Sumber Gambar: Screnshoot Google
Hallo, Agan and Sista. Boleh curhat? Boleh, kan, ya? Siang ini suasana hati Ara sedang tidak baik. Rasanya pengen menghilang dari kota tempat Ara tinggal. Bukan hilang dari bumi, loh, ya. Ara belum mau mati. Masih banyak dosa dan amal baik belum jelas ada yang diterima atau tidak.
Pukul 12:53 tadi. Kesabaran Ara diuji. Padahal, baru saja selesai sholat dzuhur.
Quote:
Di Arab, tamu adalah raja. Di Indonesia, pembeli adalah raja.
Kenapa di Arab mengibaratkan tamu adalah raja? Karena mungkin, siapa pun tamunya, harus dilayani dengan baik. Di sini, berlaku adab yang baik. Jangan sampai tamu merasa diri sebagai pengganggu atau menjadi orang yang merepotkan. Begitulah islam mengajarkan kebaikan.
Berbeda dengan Indonesia. Indonesia mengibaratkan, Pembeli adalah raja. Kenapa? Karena mungkin pembeli membawa uang. Padahal, pembeli tidak memberi uang itu secara cuma-cuma kepada pemilik barang. Melainkan menukarkannya degan apa yang mereka butuhkan. Pembeli dan penjual sebenarnya sama-sama membutuhkan. Tapi hanya pembeli yang berhak menobatkan diri sebagai raja. Sangat tidak adil menurut Ara.
Walau memang banyak tempat lain yang menjual sesuatu yag pembeli butuhkan. Tapi tetap saja, pembeli tidak bisa seenak jidatnya berbuat sesuatu yang tidak baik. Jual beli merupakan sebuah transaksi yang sama-sama harus disepakati. Jika tidak sesuai harga, tidak akan dijual. Jika tidak cukup uang untuk membeli. Pembeli pun tidak boleh memaksa penjual untuk memberikan barang jualannya di bawah harga yang ditentukan.
Kembali lagi pada kalimat,
Pembeli adalah rajaSo, mereka ini sesuka hati berbicara. Kenapa? Apa karena merasa diri sebagai raja? Raja itu apa? Penguasa? Penguasa itu apa? Tuhan? Bukan, kan? Lalu kenapa seorang raja tidak boleh disalahkan ketika berlaku salah? Kenapa raja tidak bisa ditegur ketika ia keliru? Raja ini siapa? Baik, kita lupakan soal raja. Mari simak kisah di bawah ini.
Seorang ibu berseragam keki terlihat mencoba slop warna keemasan sambil menawar-nawar. Ibu ini bukan coustamer baru. Beliau sering ke tempat Ara bekerja. Berbelanja tentunya. Tapi tidak selalu membeli, sih. Terkadang hanya melihat-lihat, karena mungkin belum ada yang cocok atau memang barang yang dicari kehabisan stok.
Quote:
"Ini nggak diskon lima puluh porsen?" tanyanya.
"Kalau ambil dua. Satunya dapat diskon dua puluh porsen. Pasang ke duanya diskon lima puluh pors--,"
"Iya, tahu. Kayak kemarin itu. Saya, kan, langganan di sini," potongnya cepat.
Teman Ara pun diam. Kemudian melirik ke arahku sambil tersenyum kecil. Mungkin dalam hati si teman berkata, Sudah tahu, tapi, kok, masih nawar?
"Eh, kemarin yang saya ambil itu, sempit. Nggak bisa dipakai. Nggak bisa ditukar?" Kali ini, si ibu mengarah pada Ara.
Ya, waktu itu beliau memang belanja pada Ara. Sistim tempat Ara kerja sif sifan, GanSis.
"Nggak bisa tukar, Bu. Waktu itu, kan, saya juga udah bilang," jelas Ara.
"Belum dipakai, loh, itu. Ada di rumah. Saya beli kemarin itu," paparnya lagi.
"Iya, Bu. Itu, kan, sudah bulan lalu--,"
"Eh, engga. Ibu beli bulan kemarin, kok," potongnya lagi.
"Iya, bulan kemarin. Dan sekarang udah mau ganti bulan lagi, Bu." Ara menjawab sesuai kenyataan.
Dalam hati pun Ara ngedumel, apa bedanya bulan lalu dan bulan kemarin?
"Yang ini potong lima puluh porsenlah," tawarnya untuk kesekian kali.
"Ngga bisa, Ibu. Kalau potong lima puluh porsen, berarti kita yang nambahin," jelas Ara dengan nada biasa.
"Ya jangan, dong! Masa kita yag pegawai dibayarin sama pelayan?!"
Oh my good!
