kemeja batik, para wanita memakai tas rajutan beraneka warna tergantung dari kening ke punggung mereka.

Awan kelabu menggantung rendah di atas rumah ibadah itu, terbuat dari kayu dan timah dengan lantai warna-warni dan jendela besar terbuka yang memungkinkan masuknya udara lembab.

Hampir dua minggu setelah serangkaian protes dan kerusuhan terjadi di wilayah paling timur Indonesia, memicu pemberontakan paling buruk dalam satu dekade, bangku-bangku gereja di provinsi mayoritas Kristen ini penuh dan para jamaahnya marah.

Nyanyian himne gereja terkalahkan oleh suara Pendeta Benny Giay yang semakin keras, salah satu pendukung terbesar penentuan gerakan penentuan nasib sendiri. Kemarahannya jelas.

“Mereka menyebut kita binatang!” serunya dari mimbar saat para wanita di bangku-bangku gereja mendecakkan lidahnya karena jijik. “Sekarang ada protes anti-rasis dimana-mana. Ini seperti gempa bumi!”

Dinyalakan oleh ujaran kebencian rasis dua minggu lalu, protes di Papua Barat telah menyebar dan membesar, dengan ribuan orang turun ke jalan-jalan dalam serangkaian demonstrasi yang terus berlangsung dan terkadang berbuntut kekerasan.

Pada hari Kamis, para demonstran yang marah membakar gedung parlemen dan kantor polisi di Jayapura. Polisi menembakkan gas air mata dan enam ratus pasukan paramiliter tambahan telah dikirimkan ke kota itu. Setidaknya enam orang tewas terbunuh seiring situasi penuh kekerasan, yang terjadi di kawasan yang telah selama puluhan tahun dilanda konflik separatisme, meningkat setiap harinya.

The Guardian terbang ke Papua Barat, mendapatkan akses langka ke provinsi yang gerakan pro-kemerdekaannya tengah berada pada momen menentukan. Di lapangan, ada kemarahan yang menggelegak dan kebencian, tapi juga harapan bahwa kemarahan di jalan-jalan akan berubah menjadi momentum nyata untuk kemerdekaan.

“Protes itu adalah aksi spontan menentang rasisme,” ujar Victor Yeimo, dari Komite Nasional Papua Barat yang telah mengadvokasi perjuangan tanpa kekerasan untuk mencapai penentuan nasib sendiri. “Tapi rakyat menginginkan kemerdekaan,”

‘MASA BARU TELAH TIBA’

Papua Barat berada di bagian barat pulau Nugini. Wilayah Indonesia paling terpencil dan tertinggal ini ukurannya hampir sebesar Spanyol. Berada lebih dari 4.000 kilometer dari ibu kota Jakarta, wilayah ini adalah rumah dari beberapa hutan hujan terbesar setelah Amazon, dan kaya akan emas, tembaga, timah, dan gas alam.

Tapi wilayah ini terpecah oleh perpecahan mendalam. Protes yang dimulai pada pertengahan Agustus dipicu oleh video viral yang menunjukkan militer Indonesia mencela pelajar Papua di Surabaya, menyebut mereka “monyet”, “babi” dan “anjing”.

Sejak saat itu, protes telah menyebar ke 30 kota di dalam dan luar Papua Barat. Di sana, para demonstran telah mengibarkan bendera Bintang Kejora yang dilarang, simbol kemerdekaan Papua, dan memegang poster-poster bertuliskan “Papua merdeka, itu yang monyet inginkan.”

Setelah pasar dan gedung pemerintahan dibakar, pemerintah di Jakarta mengirimkan 1.000 pasukan keamanan tambahan ke provinsi yang sudah sangat termiliterisasi ini. Hal itu memicu ketakutan bahwa protes akan dilumpuhkan dengan kekerasan.

Namun protes Papua terus berlanjut, menyebar ke Jayapura dan dataran tinggi terpencil, dimana ribuan warga Papua dengan pakaian tradisional membawa tongkat, busur dan panah, berkumpul untuk mengungkapkan kemarahan mereka.

Di tengah kerusuhan ini, tokoh-tokoh utama gerakan kemerdekaan telah mengambil kesempatan untuk mencari momentum.

Menjabarkan situasinya sebagai “krisis sejarah”, Giay mendesak jamaahnya di gereja untuk mendidik anak-anak mereka agar “menjadi seperti Musa”, memimpin rakyatnya keluar dari perbudakan.

“Ini seperti masa baru telah tiba dan kita harus menempatkan diri kita kembali,” ujar Giay kepada The Guardian setelah khotbahnya, seiring para jamaahnya mendaki gunung dengan Alkitab di tangan.

‘KAMI TIDAK PERNAH PUNYA PILIHAN’

Bagi penduduk asli Papua, demonstrasi yang dimulai sebagai perjuangan melawan rasisme telah menyalakan kemarahan selama puluhan tahun yang bisa ditelusuri sampai ke masa kolonialisme.

Sementara Indonesia dan pulau-pulaunya yang kaya rempah diberikan kemerdekaan dari Belanda pada tahun 1949, Papua Barat, yang saat itu disebut Irian Jaya, tetap berada di bawah kontrol Belanda sampai pasukan Indonesia datang untuk “membebaskannya” pada tahun 1962. Pada bulan Agustus tahun itu, wilayah ini untuk sementara dibeli i bawah kontrol Indonesia.

Pada tahun 1969, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang kontroversial, dilangsungkan, memungkinkan rakyat untuk menentukan masa depan mereka sendiri. Banyak rakyat Papua mengklaim pemilihan itu dilakukan di bawah tekanan.

Dari populasi 800.000 orang, sekitar 1.022 warga Papua, dilaporkan dipilih oleh Jakarta dan ditahan di bawah pengawasan militer, secara serentak memilih integrasi.

Walaupun ada kekhawatiran atas proses ini, PBB mencatat hasilnya dalam Resolusi No. 2504, tanpa secara eksplisit mendukungnya.

Di benak para pemimpin pro-kemerdekaan Papua Barat, rasa ketidakadilan yang membentuk Pepera terus berada di hati warga Papua, memicu rasa ketidakadilan dan mendorong gerakan kemerdekaan yang tidak pernah berhasil dipadamkan.

‘RAKYAT PAPUA INGIN KEMERDEKAAN’

Di penjuru ibu kota Papua, Jayapura, muka-muka toko dihiasi dengan merah dan putih, warga bendera Indonesia, dekorasi dari perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus. Tapi nasionalisme sesungguhnya sulit ditemukan.

“Nasionalisme Indonesia hanyalah simbol di Papua, simbol yang dipaksakan kepada kami,” gerutu Victor Yeimo. “Bagaimana kami bisa mengatakan kami bagian dari Indonesia ketika kami tidak pernah memiliki pilihan?”

Filep Karma, seorang tokoh kemerdekaan penting yang menghabiskan 11 tahun di penjara karena mengibarkan bendera Bintang Kejora, duduk di balkon rumahnya di Jayapura, mengenakan pakaian safari coklat, dan bendera Timor TImur di topinya. Simbol kemerdekaan, ujarnya, adalah “motivasinya”.

“Kadang-kadang militer di kota mengancam saya dan mengatakan ‘copot pin itu’,” ujarnya tentang pin Bintang Kejoranya. “Saya bilang, ‘tembak saya dulu, lalu Anda bisa mencopotnya.” ujarnya sambil tertawa.

Seorang pelajar di Jawa, Karma mengenang seorang teman perempuannya melempar lelucon di depan teman-teman mereka. Jika mereka menikah, ejeknya, “semua monyet [warga Papua] akan tahu cara bernyanyi”.

“Ucapan itu menikam hati saya,” ujar Karma. “Di gereja mereka akan bilang kami bersaudara, jadi bagaimana bisa seseorang mengatakan hal itu?”

Di Indonesia pandangan umum tentang Papua, ujarnya, adalah “orang dengan kulit hitam, rambut keriting, dan badan berbulu” yang “bodoh, bau, dan kriminal”. Menemukan hal itu dalam kesehariannya, ia menambahkan, “mengenai Anda secara psikologis”.

Di sekitar Jayapura, poster-poster telah disebarkan meminta rakyat untuk menolak segala bentuk rasisme, tapi perpecahan etnis tampak jelas.

Di Jayapura Mall, hampir seluruh pengunjung dan penjual secara jelas bukan orang Papua. Rakyat asli Papua bisa ditemukan berkelompok di luar di bawah terik panas menjual kacang atau tas anyaman di trotoar.

Papua adalah tanah yang kaya sumber daya alam, tapi populasi aslinya mengeluh mereka tidak mendapatkan keuntungan cukup dari kekayaan alam itu—di Indonesia, Papua memiliki tingkat buta huruf dan HIV tertinggi.

Presiden Jokowi telah bekerja keras untuk membangun Papua, secara teratur mengunjungi dan menginisiasi proyek infrastruktur baru. Tapi terdapat juga kekecewaan yang pahit.

Pada tahun 2014, Jokowi berjanji akan menyelesaikan kasus HAM yang mengerikan di Papua, tapi kritik mengatakan tidak ada yang berubah dan untuk banyak rakyat Papua, mendapatkan keadilan lebih penting dibanding jalan atau jembatan baru.

“Pemerintah memerlukan pendekatan humanitarian, bukan militer jika mereka ingin memenangkan hati rakyat Papua,” ujar Marinus Yaung, seorang dosen hubungan internasional di Universitas Cendrawasih di Jayapura.

Di lapangan, isu referendum untuk penentuan nasib sendiri adalah masalah sensitif bagi rakyat Papua, yang khawatir akan pembalasan atas apa yang mereka katakan.

Di satu pasar tradisional, seorang wanita menjawab dengan hati-hati. “Rakyat Papua senang dengan Jokowi,” ujarnya. “Tapi seharusnya itu merupakan hak kami untuk memilih.”

Seorang jurnalis lokal yang meminta untuk tidak disebutkan namanya mengatakan kepada The Guardian: “Jika Anda bertanya pada rakyat Papua apakah mereka menginginkan kemerdekaan, mereka menginginkannya.”

Bahkan ketika kemarahan di Papua mendidih, analis mengatakan sulit untuk melihat bagaimana hal itu akan berubah tanpa tekanan dan dukungan internasional yang signifikan—sesuatu yang sangat kurang selama puluhan tahun dan menunjukkan hanya sedikit tanda akan muncul sekarang.

Bagi elit Jakarta, yang secara tegas menyatakan bahwa Papua secara sah dan tak terbantahkan merupakan bagian dari Indonesia, kemerdekaan bagi Papua Barat tetap menjadi angan-angan kosong. Pada hari Kamis, menteri keamanan Wiranto mengatakan, pemerintah tidak akan mempertimbangkan tuntutan apapun untuk kemerdekaan, menurut Kompas.com.

“Permintaan untuk referendum menurut saya tidak perlu disebutkan. Kenapa? Karena persatuan Republik Indonesia itu final,” ujar Wiranto.

Karma sudah terbiasa dengan sikap keras Jakarta dan realistis tentang mimpi kemerdekaan Papua: “Papua milik mereka, tapi di pikiran kami itu milih kami.”



Spoiler for Sumber:



Nggak seharusnya terjadi seperti ini, tapi sudah kejadian. Mudah-mudahan dapat penyelesaian yang terbaik.
codimo
soljin7
soljin7 dan codimo memberi reputasi
-2
1K
16
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan