Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nayranaAvatar border
TS
nayrana
Bukan yang Terpilih
Bukan yang Terpilih


"Kamu kenapa?" tanya Ega bingung ketika melihat Aya-tunangannya-terlihat tak senang melihatnya datang.

"Ah ... nggak apa-apa," jawab Aya seraya menunduk, menghindari tatapan curiga Ega.

"Yakin?" tanya Ega tak percaya, "kamu keliatan nggak suka gitu liat aku pulang. Apa ada masalah?" Ega bertanya lagi, mengamati wajah Aya yang menurutnya sedang menyembunyikan sesuatu.

Ega sudah mengenal Aya hampir dua belas tahun lamanya. Awalnya, hubungan mereka hanya sebatas sahabat ketika masa remaja. Namun, saat beranjak dewasa, Ega mengerti bahwa selama ini hanya Aya yang bisa membuatnya paling nyaman.

Ega ingin menjalin hubungan serius dengan Aya. Namun, hubungan mereka harus diuji. Ega mendapat tugas ke luar pulau selama empat tahun tepat setelah melamar Aya. Sejak saat itu, Ega harus rela menjalin hubungan jarak jauh. Keduanya saling menjaga kepercayaan, hingga nanti Ega kembali membawa sejumput harapan untuk bisa menikahi gadis yang dia cintai.

Ega mengajak Aya untuk bertemu di rumah gadis itu. Sekaligus membicarakan perihal pernikahan mereka yang akan dilaksanakan tidak lama lagi.

Namun, sayangnya reaksi Aya saat bertemu Ega tidak seperti yang ia harapkan. Aya terlihat sangat gugup, rasa cemas terpancar jelas di matanya, membuat Ega merasa kasihan dengan gadis itu. Ega merasa, selama mereka terpisah, Aya mengalami berbagai tekanan. Karena itulah, Ega berinisiatif mengajak Aya ke suatu tempat yang disukai gadis itu.

"Gimana kalo besok kita jalan-jalan? Aku pikir kita berdua butuh refreshing," kata Ega seraya tersenyum manis, menatap wajah Aya yang tampak bingung setelah mendengar pernyataannya.

"Ke mana?"

"Ke tempat yang kamu suka."

Aya berpikir sejenak, membayangkan tempat apa saja yang ingin di kunjungi. Aya mulai mengoceh, menyebutkan nama-nama semua tempat yang dia sukai. Mulai dari pantai, gunung dan air terjun, serta beberapa tempat rekreasi lainnya.

"Kita datangin aja semuanya," kata Ega, memotong ocehan Aya yang bingung ketika memilih tempat mana yang ingin dia kunjungi.

"Kamu serius?" tanya Aya seolah tak percaya.

Ega mengangguk, tersenyum senang melihat perubahan ekspresi Aya. Apa pun akan Ega lakukan untuk menyenangkan hati gadis itu.

Aya benar-benar memanfaatkan waktunya. Dia berjalan dan mengunjungi tempat ke mana pun yang dia inginkan. Ega sangat memanjakan Aya. Apa pun yang diinginkan gadis itu, selalu dipenuhinya selagi dia bisa.

Akan tetapi, setelah kepulangan mereka dari jalan-jalan itu, sikap Aya kembali seperti semula, membuat Ega semakin heran. Tiap kali Ega bertanya, jawaban Aya selalu tidak ada apa-apa.

"Kalau ada sesuatu bilang, Ay. Aku bingung liat sikap kamu kek gini. Bentar lagi kita akan nikah dan aku nggak mau sampai terjadi sesuatu," tegas Ega gemas melihat sikap Aya. "Misal aku ada salah, kamu harus ngomong, jangan cuma diam. Biar aku juga tahu kesalahan aku di mana." Ega menambahkan kalimatnya dengan napas terputus-putus. Dia mengusap wajah kasar, menatap Aya bingung.

Aya menggigit bibir keras. Dia ingin mengatakan sesuatu.

"Kalau aku bilang sesuatu, kamu bakalan marah?" tanya Aya takut-takut, menatap Ega dengan mata berkaca-kaca.

"Enggak kalau kamu jujur."

Aya kembali menunduk, membiarkan bulir-bulir kristal itu membasahi pipinya yang mulus. Dengan bibir gemetar, dia berkata, "A-aku udah nggak perawan lagi, Ga."

Bak disambar petir di siang hari, tubuh Ega mematung seketika mendengar pengakuan yang dikatakan Aya. Jantungnya seakan berhenti berdetak sepersekian detik. Gadis yang dia jaga selama belasan tahun lamanya, mengaku sudah tidak perawan lagi. Gadis yang Ega percayai mampu menjaga cintanya sampai ke pelaminan, ternyata menodai kepercayaannya. Satu-satunya gadis yang paling mengerti Ega, sanggup untuk mengkhianatinya.

Ega tidak habis pikir, kenapa bisa Aya sampai tega melakukan itu, dengan siapa dia melakukannya, kapan, di mana, masihkah Aya berhubungan dengan lelaki itu sampai sekarang? Berbagai pertanyaan muncul dalam benak Ega, membuat perasaannya semakin kacau.

Ingin sekali Ega berteriak, menumpahkan sesak di dadanya. Mengeluarkan rasa sakit yang menikam hatinya. Beberapa kali Ega mengusak rambut, mengusap wajah, berusaha menormalkan emosinya yang siap meledak.

Setelah mengembuskan napas beberapa kali, Ega menatap Aya yang masih terisak.

"Kalau boleh tahu, sama siapa kamu ngelakuinnya?" tanya Ega dengan bibir bergetar, berusaha keras menahan emosinya. Dia hampir menangis, tetapi sebisa mungkin Ega menahan air matanya agar tidak tumpah.

Isakan Aya makin terdengar jelas. Gadis itu semakin mununduk, menyembunyikan wajah bersalahnya.
"Raka." Aya menjawab dengan suara sangat pelan, tetapi masih bisa didengar Ega dengan jelas.

Mendengar nama yang diucapkan Aya, tubuh Ega kembali merasakan sengatan listrik puluhan ribu volt. Kaku, seolah aliran darahnya berhenti seketika. Dari sekian banyak orang yang ada di dunia ini, dari banyaknya orang yang tidak Ega kenal, kenapa harus nama itu yang disebut Aya? Kenapa Aya menyerahkan kehormatannya dengan orang yang sangat dia kenal?

Mengapa harus Raka?

Ega terduduk lemas di kursi ruang tamu rumah Aya. Perih hatinya semakin menjadi, sakitnya menikam sampai ke ulu hati. Berulang kali, Ega menarik napas panjang dan mengembuskannya cepat, hanya untuk berusaha menenangkan perasaannya.

"Aku pengen tahu, alasan kenapa kamu ngelakuin ini," pinta Ega sehalus mungkin, agar Aya bisa mengatakan semuanya dengan jujur. Ega tidak mau lagi ada yang harus disembunyikan, semuanya harus terungkap saat ini juga.

Aya mengangkat wajah mendengar perkataan Ega, memandang pemuda itu tidak mengerti. Bukankah dia sudah berbuat kesalahan fatal, tetapi kenapa Ega begitu mudah memaafkan? Bukankah seharusnya Ega marah atau memaki Aya karena sudah menyerahkan kehormatannya dengan orang lain? Bukan orang lain lagi, tetapi sahabat dari Ega sendiri.

Namun, itu semua tidak dilakukan Ega. Membuat Aya semakin merasa bersalah. Dia malu dengan dirinya sendiri. Malu harus berhadapan dengan Ega.

"Sejak kamu mendapat tugas ke pulau Belitung, saat itu hubungan kita udah merenggang. Kamu mulai jarang hubungin aku. Kamu ingat nggak, Ga? Dalam sebulan, ada berapa kali kamu coba nelpon atau hanya sekedar ngirim pesan? Cuma sekali itu pun bentar, karena semua kerjaan kamu itu emang lebih penting. Awalnya aku bisa paham, dan nyoba ngasih pengertian sama semua alasan kamu. Tapi lama-kelamaan, aku mulai jenuh, Ga. Belum lagi perkataan orang kampung dan kerabat kalau aku udah dibongin sama kamu.

"Meski gitu, aku tetap setia nungguin kamu, tapi kamu sendiri seolah lupa sama aku. Saat aku membutuhkan kamu, kamu malah nggak ada muncul sama sekali. Padahal saat itu aku butuh sandaran untuk cerita, butuh orang untuk dengerin semua keluh kesah aku. tapi apa? Orang yang aku harepin malah nggak muncul sama sekali. Kamu seolah menghilang ...."

Aya menghentikan kalimatnya dengan napas tersengal-sengal. Air matanya semakin deras mengalir. Berulang kali, Aya mengusap kasar wajahnya yang basah.

"Kamu masih berhubungan sama Raka?" tanya Ega, menatap bahu Aya yang masih naik turun karena menangis. Seharusnya Ega tidak menanyakan apa alasan Aya melakukan ini, toh kejadian ini sudah terjadi dan semuanya tidak akan kembali seperti awal lagi.

Aya menggeleng. Dia tidak berani menatap wajah Ega. Aya sadar, apa pun alasan yang dia kemukakan, dia tetap salah. Tidak seharusnya ia mengkhiati perasaan Ega dengan berselingkuh dengan sahabat Ega sendiri. Namun, mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Aya tidak bisa mengembalikan waktu, yang dibutuhkannya hanyalah maaf dari Ega.

"Terus? Kamu mau bilang ke aku kalau kamu udah nyesel ngelakuin itu dan janji ngelupain cowok itu?"

Lagi-lagi Aya mengangguk. "Aku bakalan janji ngelupain dia."

Ega mengembuskan napas panjang. Dia memercayai janji yang dikatakan Aya. Tidak masalah Aya masih perawan atau tidak, karena yang dia cari dalam pernikahan bukan itu. Setidaknya untuk saat ini, Aya menyesal, mengakui semua kesalahannya.

"Pernikahan kita tinggal dua minggu lagi. Aku nggak mau bikin malu orang tua kita dan ngebatalin semuanya hanya karena denger kamu udah nggak perawan lagi. Lagian ... kamu satu-satunya cewek yang bisa ngerti aku. Sampe sekarang pun, aku masih nganggap kamu kek gitu."

"Maafin aku, Ga." Bibir Aya bergetar mengucap kata-kata itu. Merasa tidak pantas mendengar Ega memaafkannya semudah itu.

"Udahlah. Anggap aja kejadian ini nggak pernah terjadi. Kita bisa memulainya dari awal lagi."

Bagi Ega, masalah ini sudah selesai, tetapi entah mengapa, sikap Aya masih sama saat pertama kali Ega datang. Padahal persiapan pernikahan mereka semakin matang. Undangan sudah disebar, semua orang tahu Aya dan Ega akan menikah sebentar lagi.

Tepat seminggu sebelum pernikahan itu terjadi, Aya kembali mengajak Ega bertemu di rumah gadis itu dengan alasan ada hal penting yang harus dibicarakan perihal pernikahan mereka.

Ega sempat bertanya-tanya, hal penting apa? Kerena seingatnya persiapan pernikahannya denyan Aya sudah rampung seratus persen.

"Kamu sebenarnya mau ngomong apa, Ay?" tanya Ega bingung ketika melihat sikap Aya yang sepertinya sangat gugup.

"Aku ...." Aya tidak mampu untuk melanjutkan kalimatnya. Matanya bergerak liar, jantungnya berdegup kencang.

"Iya, kamu kenapa?"

Aya menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. "Aku pengen pernikahan kita lebih baik batalin aja," kata Aya cepat.

Dahi Ega mengerut dalam mendengar permintaan Aya.

"Tapi kenapa, Ay? Aku nggak masalah kamu masih perawan atau nggak. Persiapan nikahan kita udah seratus persen, undangan udah disebar. Tinggal nunggu harinya aja lagi, kamu bakalan sah jadi istri aku, tapi kenapa kamu malah mau ngebatalin semuanya!" geram Ega dengan napas memburu, tangannya terkepal erat menahan kemarahan yang hampir meledak. Wajahnya memerah, tubuhnya gemetar meredam emosi yang siap meletup.

Ingin rasanya Ega memaki Aya, menumpahkan segala rasa sakitnya di hadapan Aya, mengungkapkan apa yang Ega rasakan akibat semua dari luka yang diberikan perempuan itu, tetapi untuk apa?

Sebisa mungkin, Ega tidak ingin semakin memperburuk suasana, karena itulah, mati-matian Ega menekan perasaannya agar tidak memarahi Aya. Saat ini yang Ega butuhkan hanya berpikir rasional, bukan mengedapankan ego dan emosinya.

"Aku ngerasa nggak pantas buat kamu, Ga. Beberapa hari aku mikirin, menimbang masak-masak keputusan ini, bagi aku ini yang terbaik buat kita. Aku takut ke depannya bakalan terjadi hal-hal yang nggak diinginkan lalu berujung perceraian. Lebih baik kita gagal sekarang daripada nanti," jelas Aya sambil menatap Ega, menegaskan bahwa keputusannya memang sudah bulat, tidak dapat diganggu gugat lagi.

Ega menatap Aya dengan pandangan terluka. Dalam kurun waktu kurang dari satu bulan, dia harus menerima hatinya dipatahkan dua kali, oleh orang yang sama.

Menghela napas, Ega mengusap wajah kasar, mencoba menenangkan perasaannya yang kacau.

"Kalau itu keputusan kamu, apa boleh buat. Mungkin kamu ditakdirkan emang bukan jodoh aku." Ega tertawa sumbang, menertawakan kebodohannya. "Semoga kamu mendapatkan orang yang lebih baik dari aku."

"Aku bener-bener minta maaf, Ga," kata Aya dengan wajah berlinang air mata. Entah air mata apa, Ega tidak tahu, yang jelas hatinya saat ini benar-benar patah.

"Tidak masalah," kata Ega getir, "tapi bener yang sering orang bilang, sekuat apa pun kita mengejar jodoh, kalau Tuhan menakdirkan tidak berjodoh, maka orang itu tidak akan pernah menjadi pasangan kita. Aku ngerasain sekarang ...." Ega menghentikan ucapannya, menatap Aya yang masih menangis.

"Lebih baik aku pulang dulu, untuk ngabarin ke semua orang kalau pernikahan kita batal."

Hari itu juga, Ega memberi tahu semua orang. Terutama ayah dan ibunya dan seluruh keluarganya. Dia juga sampai meminta tolong ke ketua RT setempat, untuk memberi tahu kalau undangan pernikahan yang sudah disebar itu batal.

Ega benar-benar terpuruk. Sekian tahun dia mengenal Aya, nyaman dengan semua perhatian dari gadis itu, tapi kenyataannya dia harus menerima hal paling pahit dalam hidupnya.

Tepat tiga bulan setelahnya, Ega mendengar kabar kalau Aya menikah dengan Raka. Saat itulah Ega sadar, kalau Aya memang bukan jodoh terbaik untuknya.

End.

funk
YenieSue0101
syafetri
syafetri dan 5 lainnya memberi reputasi
6
636
18
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan