Presiden Joko Widodo telah mengirimkan surat resmi kepada IOC yang menyatakan keinginan Indonesia untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan Olimpiade 2032. Surat tersebut disampaikan Dubes RI untuk Swiss, Muliaman Hadad, pada 11 Februari lalu kepada Presiden IOC, Thomas Bach, di Laussane. Rangkaian tersebut menandakan keseriusan Indonesia untuk ikut tahap berikutnya; bidding sebagai calon tuan rumah Olimpiade 2032.

Persiapan yang dilakukan KOI dan pemerintah menghadapi bidding tidak sesederhana sebagaimana kita membuka lelang kepada kontraktor, tapi lebih daripada itu. Banyak sekali hal-hal yang menjadi perhatian agar kegiatan besar dunia ini bisa dilaksanakan di Indonesia, seperti venue hingga sarana dan prasarana, akomodasi, keamanan, itu semua menjadi fokus.



Urusan venue, Indonesia masih mengandalkan venue yang digunakan saat Asian Games 2018, karena memang sudah diketahui bahwa berbagai venue Asian Games 20l8 itu sudah memenuhi kualifikasi level internasional. Masalahnya, belum didapat informasi apakah Olimpiade nanti bisa dilaksanakan di dua kota atau tidak. Ada yang menyebut penyelenggaraan Olimpiade harus di satu kota. Namun di Olympic Charter, tidak ditekankan secara jelas mengenai itu. Pengalaman untuk Asian Games kan di dua kota, Jakarta dan Palembang.

Untuk persiapan selain venue, harus menginventarisi kapasitas hotel di Jakarta untuk bisa menampung delegasi dari 206 negara. Kemudian transportasi juga harus diperhatikan. Belum lagi tenaga-tenaga sukarela atau volunteer yang tentu dibutuhkan banyak sekali.

Pengajuan ini memang tidak mudah, tapi Indonesia optimistis dengan upaya pemerintah yang telah menyerahkan surat pengajuan sebagai tuan rumah. Tinggal bagaimana keberhasilan kita di Asian Games 2018 kemarin yang sudah bagus wajib kita evaluasi dan tingkatkan. Istilahnya, kalau di sekolah itu sudah dapat nilai A. nah bagaimana caranya kemudian bisa dapat A plus.

Koordinasi antara Pemerintah dan KOI dalam fase persiapan tentu otomatis sudah jalan. Tidak mungkin KOI atau pemerintah jalan sendiri. Informasi pertama bahwa Indonesia ingin mengajukan diri sebagai calon tuan rumah Olimpiade itu pada saat pertemuan Presiden Jokowi dengan Presiden IOC, Thomas Bach, di Istana Bogor menjelang penutupan Asian Games 2018. Dari situ otomatis sudah ada koordinasi, termasuk dengan Kemenpora hingga surat pengajuan ikut bidding itu disampaikan.



Korea Bersatu menjadi lawan berat karena lebih maju dalam infrastruktur prioritas, seperti transportasi, ketimbang lndonesia. Bisa dibayangkan, pada 1980, Korea Selatan telah memulai proyek subway sembari mengambil langkah strategis mengurangi angka kendaraan hennotor.

Jika mengacu pada kesiapan infrastruktur, tentu butuh perencanaan yang panjang dan matang. Namun sayangnya, Kementerian PUPR belum memasukkan persiapan infrastruktur untuk Olimpiade 2032 ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Karena, penetapan tuan rumah Olimpiade 2032 baru akan ditetapkan paling cepat dalam sidang International Olympic Council (IOC) 2024. Sehingga penyiapan saat ini belum masuk dalam rancangan RPJMN 2020-2024.

Belum ada penugasan secara spesifik kepada Kementerian PUPR untuk menangani hal tersebut. Meski demikian, infrastruktur Asian Games 2018 masih banyak yang sudah terstandardisasi secara intemasional. Salah satunya venue akuatik yang telah distandardisasi secara internasional oleh FINA (Fedbration internationale de natation).

Selain itu, penting juga untuk menyepakati cabang olahraga yang akan dipertandingkan nanti. Hal ini berhubungan langsung dengan perencanaan dan pembiayaan pembangunan venue. Perlu dipikirkan bagaimana venue yang dibangun dapat dimanfaatkan secara multifungsi sehingga dapat meringankan hiava pemeliharaan, apabila perlu dapat dikerjasamakan dengan swasta.



Jika melihat progres pembangunan infrastruktur transportasi prioritas. ada tujuh infrastruktur, seperti light rail transit (LRT), mass rapid transit (MRT), circular line, dan perkeretaapian umum yang pembangunannya sudah berlangsung. Dan lima di antaranya akan mulai beroperasi pada 2019 dan 2025.

Khusus untuk kawasan Jakarta, pemerintah pusat dan Pemprov DKI akan melakukan akselerasi pembangungan infrastruktur. Gubernur DKI, Anies Baswedan. menegaskan bahwa pengerjaan infrastruktur transportasi terintegrasi akan dikebut dalam waktu sekitar 10 tahun. Pertimbangannya sederhana saja, Indonesia mau masalah dasar sebuah kota seperti Jakarta, beres.

Program percepatan ini akan menargetkan jaringan MRT sepanjang 223 kilometer. LRT akan bertambah menjadi 431 kilometer, sementara jalur Transjakarta akan mengalami penambahan hingga 2.149 kilometer.

Soal anggaran, dibutuhkan uang lebih dari Rp571 triliun untuk mengebut pembangunan proyek strategis ini. Anggaran itu tentu saja tidak hanya berasal dari APBN dan APBD semata, melainkan juga dari pinjaman, investasi, hingga skema kemitraan pemerintah dan badan usaha (KPBU).