Quote:
"Kamu serius mau menjadi anggota dewan bos? Sudah kamu pikir bener-bener nih?" Tanya ku kepada teman, sobat, atau aku lebih suka menyebutnya sebagai partner diskusi dan partner satu idiologi.
"Sudah ndo. Keadaan yang memaksa ku untuk turun."
"Butuh kerjaan ya? Kamu bilang aja pengen kerja di mana, sebisanya tak bantu."
"Hehehe. Ini bukan soal pekerjaan, tapi ini soal aktivitas gerakan." Katanya, sambil menghembuskan asap kretek yang dihisapnya.
Panggil dia Lenin. Aku mengenalnya lebih dari 10 tahun lalu. Saat aku dipidana, dan dia rajin mengunjungi temannya yang juga sedang menjalani masa hukuman di dalam penjara. Usianya 9 tahun lebih tua dari ku. Dia adalah singa podium pada masanya. Dia bukan anak ibukota, tapi saat ibukota sedang bergolak karena gelombang demonstrasi mahasiswa, dia ada di sana.
Apa alasan dia rutin mengunjungi penjara kala itu? Temannya adalah korban dari ganasnya dunia. Melaksanakan perintah atasan, hanya untuk menjadi bamper dan tumbal. Kejam, tapi itulah kehidupan. Aku tahu orang macam apa Lenin. Dia bergerak dan merangkul orang-orang pinggiran. Tak terhitung berapa anak yang dia angkat dari jalanan menjadi pemuda penuh masa depan.
Ternak bebek, ternak lele, sablon, sampai menjadi politisi adalah hasil didikan tangan dinginnya. Hari ini dia merasakan kegelisahan yang tak kunjung ketemu ujung pangkalnya. Kegelisahan yang membuat dia memutuskan untuk turun gelanggang dan bertarung memperebutkan kursi yang dulu kita sebut,
kursi kotor. Lenin merasa, tidak akan membuat perubahan jika hanya berteriak dari luar. Itulah alasan yang dia kemukanan di malam dingin, di warung kopi mbah Jenggot.
Dia ingin masuk, dan dia ingin dukungan ku. Bukan dukungan finansial yang dia inginkan. Tapi dukungan moral, semangat, dan juga tulisan ku yang katanya tajam menusuk ke jantung orang-orang pragmatis. Apakah dia sudah kaya raya? Tidak! Dia biasa saja, khas keluarga menengah di kota kecil. Dia hanya punya rumah warisan dari orang tua, sebuah mobil hibah dari seorang yang pernah ditolongnya, dan pekerjaan di sebuah pabrik besar di kota ini.
Quote:
"Mengapa harus Beringin? Bukankah kita sepakat bahwa di sana adalah sarang demit?" Tanya ku ketika tahu, lewat partai apa dia akan berkontestasi.
"Satu, mereka punya basis suara di dapil yang aku ikuti. Dua, caleg mereka yang di tahun 2014 jadi anggota dewan, tahun ini tidak maju lagi. Tiga, mereka tidak meminta uang yang berlebihan. Empat, mereka bukan partai baru." Urainya.
"Jadi, alasan mu tidak masuk partainya 'anak gaul' karena itu ya?" Tanya ku.
"Iya. Sosialisasi dari awal, itu berat. Sedangkan kondisi sudah sedemikian genting."
"Masuk akal. Tapi aku masih belum yakin. Coba kamu yakinkan ku, kenapa kamu harus jadi anggota dewan!"
"Ndo, kamu ingat kebijakan penggratisan seluruh biaya RS bagi orang miskin?"
"Ingat."
"Dan kamu ingat, ada yang coba mengutak-atik itu beberapa bulan lalu?"
"Yah, dan dengan suara jalanan, kebijakan itu batal. Bahkan bertambah dengan kebijakan pemberian uang saku pada keluarga pasien."
"Kamu pikir itu bagus?"
"Hm.." Aku hanya bisa bergumam.
"Honorer 1 juta per bulan ndo, belum marbot, belum pengurus ini itu. Kamu pikir itu bukan bom waktu yang akan membunuh anggaran kita?" Tegasnya.
"Masyarakat kita butuh kail, bukan ikan! Kita sepakat, bahwa penerimaan honorer secara terus menerus adalah salah! Dan kamu tahu bahwa sistem yang salah, akan hancur pada saatnya. Apa kamu mau menunggu ini hancur?"
"Satu suara mu di Getas, tidak akan merubah apapun.." Getas adalah tempat anggota dewan berkantor.
"Tapi satu suara ku di dalam, ditambah gerakan di luar akan membuat semuanya menjadi distorsi yang indah."
"Kamu yakin tidak akan jadi pecandu wanita, pemabuk elite, dan tukang kimpoi elegan jika nanti masuk ke sana?" Tanya ku.
"Kamu tahu aku, kamu tahu rumah ku, kamu tahu istriku, bahkan kamu tahu keluarga besar ku. Mereka taruhan ku ndo." Jawabnya mantab.
"Hanya itu?"
"Komunitas akan tetap jalan, jika aku ada di dalam. Komunitas akan membesar, jika aku ikut menentukan arah kebijakan. Bukan seperti sekarang, nggembel kesana-kesini, padahal adal milyaran yang dibuat bancaan."
"Hari ini sekretariat pun tak punya, tiap mau mewujudkan wacana, halangannya selalu sama, dana. Aku sedang tidak menafikan bantuan dari boss-boss di atas sana, tapi aku merasa, ini bukan jalan yang tepat."
Aku ingin negara, dalam hal ini anggota dewan dan juga pemerintah yang kelak aku legislasi tahu problem riil masyarakat dan memikirkan jalan keluarnya."
Diam-diam aku membenarkan semua alasan yang dia kemukakan. Diam-diam, aku malu pada diri ku sendiri. Memang benar, jika ingin membuat perubahan, maka mulai lah dari dalam. Aku selalu berfikir, sistem di negara ini sudah terlalu busuk. Ibarat kanker, ini bukan lagi stadium empat, tapi stadium lima. Jika semua diam, lalu siapa yang akan berkuasa dan menggunakan kuasa? Tentu para bandit-bandit tak tahu kenyang.
Kami terdiam dalam pikiran masing-masing. Aku ingat masa muda ku dan semua teman-teman pergerakan ku. Mereka sebagian besar terpental dan menyerah dengan keadaan. Yang kuat iman, tidak akan mendekat kepada kekuasaan dan pemerintahan. Mereka memilih berusaha di jalur yang lain. Entah jadi petani, pengusaha, pedagang, bahkan menjadi buruh serabutan sambil sesekali menelurkan tulisan.
Yang imannya tipis, akan memilih jalur pragmatis. Masuk ke pemerintahan, ke legislatif sebagai anggota dewan. Mereka inilah oportunis sejati pengejar kuasa. Tak peduli jalan yang mereka tempuh adalah jalan penuh darah dan air mata bangsa mereka. Aku takut Lenin menjadi seperti ini, aku takut dia menjadi manusia tamak yang menempatkan uang di atas segalanya. Itulah alasan mengapa aku tidak langsung meng-iyakan permintaan dukungannya.
Namun semua argumennya, sorot matanya dan track recordnya membuat aku akhirnya luluh. Aku masih ingat ketika dia menjual satu-satunya motor kepunyaannya untuk membayar hutang seorang janda tua yang terancam kehilangan rumah karena berurusan dengan rentenir. Padahal dari motif apapun, tidak ada keuntungan yang dia dapat. Apa yang bisa diharapkan dari janda 60-an tahun yang hidup sebatang kara?
Mendapatkan cintanya? Mungkin alasan paling logis adalah, mengharapkan doa darinya. Berminggu-minggu dia berjalan kaki untuk mencapai tempat kerjanya, karena motor itulah yang dia punya. Dia juga tetap rajin mengorganisasi dan bergerak menggalang kekuatan masyarakat untuk sadar akan posisi. Ketika ada yang menawarinya pinjaman motor, dia tolak mentah-mentah tawaran itu. Sampai akhirnya kita menemukan cara membantunya. Menjual motor
STNK only yang terjangkau kantong tipisnya.
Atas dasar itulah,keyakinan ku pun menebal. Dia bisa aku pegang omongannya, dia bisa aku pegang janjinya. Baiklah, jika aku memang tidak bisa untuk berkontestasi, rasanya memberikan dukungan kepada mereka yang benar-benar siap adalah opsi paling masuk akal dan baik. Paling tidak, aku sudah melakukan sesuatu untuk perpolitikan negeri ini.
Quote:
"Berapa suara yang kamu butuhkan untuk bisa duduk di kursi kotor itu boss?" Tanya ku setelah kita lama saling diam
"Untuk amannya, aku butuh sekitar 5000 suara ndo." Jawabnya mantab.
"5000 suara, kali 50.000 sama dengan 250.000.000" Gumam ku.
"Heeh!! Dari awal aku sudah bilang, aku tidak mau main politik uang!" Sergahnya keras!
"Tanpa politik uang, kamu berharap untuk menang? Jangan mimpi boss! Masyarakat kita maindsetnya jelas, no money no party." Aku sedang ingin bercanda dengannya.
"Kalau kamu masih bertahan dengan pendapat mu, lebih baik kamu tidak usah mendukung ku ndo, dan kita tetap jadi teman. Politik ku dari dulu sama, awali semua kebaikan dengan kebaikan. Sisanya, serahkan pada Tuhan."
