- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Rekonsiliasi Gurita Oligarki 2019


TS
noldeforestasi
Rekonsiliasi Gurita Oligarki 2019

“Di pilpres kita lawan, di tambang kita kawan.” Yah begitulah yang setidaknya bisa kita tangkap dari peristiwa besar “Rekonsiliasi MRT Lebak Bulus,” begitu banyak orang menamakannya.
Banyak yang menilai pertemuan tersebut merupakan bentuk pengakuan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto atas kemenangan presiden terpilih Joko Widodo dalam parhelatan Pilpres 2019. Dari sisi informal pertemuan tersebut paling tidak menurunkan tensi ketegangan politik di mana kita baru saja menyelesaikan satu pilpres dengan tingkat polarisasi yang sedemikian tajam.
Namun, semakin hari seharusnya kita makin sadar kalau sesungguhnya demokrasi yang coba kita adopsi melalui mekanisme pemilihan setiap lima tahun sekali, hanyalah demokrasi prosedural yang artifisial. Rakyat hanya instrumen, bukan elemen utama perubahan atau rotasi kekuasaan.
Tujuannya untuk mendapatkan stempel bahwa rakyat telah dilibatkan. Dengan begitu pemerintah bisa secara absah mengklaim sebagai pemerintah yang legitimate, mendapat mandat dari rakyat. Tak lebih dan tak kurang, hanya itu.
Kedua kubu bertarung memperebutkan kekuasaan, mengipas pendukungnya dengan isu-isu primordial sehingga hingga masyarakat Indonesia terpecah dan saling membenci. Lalu mereka bertemu, "mendamaikan" pendukungnya sehingga menuai pujian banyak orang. Celaka buat rakyat yang tidak melihat, bahwa ribut atau damai mereka juga yang tekan tombolnya.
Kalau saja mau “jujur” pada diri sendiri, sebenarnya di kedua kubu yang tengah berkontestasi itu ada banyak orang kaya, sebagian dari kalangan militer, dan sekaligus menjadi elit politik yang mengelilingi kedua pasangan capres-cawapres.
Semua juga tahu di belakang sang petahana ada nama-nama seperti Jusuf Kalla, Oesman Sapta Odang, Luhut Binsar Pandjaitan, Surya Paloh hingga Hary Tanoesoedibjo. Sementara di belakang gerbong Prabowo berdiri Hashim Djojohadikusumo, Hutama Mandala Putra alias Tommy Soeharto, Sudirman Said, Ferry Mursyidan Baldan hingga Zulkifli Hasan.
Mereka, orang-orang kaya ini, dari masa ke masa selalu terus berupaya mempengaruh, jika tidak mengendalikan, jalannya pemerintahan.
Saat ini para oligarki telah bermetamorfose menjadi oligarki kolektif, dari sebelumnya bersifat terpusat di satu tangan pada masa Orde Baru. Dalam oligarki kolektif, kelompok kecil elit politik dan elit pemilik modal atau kekayaan inilah yang mengontrol dan mengatur secara efektif rotasi maupun distribusi kekuasaan.
Tujuan utamanya agar kekayaan, sumber daya material tidak berkurang dan terdistribusi secara terbatas di dalam kelompok mereka saja.

Merunut benang merah bisnis kedua kubu itu pun sebenarnya tidak susah-susah amat. Dalam bagan yang diunggah akitivis Dandhy Laksono dalam akun Twitter @Dandhy_Laksono bisa ditemukan bagaimana ternyata wakil presiden terpilih Ma’ruf Amin terhubung dengan PT Saratoga Investama Sedaya Tbk yang salah satu pemilik saham mayoritasnya adalah cawapres kubu seberang, Sandiaga Uno.
Adalah sebuah perusahaan investasi bernama Lynx Asia yang menjadi penghubung kedua kubu. Dalam kasus restrukturisasi aset bermasalah dan penambahan modal PT Bank Muamalat Indonesia Tbk, dimana Ma’ruf Amin menjadi Ketua Dewan Pengawas Syariah, perusahaan yang berbasis di Singapura tersebut memfasilitasi masuknya investor di bank syariah pertama di Indonesia itu.
Jika struktur kepengurusan perusahan investasi tersebut ditelusuri lebih dalam, ada nama Rizal Risjad yang berposisi sebagai Managing Partner di Lynx Asia. Dia juga founder PT Armadian Tritunggal dan co-founder PT Berau Coal Energy Tbk.
Ada juga Djamal Attamimi, Managing Partner Lynx Asia, yang kini menjadi komisaris di PT Toba Bara Sejahtra Tbk. Dan Dicky Yordan yang tercatat sebagai Managing Partner Lynx Asia dan saat ini sebagai direktur di Toba Bara.
Seperti kita ketahui, saham Toba Bara Sejahtra sebelumnya dikendalikan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.
Kita juga sama-sama tahu bagaimana akhir tahun lalu Saratoga Investama Sedaya baru saja menjual seluruh kepemilikan sahamnya di PT Batu Hitam Perkasa kepada Toba Bara Sejahtera dengan nilai total setara US$ 9 juta.
Batu Hitam Perkasa merupakan pemegang 5% saham di PT Paiton Energy yang mengoperasikan dua unit pembangkit listrik komersial bertenaga batubara dengan kapasitas 615 megawatt (MW) di Probolinggo, Jawa Timur.

Jadi seperti itu lah gambaran singkat yang saat ini tengah terjadi di negara Indonesia tercinta. Nasib negara ini lima tahun ke depan kembali berada dalam genggaman tangan oligarki.
Rekonsiliasi yang baru saja berlangsung mengonfirmasi sinyalemen-sinyalemen yang ada. Oligarki bersatu tak bisa dikalahkan. Setelah kampanye yang membelah bangsa, mereka rujuk dan bersatu. Bersatu untuk apa? Dalam pilpres, siapapun pemenangnya yang kalah adalah rakyat.
Akhirnya, “Nothing personal, it’s just good business.”
Acuan:

Para Konglomerat di Belakang Jokowi dan Prabowo Pada Pilpres 2019
Siapa Dibalik Lynx Asia Sang Penyelamat Bank Muamalat
Diubah oleh noldeforestasi 16-07-2019 18:10
0
2.3K
9


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan