Disadari atau tidak, bahwa kesalahan terbesar yang terletak dalam diri kita adalah minimnya waktu-kalo tidak dikatakan tidak punya waktu sama sekali- untuk melakukan intropeksi dan perenungan akan hidup kita yang penuh dengan kealpaan dan keegoisan.
Makan dan bersenang-senang seperti hewan peliharaan, tak pernah berfikir tentang perjalanan hidup, tak pernah tahu tentang hakikat hidup serta tak mau menyadari tentang peranan dan fungsi hidup sampai ajal menjemput kita.
Dari itulah, seharusnya kita sebagai manusia yang berakal selalu melakukan perenungan tentang dirinya. Bertanya pada dirinya; Siapakah saya? Darimana saya? siapa yang menciptakan saya? Apa peranan saya setelah saya diciptakan? Dan kepada siapakah saya kembali? Kenapa aku diciptakan? Apa tujuan diciptakanku kedunia ini?
Beberapa pertanyaan diatas kemudian disingkat oleh Dr. Yusuf al-Qordhowi menjadi tiga pertanyaan mendasar, Darimana saya? Mau kemana saya? Dan kenapa saya diciptakan?. Ketiga pertanyaan itulah yang seharusnya menyertai hidup manusia dan kemudian mencari jawaban yang tepat untuknya. Berikut adalah penjabaran dari ketiga pertanyaan diatas.
1. Darimana kita berasal?

Pertanyaaan ini sangat bermasalah bagi kelompok materialisme yang tidak beriman kecuali pada hal-hal yang bisa dilihat dan diraba. Mereka tidak peduli panggilan fitrahnya. Mereka mengagung–agungkan akalnya yang pada akhirnya mereka dalam kebutaan yang mendalam, sehingga mereka mengatakan bahwa alam dan seisinya yang penataannya penuh dengan keindahan terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan.
Berbeda dengan mereka yang peduli dan memperhatikan panggilan suara fitrahnya. Mereka menegaskan bahwa dibalik keindahan alam dan seisinya ini ada Allah yang menciptakan, mengatur dan menjaganya.Dan, kepada Allah hati nurani manusia berhubungan dengan penuh pengagungan, harapan, tawakkal dan pertolongan.
Hal itulah yang mereka rasakan dalam hati nurani mereka dengan secara mendasar. Dan inilah agama Allah yang disinyalir dalam al-Quran surat ar-Ruum sebagai berikut, yang artinya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama ( Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Ruum: 30)
Tak dapat dipungkiri bahwa panggilan fitrah itu berada dan berbisik dalam diri manusia baik dalam keadaan senang maupun susah. Buktinya, ketika ia mengalami suatu kejadian yang terus-menerus, takut kembali pada kejadian yang menakutkan dan harapannya dikecewakan oleh manusia sekitarnya maka saat itulah panggilan suara fitrah itu menjerit-jerit mengadu kepada sang pemilik segala alam.
Suatu ketika, ada seorang bertanya kepada Ja’far al-Shodiq RA. tentang eksistensi Allah. Seorang itu mengakatakan: apakah kamu pernah mengengarai perahu? Ja’far al-Shodiq RA. Menjawab ia. Kemudian seorang itu bertanya lagi: apakah pernah terlintas dalam benak anda, bagaimana andaikata perahu yang anda tumpangi ini diserbu angin besar kemudian terbalik sementara pada saat itu tidak ada cara atau seseoranng yang dapat menolongnya? Dia menjawab, ia. Terus pertanyaan terakhir yang dilontarkan seorang itu adalah, apakah anda merasa saat itu aka ada dzat yang dapat menolongmu jika ia berkehendak? Dijawab oleh Ja’far al-shodiq RA. Betul. Nah, itulah Allah, cetus seorang itu.
Kenyataan diatas telah diperkuat oleh beberapa ayat Alquran diantaranya adalah surat az-Zumar, yang artinya: Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaratan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhan-nya dengan kembali kepada-Nya.(Az-Zumar: 8)
Ahli fisika, filsafat, dan ahli sejarah keagamaan juga sudah pada mengakui bahwa sangatlah tidak masuk akal jika alam ini terjadi dengan sendiri dan kebetulan, pasti ada dzat yang menciptakan dan mengaturnya. Karena akal mereka juga pada mengakui tentang teori klausalitas. Maka, Sangatlah aneh dan mungkin bisa dikatakan gila jika ada seorang mengaku ada produk akan tetapi tidak ada pembuatnya.
Dari itu semua dapat ditarik kesimpulan bahwa iman terhadap eksistensi Allah adalah merupakan suatu kewajiban dan bersifat dhoruri (harus, tidak bisa ditolak). Karena akal yang cerdas dan sehat pasti menerima jika iman kepada Allah merupakan suatu keharusan berdasarkan bukti-bukti ciptaannya yang sangat indah dan mengasyikkan.
3. Kenapa manusia itu diciptakan?

Pertanyaan ketiga inilah yang wajib manusia tanyakan setelah ia tahu tentang dirinya sebagai karya cipta dari sang pencipta Allah azza wajalla. Kenapa ia diciptakan ke dunia ini? Kenapa ia dibedakan dari jumlah karya cipta yang lainnya? Dan apakah misi dan fungsi saya didunia ini?
Jawabannya adalah bahwa setiap Pencipta pasti tahu tentang rahasia ciptaan-Nya dengan bentuknya yang berbeda-beda. Sedangkan Allah adalah satu-satunya Zat yang menciptakan, mengatur dan menjaga manusia. Kemudian coba kita tanyakan, Ya Allah kenapa engkau menciptakan manusia? Apakah engkau menciptakannya untuk makan dan minum saja? Apakah engkau menciptakan-Nya hanya menjadi hiasan saja? Dan beberapa pertanyaan yang lainnya.
Dengan halusnya Allah membantah semua pertanyaan itu dengan ayat yang artinya:
“Ingatlah ketika tuhanmu berfiraman kepada para malaikat, “sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata ” mengapa engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan menyucikan engkau?” Tuhan berfirman,”sesungguhnya aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.” (SQ. Al-Baqarah: 30)
Ayat diatas sudah sangat jelas mengatakan bahwa peranan, misi dan fungsi manusia di dunia ini adalah sebagai khalifah yang ditugas langsung oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Namun hal pertama yang perlu diperhatikan dengan tajam oleh manusia sebagai khalifah adalah mengetahui Tuhannya dan beribadah kepada-Nya dengan sungguh-sungguh dan benar. Karena hal itu merupakan panggilan awal dari setiap risalah kenabian yang dikuatkan oleh firmannya yang artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan akau tidak menhendaki supaya mereka memberi aku makan. (QS. Adz Dzariyat: 56) Wallahu a’lam