- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Dilabeli Stigma Radikal, Novel Baswedan: Ngapain Harus Saya Pusingin?


TS
ntapzzz
Dilabeli Stigma Radikal, Novel Baswedan: Ngapain Harus Saya Pusingin?

"Saya malah ingin tahu perilaku mana yang disebut radikal"
Quote:
Jakarta, IDN Times - Di tengah ketidakjelasan kasus teror air keras yang menimpanya 800 hari lalu, Novel Baswedan kembali dihantam isu negatif. Lantaran ia berjenggot dan sering mengenakan celana cingkrang, penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu justru dianggap telah terpapar paham Islam radikal. Apalagi dalam pemberitaan Majalah Tempo pada Januari 2018 lalu, Novel mengakui ia ikut dalam aksi damai 212 di Monas.
Sebenarnya ini bukan kali pertama Novel dihantam isu bahwa ia ikut dalam aliran Islam radikal. Isu serupa lebih kencang menghantamnya pada 2018 lalu, di mana momentumnya berbarengan dengan ia menuntut agar dibentuk Tim Pencari Fakta Independen di bawah kendali Presiden.
Kini, isu itu muncul kembali dan viral gara-gara tulisan penggiat media sosial Denny Siregaryang ia unggah pada (13/6) lalu.
Di dalam tulisan berjudul "Ada Taliban di Dalam KPK"?, ia menyebut ada dua kelompok yang dikenal dengan nama "Polisi Taliban" dan "Polisi India".
"Saya kurang tahu yang dimaksud dengan Polisi India. Mungkin mirip dengan Polisi India yang baru datang setelah kejadian sudah selesai," tulis Denny.
Sedangkan, "Polisi Taliban" yang dia maksud, kata Denny lagi, adalah kelompok agamis dan ideologis. Walau tidak menyebut nama, namun Denny jelas memasukan Novel ke dalam kelompok "Polisi Taliban" tersebut.
Tanpa bukti yang jelas, Denny kemudian menuding kelompok Taliban di dalam KPK diklaim memiliki posisi yang sangat kuat. Sehingga, merekalah yang menentukan kasus apa yang harus diangkat ke permukaan dan kasus mana yang dikandangkan.
Tulisan itu kemudian disebarluaskan oleh kader Nahdlatul Ulama, Akhmad Sahal melalui akun Twitternya @sahaL_AS.
Lalu, apa komentar Novel terkait persepsi dan label radikal yang disematkan oleh sebagian orang kepadanya? Apakah hal itu mengganggu kinerjanya dalam memberantas isu korupsi?
Sebenarnya ini bukan kali pertama Novel dihantam isu bahwa ia ikut dalam aliran Islam radikal. Isu serupa lebih kencang menghantamnya pada 2018 lalu, di mana momentumnya berbarengan dengan ia menuntut agar dibentuk Tim Pencari Fakta Independen di bawah kendali Presiden.
Kini, isu itu muncul kembali dan viral gara-gara tulisan penggiat media sosial Denny Siregaryang ia unggah pada (13/6) lalu.
Di dalam tulisan berjudul "Ada Taliban di Dalam KPK"?, ia menyebut ada dua kelompok yang dikenal dengan nama "Polisi Taliban" dan "Polisi India".
"Saya kurang tahu yang dimaksud dengan Polisi India. Mungkin mirip dengan Polisi India yang baru datang setelah kejadian sudah selesai," tulis Denny.
Sedangkan, "Polisi Taliban" yang dia maksud, kata Denny lagi, adalah kelompok agamis dan ideologis. Walau tidak menyebut nama, namun Denny jelas memasukan Novel ke dalam kelompok "Polisi Taliban" tersebut.
Tanpa bukti yang jelas, Denny kemudian menuding kelompok Taliban di dalam KPK diklaim memiliki posisi yang sangat kuat. Sehingga, merekalah yang menentukan kasus apa yang harus diangkat ke permukaan dan kasus mana yang dikandangkan.
Tulisan itu kemudian disebarluaskan oleh kader Nahdlatul Ulama, Akhmad Sahal melalui akun Twitternya @sahaL_AS.

Lalu, apa komentar Novel terkait persepsi dan label radikal yang disematkan oleh sebagian orang kepadanya? Apakah hal itu mengganggu kinerjanya dalam memberantas isu korupsi?
Spoiler for Komentar:
1. Novel mengaku bingung mengapa ia dilabeli mengikuti aliran radikal

Ketika dikonfirmasi oleh media, Novel justru mengaku bingung mengapa ia dilabeli radikal. Sebab, selama ini tidak ada gelagatnya yang menunjukkan ia masuk ke dalam kelompok tersebut.
"Kaitannya apa disebut (saya ini) masuk (polisi) Taliban? Kaitannya apa disebut dengan radikal? Justru seseorang yang disebut memiliki jenggot seperti saya kadang kala menggunakan celana yang sedikit sesuai dengan sunah Rasul, terus dipermasalahkan, menurut saya yang bersangkutan kurang pengetahuan," kata Novel yang ditemui di gedung KPK pada Kamis (20/6).
Ia menambahkan ketika seseorang kurang ilmu pengetahuan agama maka harus diberikan pencerahan. Tapi, sosok yang pas menyampaikan ilmu tersebut adalah tokoh agama.
"Ketika ada perilaku saya yang disebut radikal, saya malah kepengen tahu perilaku mana yang disebut radikal itu," tutur penyidik yang disiram air keras usai ia menunaikan salat subuh di masjid dekat rumahnya tersebut pada 2017 lalu.
2. Kalau karena semangat menangkap koruptor lalu dilabeli radikal, Novel tak mempermasalahkannya

Ia pun berpikir apakah yang dimaksud radikal itu karena ia semangat dan tidak berkompromi dalam menangkap koruptor? Kalau begitu, maka ia sama sekali tak mempermasalahkannya.
"Kalau persepsinya adalah menangkap koruptor dan tidak berkompromi itu dikatakan radikal, maka saya ikhlas disebut radikal,"kata penyidik yang dulunya adalah personel kepolisian itu.
3. Novel Baswedan tak memusingkan stigma apa pun yang disematkan ke dirinya

Lalu, apakah stigma tersebut mengganggu kinerja Novel? Mantan Kasat Reskrim di Polres Bengkulu itu mengaku tak ambil pusing.
"Sekarang gini, kalau saya diolok2 jadi hina gak saya? Pasti tidak. Kalau dipuji apakah jadi mulia juga? Juga tidak, terus ngapain saya harus pusing dengan hal yang demikian?," kata Novel secara blak-blakan.
Ia memaknai komentar dan persepsi tersebut sebagai imbas karena berusaha untuk berbuat baik bagi negeri ini. Menurutnya, akan selalu ada orang-orang yang berbuat sebaliknya.
Novel pun menggaris bawahi berbuat baik untuk negeri ini bukan karena ingin dipuji, apalagi pencitraan.
"Buat saya isu ini gak penting lah," tutur dia.
4. Pegiat antikorupsi menduga rumor tersebut disebarkan bersamaan dengan momentum pendaftaran calon pimpinan KPK

Menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, isu soal adanya paham radikal di KPK tak lebih dari upaya untuk melemahkan institusi antirasuah. Upaya tersebut sudah dilakukan menggunakan berbagai cara termasuk dengan melakukan rotasi belasan pegawai struktural ke posisi lainnya. Hal itu akhirnya berhasil diselesaikan usai melalui persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Kini dipilih lah isu relasi para pegawai dengan Tuhannya. Ya, mau tidak mau orang yang menghadapi berbagai kendala, maut, seperti Novel dan yang lainnya, tentu tempat lari dan mencari perlindungan bukan ke pemerintah, melainkan Tuhan," kata Feri.
Isu adanya faksi Polisi Taliban VS Polisi India kemudian digulirkan. Skenarionya menurut Feri, isu itu sengaja dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menempatkan figur-figur khusus sebagai pimpinan KPK. Padahal, di dalam penjelasan UU KPK, justru institusi antirasuah dibentuk karena aparat penegak hukum konvensional dianggap tidak mampu memberantas korupsi.
"Lucunya ketika dibentuk KPK dan dinilai efektif untuk memberantas korupsi, kemudian malah mau memasukan aparat konvensional itu masuk ke dalam KPK. Kan sama saja artinya mau membuat KPK tidak efektif dalam pemberantasan korupsi," kata dia.
Skenario untuk memasukan pimpinan dari unsur kepolisian sudah mulai terlihat dari suara-suara yang menyebut cara untuk mendamaikan faksi Polisi Taliban VS Polisi India yakni dengan mendatangkan polisi lain dengan pangkat yang lebih tinggi.
"Harapannya, Polisi Taliban VS Polisi India bisa akur kembali," tutur Feri lagi.
5. KPK meminta agar masyarakat tak melihat dari penampilan fisik melainkan aksi pemberantasan korupsi

Menyebarnya isu paham radikal di dalam tubuh KPK kemudian ditanggapi oleh Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang. Saut meminta publik agar tidak melihat penampilan pegawai KPK dari luar. Melainkan yang difokuskan adalah hasil kerjanya.
"Ya, jangan dilihat celana (cingkrang) lah, jenggot lah atau baju lah. Itu luarnya saja dan style-nya saja. Tapi, lihatlah yang mereka lakukan," kata Saut ketika dikonfirmasi pada Senin malam (17/6).
Ia pun membantah dengan tegas ada paham radikal yang berkembang di lembaganya. Pancasila, kata Saut menjadi harga mati dan tidak bisa ditawar di dalam institusi tersebut.
"Itu sebabnya ada Garuda Pancasila yang gagah di lobi KPK dan gedungnya diberi warna dan nama merah putih," kata pria yang pernah menjadi staf ahli di Badan Intelijen Negara (BIN).
Ia mengatakan proses pemantauan di KPK berjalan dengan ketat. Sehingga, kalau pun berkembang paham tertentu pasti akan diketahui oleh pengawasan internal.
Sumber
Ketika dikonfirmasi oleh media, Novel justru mengaku bingung mengapa ia dilabeli radikal. Sebab, selama ini tidak ada gelagatnya yang menunjukkan ia masuk ke dalam kelompok tersebut.
"Kaitannya apa disebut (saya ini) masuk (polisi) Taliban? Kaitannya apa disebut dengan radikal? Justru seseorang yang disebut memiliki jenggot seperti saya kadang kala menggunakan celana yang sedikit sesuai dengan sunah Rasul, terus dipermasalahkan, menurut saya yang bersangkutan kurang pengetahuan," kata Novel yang ditemui di gedung KPK pada Kamis (20/6).
Ia menambahkan ketika seseorang kurang ilmu pengetahuan agama maka harus diberikan pencerahan. Tapi, sosok yang pas menyampaikan ilmu tersebut adalah tokoh agama.
"Ketika ada perilaku saya yang disebut radikal, saya malah kepengen tahu perilaku mana yang disebut radikal itu," tutur penyidik yang disiram air keras usai ia menunaikan salat subuh di masjid dekat rumahnya tersebut pada 2017 lalu.
2. Kalau karena semangat menangkap koruptor lalu dilabeli radikal, Novel tak mempermasalahkannya

Ia pun berpikir apakah yang dimaksud radikal itu karena ia semangat dan tidak berkompromi dalam menangkap koruptor? Kalau begitu, maka ia sama sekali tak mempermasalahkannya.
"Kalau persepsinya adalah menangkap koruptor dan tidak berkompromi itu dikatakan radikal, maka saya ikhlas disebut radikal,"kata penyidik yang dulunya adalah personel kepolisian itu.
3. Novel Baswedan tak memusingkan stigma apa pun yang disematkan ke dirinya