"Hahahaha. Aku tak sekolot itu kawan. Ayolah, kadang seorang teman perlu menjerumuskan temannya agar dia tahu, betapa sayangnya dia pada temannya."
"Gojekan mu sama sekali tidak lucu ndo! Aku butuh dukungan mu, bukan dalam bentuk materi. tapi butuh provokasi mu!"
"5000 suara. Hm.." Aku masih bingung, mau mencari kemana suara sebanyak itu.
"Jangan bilang kamu tidak ada ide ndo! Kamu orang dengan berjuta ide. Bahkan jika harus nyerempet bahaya pun siap. Garisnya jelas, jangan main politik uang."
"itu sama dengan Persebaya yang tidak boleh memainkan Irfan Jaya dan Dutra meskipun mereka segar bugar dan siap tanding boss."
"Aku tidak butuh analogi ndo, aku butuh strategy."
:"Dan aku menemukan strategy itu!"
"Apa?"
"Kita rampok suara kompetior, kita nggandul tokoh-tokoh besar di sini, terakhir, kita main tandem dengan caleg di level yang lebih tinggi."
"Soal agitasi, kita lakukan bertahap, di media sosial, di grup WA, dan pada saat pencoblosan mulai dekat, kita turun langsung untuk menjemput suara." Saran ku.
"Kamu yang akan menyusun semuanya?" Tegasnya
"Hahahaha. Tentu saja tidak, aku bola liar boss, tidak bisa kamu ajak terlalu kentara dengan kamu."
"Seperti dulu? Saat kamu berada di barisan yang memukuli kami, padahal kamu adalah teman kami."
"Itu poinnya."
"janc*kkk koe ki ndo."
Kawan ku akhirnya bisa tersenyum setelah sedari tadi pamer muka cemberut dan bingung. Padahal, dalam hati aku sendiri masih bingung mau
ngapaindan mau kemana. Mendompleng tokoh, mungkin bisa aku lakukan. Tapi melakukan agitasi di media sosial? Aku kurang pandai dalam hal itu. Mungkin gerakan masif di lapangan lah yang akan banyak membantu ku.
Sembilan bulan setelah percakapan di warung kopi mbah Jenggot, Lenin tiba di hari yang sangat menentukan. Sebenarnya buat dia tidak berarti apa-apa. Ketika dia kalah, dia akan tetap bisa bekerja seperti biasa dan tidak kehilangan apa-apa. Yang rugi ketika dia kalah adalah masyarakat itu sendiri. Dia menawarkan banyak hal yang menurut ku sangat masuk akal.
Quote:
"H-7 boss, sudah siap untuk kalah?" Tanya ku ketika kita bertemu di tepi sebuah pemakaman Tionghoa di kota ini. Yah, itulah kami, tak peduli tempat dan waktu untuk ketemu.
"Hahahahahaa. Sebaiknya kamu tanyakan itu kepada orang-orang terdekat mu ndo. Apa yang hilang dari diri ku saat aku kalah? Tidak ada. Tapi, coba kamu pikir apa yang mereka dapat, jika tukang suap itu duduk di kursi berdebu itu?"
"Dana Bagi Hasil Cukai itu enak sekali boss. Triliunan uang yang ditransfer dan siap untuk disikat dengan dalih kesejahteraan rakyat." Satire ku.
"Kita lihat saja ndo, aku, kamu dan kita sudah mengusahakan. Sekarang, biarkan tangan Tuhan yang bekerja. Aku hanya manusia senja, yang pulang ke rumah untuk pelukan istri dan anak ku."
"Aku hanya ingin semua orang di kota ini merasakan apa yang aku rasakan ndo. Jika akhirnya mereka menolak, aku bisa apa?"
"Tetap bergerak dan berteriak dari luar. Senja tidak akan menghianati malam. Sama dengan aku dan kamu, yang selamanya akan berteriak untuk kepentingan yang kadang orang butuhkan, tapi tidak mereka pedulikan." Tukas gw
"Jadi, kapan kita bisa ngopi? Hehehehe.."
"Sekarang, warung mbah nggot."
"Hahahahhaaa.. Gas!!"
Di atas Vixion yang belakangan jadi tunggangan operasional ku, aku melihat kegetiran dari bangsa ini. Minimal yang ada di kota ku. Di mana masa depan hanya ditukar dengan lembaran uang. BSP, seorang caleg di dapil kota ku adalah bukti betapa masifnya permainan politik uang. Duhai Sang Pemilik Hidup, tolong bimbing jiwa-jiwa kami untuk tidak memilih manusia yang punya niat jahat pada negara kami.
Sumber Gambar :
sini