- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Talma Vesuvia (Cerpen)
TS
zhaa550
Talma Vesuvia (Cerpen)

sumber gambar: google
Quote:
“Omong kosong! Cinta dan seks tak ada hubungannya, Talma! Bahkan Dewa tak pernah melarang kita bersenang-senang dengan banyak pasangan. Kau yang hanya kekasihku kenapa harus melarangku?” Suara San menggelegar, bahkan gunung Vesuvius di samping kami serasa ikut bergetar.
“Aku mencintaimu, San! Aku tak rela bibir yang sering kukecup dikecup orang lain, tubuh yang biasa kunikmati dinikmati orang lain, aku tak bisa, meski hanya sekedar membayangkan.”
“Sayang, percayalah! Sebanyak apapun wanita yang tidur denganku, tak akan mengurangi rasa cintaku padamu.” San melembutkan suara, mengusap kepalaku dan merengkuhnya.
“Aku pergi dulu, banyak yang harus disiapkan untuk menyambut upacara pemujaan Dewa Api.” San mengecupku dan pergi. Aku terduduk lemas di rumput, termenung memandang Vesuvius, gunung yang menginspirasi ayah menamaiku seperti namanya. Vesuvia, agar aku jadi wanita yang cantik dan kokoh, sekokoh Vesuvius. “Wahai Dewa yang agung! Tak bisakah Kau melihat bahwa aku benar-benar mencintainya? Jadikan ia satu-satunya milikku, jiwa maupun raganya.” Aku mengeluh serupa merintih. Perih. Seperih kecemburuanku pada semua teman tidur San.
Kami –Bangsa Romawi- percaya pada gunung Vesuvius bersemayam Dewa Api sesembahan kami, putra Zeuz. Upacara pemujaan rutin kami lakukan setiap tahunnya. Sebelum upacara pemujaan berbagai macam pertunjukan akan digelar di istana. Tarian, nyanyian, teater hingga pertarungan yang mengharuskan salah seorang mati. Gladiator. Seusai upacara pemujaan kami berpesta di tengah gemerlapnya obor. Malam perayaan itu adalah malam dimana kami bebas bersetubuh dengan siapapun. Kota kami, Pompeii merupakan kota yang paling maju, harta dan kekayaan alam melimpah, tak ada seorang warga pun yang kekurangan. Hidup kami hanya untuk bersenang-senang, seks sudah menjadi dewa kedua setelah Dewa Api. Dimanapun, kapanpun dan dengan siapapun kami bisa berhubungan.
Aku beranjak meninggalkan lereng Vesuvius, berjalan menyusuri kota. Menapaki jalan dengan batu-batu poligon yang tersusun rapi. Memandang tembok di sisi kanan dan kiri jalan, berbagai lukisan berderet di sana, lukisan seorang dewi tanpa busana yang sedang menaiki lembu, dua orang lelaki yang sedang bercinta, sepasang suami istri, kumpulan wanita tanpa busana yang riang tertawa. Aku menelan ludah, entah kenapa aku merasa muak. Aku mulai memasuki kawasan pasar, berderet–deret toko dengan berbagai macam produk yang mereka tawarkan. Di sela–sela barisan toko terdapat sebuah bangunan yang pintunya digantungi benda serupa penis lelaki, simbol tempat pramuriaan, aku meradang, membayangkan San, kekasihku bersenang-senang dengan orang lain di dalam sana. Aku mampir ke sebuah bar, menenggak sebotol bir. Entah kenapa hatiku sesak, aku sudah beberapa kali bercinta dengan San. Dan hanya dia satu-satunya pria yang aku izinkan menikmati tubuhku. Bagiku cinta dan seks sangat berkaitan. Sementara San, ia hanya mendewakan nafsunya, sama seperti penduduk kota kami yang lain.
Aku meneruskan langkahku, melewati perumahan yang rapat, dan semakin rapat pula terlihat pintu-pintu dengan penis bergelantungan. Aku semakin muak. Sementara remaja dan orang dewasa bersenang-senang, tak peduli siang atau malam. Anak-anak kecil yang tak diharapkan kelahirannya dijadikan budak, bahkan di rumahnya sendiri. Ah, ada yang tak beres dengan keyakinan kami. Aku masih terus berjalan, memerhatikan orang-orang yang sibuk menyiapkan pertunjukan untuk perayaan Dewa Api. Tak sengaja aku melihat dua orang lelaki saling melumat bibir. Rasanya aku ingin muntah, ini benar-benar sebuah kesalahan. Bahkan lembu betina selalu bersetubuh dengan lembu jantan, tak pernah bersetubuh dengan sesama jenisnya.
Aku pulang, mengunci diri di kamar. Tiga hari lagi perayaan pemujaan Dewa Api, malam itu kami bebas bersetubuh dengan siapapun yang kami mau, dengan lawan jenis, sesama lelaki maupun sesama perempuan. Bahkan kami bisa bersetubuh dengan 3 sampai 4 orang dalam semalam. Tapi tidak denganku, aku hanya bisa melakukannya dengan ia yang kucinta.
Keesokannya, Quina sahabatku, mengajakku melihat pertunjukan di teater kerajaan. Mereka bernyanyi dan menari sesuka hati, sementara aku hanya terdiam melihat sekitar. Quina asyik menari dengan seorang lelaki berperawakan tinggi, beberapa meter dariku San mengecup leher seorang perempuan. Aku menangis saat itu juga, lantas berlari menuju lereng Vesuvius. “Dewa, kenapa aku harus berduka setiap tahunnya hanya untuk menghormati-Mu? Kenapa Kau memberiku rasa yang berbeda? Kenapa kau tak izinkanku bercinta dengan siapa saja seperti mereka?” Vesuvius tak bergeming. Aku memeluk lutut, menangis. “Kau kenapa?” tanya Quina yang tiba-tiba sudah disampingku. Aku pun menceritakan semua padanya. “Jika ia mencintaimu, ia akan menuruti apapun maumu!” Quina memegang pundakku dan tersenyum. “ayo kita pulang!” lanjutnya.
“Aku masih ingin disini.” Quina meninggalkanku sendiri. Aku mematung hingga sore, aku pulang dengan langkah gontai. Di deretan toko yang rapat aku menabrak seorang lelaki bertubuh kecil dengan wajah oval. Aku meminta maaf dan mengajaknya minum bir. Ia tersenyum disertai anggukan. Aku memesan bir, dan ia hanya memesan air putih. “Aku tak minum bir,” jawabnya saat aku bertanya. Ia bilang, bir adalah salah satu penyebab ketidakberesan di kota kami. Bir yang sedikit demi sedikit menggerogoti rasa dan moral, hingga yang tersisa hanya nafsu dan kebejatan. Kami bercerita hingga larut malam, aku tak menyangka bisa menemukan orang dengan keresahan yang sama denganku.
“Apa kita bisa bertemu lagi besok?” tanyaku sebelum berpisah dengannya.
“Jika aku masih hidup, aku akan menemuimu disini. Aku bertarung besok pagi.”
“Apa? Gladiator? Kau bisa mati! Pertandingan itu mengharuskan salah satu diantara kalian ada yang mati!”
“Tak selamanya kematian itu buruk, Talma.”
Pagi–pagi sekali aku pergi ke arena pertandingan, saat orang-orang belum berdatangan aku sudah duduk di deretan paling depan. Aku berharap ia mengurungkan niatnya mengikuti pertandingan ini. Perlahan matahari mulai menyembul di balik puncak Vesuvius. Orang-orang mulai ramai berdatangan, bersorak sorai meminta pertandingan segera dimulai. Sial, lelaki kecil itu benar-benar muncul, lengkap dengan tameng dan pedang. Sementara lawannya lelaki bertubuh kekar dengan bulu lebat pada dada, kumis dan janggutnya. Lelaki kecil itu terhempas berkali-kali. Beberapa sayatan mengenai tubuhnya, mataku terpejam, memohon pada Dewa agar ia selamatkan satu-satunya manusia yang mampu mengerti resahku. Perlahan aku membuka mata, ia terkapar. Susah payah ia berusaha berdiri. Aku tak kuasa lagi, berlari ke tempat dimana kami berjanji akan berjumpa. Jika ia tidak mati. Aku memesan segelas air putih. Perlahan air mata mengalir membasahi pipi. Aku menunggunya hingga larut malam, dan ia tak kunjung datang. Ah, ia benar–benar mati.
Puncak perayaan Dewa Api tiba, obor sudah dinyalakan dimana–mana. Aku menemui San. “Jika kau benar-benar mencintaiku, malam ini kau hanya boleh menikmati tubuhku, bukan orang lain.”
“Apa kau gila? Malam ini malam yang istimewa, kita bebas bersenggama dengan siapa saja tanpa perlu mengeluarkan biaya! Sayang, tenanglah! Kau akan mendapatkan layananku yang pertama.”
“Pertama dan terakhir, kau hanya boleh bercinta denganku. Titik!”
“Jangan konyol! Apa kau ingin merusak hubungan kita yang sudah bertahun–tahun hanya karena permintaan konyolmu ini?"
"Apa salahnya? Buktikan bahwa kau mencintaiku!"
"Sudahlah, kita berakhir sampai disini!” San meninggalkanku tanpa kecupan perpisahan.
Aku menangis, berlari menuju lereng Vesuvius, malam telah larut. Quina menemuiku, merangkul pundakku. “Jangan bersedih jika aku jadi San, aku akan menuruti permintaanmu tanpa banyak alasan.” Aku menatap Quina tak paham. “Aku mencintaimu, Talma!” Aku terbelalak, perempuan cantik yang selama ini aku anggap sahabat baikku, menaruh rasa padaku. Selama ini aku buta, ia yang selalu ada dan mengerti diriku. Quina mengusap pipiku. Mendekatkan bibirnya pada bibirku hingga bibir kami benar–benar menyatu. Lumatan demi lumatan membuatku melayang. Terjerambab pada birahi yang bahkan tak pernah aku dapatkan saat bersama San. Kami menikmati malam ini berdua, mengerang, keringat bercucuran. Sementara di atas kami langit begitu gelap. Namun kenikmatan ini membuat kami tak peduli pada apapun. Semakin gelap, udara di sekeliling kami terasa semakin panas. Ah, kami tak peduli, kami sudah sampai pada puncak birahi. Gelap, Vesuvius bergemuruh, ia meletus, kami terkabur hidup–hidup.
Quote:
Diubah oleh zhaa550 28-07-2019 14:05
anasabila dan vestycide memberi reputasi
2
484
3
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan