Quote:
Cinta tidak pernah meilih kepada siapa rasa itu jatuh
Cuaca nampak cerah. Burung-burung berkicau merdu di atas daun palem yang tumbuh di halaman rumah. Aku duduk di ruang tamu memperhatikan putriku, Anisa. Ia nampak sibuk mengenakan segala atribut pramuka karena hari ini akan mengikuti pesta siaga. Melihatnya mengenakan seragam berwarna coklat tersebut, menggiring ingatanku kembali ke masa lampau, saat menjalani kegitan pramuka setingkat penggalang.
****
Waktu itu, tepat saat mentari terasa di atas ubun-ubun reguku sampai di pos 5. Aku berpapasan dengan regu Mawar yang telah selesai melaksanakan tugas tali-temali dari kakak pembina. Mona, sang ketua regu melirik ke arahku kemudian. Brukkk! aku terjerembab di atas tanah kering dan keras karena hujan telah lama tak membasahi bumi. Sontak tawa menggema dari beberapa regu yang sedang berada di tempat, tak terkecuali regu Mawar.
Quote:
"Makanya kalau jalan tuh hati-hati, Rani. Heran deh, orang ceroboh kaya kamu kok bisa sih di pilih jadi ketua regu," ucap Mona sinis dengan tawa yang masih tersisa.
Aku hanya diam tak menanggapi ucapannya, meski aku tahu dia yang sudah menjegal kakiku barusan. Mona memang suka mengerjaiku, bahkan semenjak di SD dulu. Hal itu dikarenakan ia tak mampu bersaing denganku dalam hal prestasi. Entah mengapa di SMP kami harus kembali satu sekolah.
"Kalian! Ada teman jatuh bukannya di bantu palah di ketawain," tegur seorang kakak pembina lelaki, berkulit sawo matang membuat suasana menjadi hening seketika.
"Kamu nggak papa? Ayo bangun." Ia mengulurkan tangan mencoba membantu. Aku sempat mendiamkan diri beberapa saat, sebelum akhirnya menerima bantuannya.
"Ng ... gak, aku nggak papa kok Kak," jawabku sedikit canggung sambil mengibaskan rok untuk menghilangkan debu, kemudian mengucapkan terima kasih.
"Nggak papa gimana? Kaki kamu terluka gitu kok?" ucapnya sedikit khawatir. Sepertinya ia melihat luka di lutut kiriku ketika aku mengibaskan rok.
"Nggak papa Kak, cuma luka kecil. Nanti juga kering sendiri," sahutku cepat meski lututku terasa perih.
"Sudah, suruh regu kamu untuk beristirahat terlebih dahulu, sementara aku akan mengambilkan peralatan P3K dari dalam tasku. Untuk regu Mawar, kenapa masih di sini? Silahkan menuju ke pos berikutnya." Arahnya panjang lebar.
Aku pun tak kuasa menolak arahannya, begitu juga regu Mawar. Mona sempat melirik ke arahku dengan muka masam sebelum akhirnya pergi.
Quote:
"Bunda! ngelamunin apa sih, di tanyain dari tadi kok diem aja."
Aku terkejut oleh suara protes Anisa, dan seketika lamunanku pun buyar.
"Iya Sayang, maaf. Tadi kamu tanya apa?"
Aku mengelus rambut panjang Anisa yang di kepang dua dengan tali pita terikat di ujungnya.
"Bekal Anisa, mana Bund...? Nanti aku keburu telat loh," jawabnya dengan muka cemberut.
"Oh ... itu, bentar ya biar Bunda ambilkan di dapur." Dengan tergesa aku bangkit dari tempat dudukku, namun aku palah menabrak mas Rendi. Entah sejak kapan ia berdiri di sampingku?
"Bunda, ngelamunin apa sih sampai nggak sadar kalau Ayah berdiri di sini dari tadi?" Tanya mas Rendi sambil memasang kancing lengan kemeja panjangnya.
"Mau tahu, apa mau tahu banget? Kalau mau tahu banget tunggu di sini, nanti Bunda jelasin," bisikku di telinga mas Rendi, kemudian berlari meninggalkannya untuk mengambil bekal Anisa.
"Mas, mau tahu tadi aku ngelamunin apa?" Kutatap wajah mas Rendi serius, setelah Anisa pergi.
"Memangnya apa Bund?" Mas Rendi mengerutkan dahi, hingga alis tebalnya hampir bertaut.
Aku terdiam sesaat kemudian berkata, "Ngelamunin kakak pembina yang pernah ngasih bunda plester sama betadine di acara pramuka." lanjutku sambil tersenyum penuh makna, dengan kedua lengan di atas dada. Wajah mas Rendi yang semula serius, kini ikut tersenyum mengerti.
Ya! Kakak pembina itu adalah mas Rendi, suamiku. Aku kembali bertemu dengannya di bangku kuliah, karena kami kuliah di universitas yang sama. Lucunya, saat itu kami masih saling mengenal satu sama lain meski lama tak bertemu.
Dari situlah hubungan pertemananku dan mas Rendi di mulai. Hingga lambat laun tumbuh perasaan tak biasa di hatiku. Pucuk di cinta ulam pun tiba. Ternyata dia juga memiliki perasaan yang sama. Ia mengungkapkan isi hatinya di semester ke-2 ku. Tanpa menunggu lama aku langsung menerimanya. Lalu setelah lulus kuliah dan sama-sama bekerja kami memutuskan untuk menikah.
Itulah sepenggal kenangan tentang pramuka. Aku tak menyangka, sosok lelaki yang kutemui di acara tersebut adalah jodohku. Padahal dulu aku tak memiliki perasaan apapun dengannya. Takdir memang sering kali membawa manusia pada hal-hal tidak terduga.
End
Cilacap, 06 Agustus 2019
Sumber gambar :
www.pramukaria.id