Berasa ditusuk-tusuk, dong, jantung Ara. Selain nadaya yang seolah mengejek, si ibu melontarkan kata pelayan.sambil menyunggingkan senyum menyeringai.
Ada apa dengan pelayan toko? Sebegitu rendahkah menurutnya? Ok, tak masalah. Orang kaya biasanya memang begitu. Padahal, ketika mati, kuburannya digali oleh orang kalangan bawah. Bukan sesama pegawai sebagaimana gelarnya.
Perbincangan menjadi lebih panjang. Si ibu mulai naik pitam. Padahal, keruwetan pikiran sendiri yang membuatnya merasa kesal. Sudah tahu tidak bisa ditawar-tawar. Eh, masih tetap nawar.
Quote:
"Jangan bicara begitu, ya. Masa kita yang pegawai dibayarin pelayan." Beliau mengulang kata-katanya.
"Ibu, kan, sudah tahu. Tapi, kok, masih nawar? Ibu sudah biasa belanja di sini." Ara menahan gejolak amarah yang sedari tadi memenuhi seisi dada.
"Ya, nggak apa-apa, dong. Biasa ajah. Saya, kan, baru nawar!" Si ibu mulai mengada-ngada dengan suara tinggi. Baru menawar katanya.
"Ibu, kan, minta potong lima puluh porsen dari tadi. Kita sudah kasi tahu, ngga bisa."
"Kapan? Kapan saya nawar? tanyanya dengan mata seperti hendak menelan orang.
"Loh? Tri, berapa kali dia nawar tadi?" Kali ini amarah Ara hendak mencapai klimaks. Tapi masih ditahan-tahan.
"Hah?! Dia kataya! Mana bos kalian?!"
Wow! Andalan pembeli selalu ke sana, ya. Melapor. Minta karyawan dipecat atau diadili.
"Ada, Bu, di dalam," jawab Ara tanpa rasa takut.
Untuk apa takut? Toh, tidak berbuat salah.
"Bagaimana karyawannya ini? Kasar sekali. Saya, kan, nawar. Eh, dia bilang, Masa kita yag nambahin?" adunya pada laki-laki berkacamata yang baru saja muncul.
"Ibu, tolong, ya. Kata-katanya jangan ditambah-tambah. Tidak ada kata masa yang keluar dari mulut saya. Saya hanya bilang, kalau potong lima puluh porsen, berarti kita yang namabahin, Bu. Itu pun dengan nada biasa." Suara Ara mulai meninggi.
Ara paling benci dengan orang yang suka menambah-nambah sesuatu yang tidak terjadi. Apalagi sampai membolak balikkan fakta.
"Duh, orang mana, sih, dia? Orang seperti dia tidak boleh melayani orang belanja," ujarnya memanasi.
"Ibu--"
"Sudah ... Sudah ...!" lerai Bos.
Ara pun memilih naik ke gudang. Jika tetap di di kasir. Mungkin amarah tidak akan terkendali. Sementara si ibu. Masih belum berhenti berkata-kata. Ia mengadu semaunya. Bahkan kata-kata yang tidak pernah terlontar dari bibir Ara, dibuatnya ada dan panjang. Di atas gudang. Ara mengelus dada dan ingin sekali berteriak. Tapi, lagi-lagi ditahan sambil beristigfar beberapa kali.
"Masa dia bilang, Masa kita yang nambahin?!" terdengar kalimat itu ia ulang-ulang.
Ya Tuhan. Wanita macam apa dia! Kenapa tidak takut dosa? Tidak ada kata masadan tidak denga nada tinggi. Mudah sekali dia menjatuhkan orang hanya untuk merasa benar dan menang.
Untuk di ingat. Siapa pun kita. Apa pun pangkatnya. Jangan mudah merendahkan profesi orang lain. Sekalipun dia seorang pemulung. Tidak ada yang tahu, siapa yang paling tinggi di mata Tuhan. Sifat sombong hanya melahirkan kebencian antar sesama.
NB: Setiap tempat. Punya peraturan dan kebijakan msing-masing. Tidak semua tempat perbelanjaan bisa tawar menawar. Jadi, tolong jangan berlaku norak. Mengaku pegawai tapi tidak paham aturan. Oh ya, norak dan tidak tahu berbeda, ya, GanSis. Norak itu, sudah jelas-jelas tahu, tapi masih melakukan yang tidak seharusnya dilakukan. Sementara tidak tahu, ialah seseorang yang melakukan sesuatu yang salah karena belum tahu apakah itu salah atau tidak.
Sekian uneg-uneg dari lubuk terdalam Ara. Mohon maaf apabila ada kaya atau kalimat yang tidak berkenan di hati Agan and Sista. Selamat sig, dan selamat istirahat