Lalu, apakah stigma tersebut mengganggu kinerja Novel? Mantan Kasat Reskrim di Polres Bengkulu itu mengaku tak ambil pusing.
"Sekarang gini, kalau saya diolok2 jadi hina gak saya? Pasti tidak. Kalau dipuji apakah jadi mulia juga? Juga tidak, terus ngapain saya harus pusing dengan hal yang demikian?," kata Novel secara blak-blakan.
Ia memaknai komentar dan persepsi tersebut sebagai imbas karena berusaha untuk berbuat baik bagi negeri ini. Menurutnya, akan selalu ada orang-orang yang berbuat sebaliknya.
Novel pun menggaris bawahi berbuat baik untuk negeri ini bukan karena ingin dipuji, apalagi pencitraan.
"Buat saya isu ini gak penting lah," tutur dia.
4. Pegiat antikorupsi menduga rumor tersebut disebarkan bersamaan dengan momentum pendaftaran calon pimpinan KPK

Menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, isu soal adanya paham radikal di KPK tak lebih dari upaya untuk melemahkan institusi antirasuah. Upaya tersebut sudah dilakukan menggunakan berbagai cara termasuk dengan melakukan rotasi belasan pegawai struktural ke posisi lainnya. Hal itu akhirnya berhasil diselesaikan usai melalui persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Kini dipilih lah isu relasi para pegawai dengan Tuhannya. Ya, mau tidak mau orang yang menghadapi berbagai kendala, maut, seperti Novel dan yang lainnya, tentu tempat lari dan mencari perlindungan bukan ke pemerintah, melainkan Tuhan," kata Feri.
Isu adanya faksi Polisi Taliban VS Polisi India kemudian digulirkan. Skenarionya menurut Feri, isu itu sengaja dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menempatkan figur-figur khusus sebagai pimpinan KPK. Padahal, di dalam penjelasan UU KPK, justru institusi antirasuah dibentuk karena aparat penegak hukum konvensional dianggap tidak mampu memberantas korupsi.
"Lucunya ketika dibentuk KPK dan dinilai efektif untuk memberantas korupsi, kemudian malah mau memasukan aparat konvensional itu masuk ke dalam KPK. Kan sama saja artinya mau membuat KPK tidak efektif dalam pemberantasan korupsi," kata dia.
Skenario untuk memasukan pimpinan dari unsur kepolisian sudah mulai terlihat dari suara-suara yang menyebut cara untuk mendamaikan faksi Polisi Taliban VS Polisi India yakni dengan mendatangkan polisi lain dengan pangkat yang lebih tinggi.
"Harapannya, Polisi Taliban VS Polisi India bisa akur kembali," tutur Feri lagi.
5. KPK meminta agar masyarakat tak melihat dari penampilan fisik melainkan aksi pemberantasan korupsi

Menyebarnya isu paham radikal di dalam tubuh KPK kemudian ditanggapi oleh Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang. Saut meminta publik agar tidak melihat penampilan pegawai KPK dari luar. Melainkan yang difokuskan adalah hasil kerjanya.
"Ya, jangan dilihat celana (cingkrang) lah, jenggot lah atau baju lah. Itu luarnya saja dan style-nya saja. Tapi, lihatlah yang mereka lakukan," kata Saut ketika dikonfirmasi pada Senin malam (17/6).
Ia pun membantah dengan tegas ada paham radikal yang berkembang di lembaganya. Pancasila, kata Saut menjadi harga mati dan tidak bisa ditawar di dalam institusi tersebut.
"Itu sebabnya ada Garuda Pancasila yang gagah di lobi KPK dan gedungnya diberi warna dan nama merah putih," kata pria yang pernah menjadi staf ahli di Badan Intelijen Negara (BIN).
Ia mengatakan proses pemantauan di KPK berjalan dengan ketat. Sehingga, kalau pun berkembang paham tertentu pasti akan diketahui oleh pengawasan internal.
Ketika jenggot dan celana cingkrang (menjalankan syariat islam) dituduh radikal

Ane sendiri gak keberatan disebut radikal jika yang disebut radikal itu yang menjalankan syariat islam

Diubah oleh ntapzzz 21-06-2019 02:18

User telah dihapus memberi reputasi
1
3.8K
Kutip
65
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan