Kaskus

News

noldeforestasiAvatar border
TS
noldeforestasi
Polusi Rekonsiliasi Ancam Indonesia Hijau 2030

Polusi Rekonsiliasi Ancam Indonesia Hijau 2030

Kontestasi politik lima tahunan Pilpres 2019 baru saja usai. Sang petahan Joko Widodo dan kompatriot anyarnya, Ma’ruf Amin, berhasil menang tidak saja berdasarkan penghitungan suara manual oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), namun juga dalam hasil persidangan perkara sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi.


Namun, kedamaian di antara kedua kubu belum benar-benar tercapai. Tampaknya masih ada pihak-pihak di belakang masing-masing tokoh, maupun pihak-pihak luar, yang tidak ingin keduanya berdamai. Padahal rekonsiliasi kedua pimpinan adalah kunci utama kemajuan bangsa ini dalam lima tahun ke depan.


Misi rekonsiliasi saat ini cukup menyita energi bangsa yang sempat terkoyak menjadi dua kubu jelang dan pascapemilu. Seakan-akan masalah lain tiada arti. Padahal ada masalah yang lebih penting yang tengah kita hadapi, dan menyangkut hajat hidup orang banyak: Polusi.


Ya, polusi di kota-kota besar di Indonesia, khususnya Ibu Kota DKI Jakarta, kian hari kian bikin nafas kita makin sesak. Pekan lalu, situs penyedia peta polusi udara AirVisual mencatat bahwa DKI Jakarta merupakan kota dengan tingkat polusi udara terburuk di dunia. Laman AirVisual menyebutkan Air Quality Index-nya (AQI) memiliki nilai 208 per Rabu (26/6) pagi pukul 08.33 yang artinya udara di Jakarta sangat tidak sehat.


Setelah Jakarta, berturut-turut ada kota Lahore di Pakistan, Hanoi di Vietnam, Dubai di Uni Emirat Arab, serta Wuhan di China yang masuk lima besar kota dengan tingkat polusi udara tertinggi dunia.


Dengan kondisi polusi udara seperti ini, anak-anak dan orang dewasa yang aktif, serta penderita penyakit pernafasan seperti asma harus menghindari aktivitas luar ruangan terlalu lama. Sementara anak-anak dan masyarakat lain dianjurkan untuk membatasi waktu di luar ruangan.


Kondisi yang memprihatinkan tersebut mendorong sekelompok masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota) mendaftarkan gugatan warga negara atau bahasa kerennya, citizen lawsuit. Mereka menuntut hak warga negara untuk mendapatkan udara bersih ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Kamis, 4 Juli 2019.


Mereka menggugat pemerintah karena pencemaran udara di Ibukota. Beberapa pihak yang mereka gugat, antara lain Presiden Jokowi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Sebagai pihak yang turut tergugat adalah Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten.


Seperti biasa, pemerintah selalu membantah tudingan-tudingan yang mengkritisi kinerja ataupun kebijakan penyelenggara negara. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar balik mempertanyakan keabsahan metode penelitian yang menyebut bahwa Jakarta adalah salah satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia.

Polusi Rekonsiliasi Ancam Indonesia Hijau 2030

Ia bilang, secara historis hari dengan udara buruk di Jakarta tidak sampai lebih dari 20 hari dalam satu tahun. Riset itu diketahui dengan menggunakan metode yang digunakan oleh KLHK dalam mengukur kualitas udara di Jakarta dengan lewat Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP 45/MENLH/1997.


"Itu saya sudah berkali-kali minta eselon I dan II untuk panggil Greenpeace atau panggil orang-orang yang bilang udara itu jelek dan lain-lain. Itu, kan, ada cara mengukur, ada yang menghitung konsentrasi partikel P10 dan ada juga P25," kata dia.


Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia Bondan Ariyanu mengatakan, dalam setahun DKI Jakarta hanya memiliki 34 hari udara bersih. Terhitung 196 hari lainnya punya kualitas udara tidak sehat, 122 hari berstatus moderat atau kurang sehat, dan 13 hari lainnya tak berdata. Angka-angka tersebut berasal dari data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dicatat alat pemantau yang dipasang di Gelora Bung Karno.


Bondan mengingatkan, yang perlu diperhatikan lagi adalah standar "udara sehat" itu sendiri. Mengingat standar nasional yang berlaku di Jakarta, Jabar, Banten dan lainnya masih sangat lemah dibandingkan standar Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO). "Misalnya jika menurut WHO (dalam 24 jam) angka 25 adalah batas 'sehat,' maka secara nasional adalah 65," jelasnya.


Itulah sebabnya sekalipu  masyarakat berteriak kencang ribut sana sini, hingga kini pemerintah mengangap udara yang kita hirup masih baik-baik saja. Ya, karena pemerintah masih menggunaka  standar yang sudah ketinggalan zaman, aturan yang sudah 20 tahun tidak direvisi.


Menanggapi tudingan udara buruk di Ibu Kota, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyatakan akan menambah alat pemantau kualitas udara untuk mengumpulkan data lengkap soal kualitas udara Jakarta. "Hari ini kalau kami ditanya balik yang bilang kualitas udara buruk, maka kami hanya bisa menentukan paling 10 - 15 titik maksimal di Jakarta," ungkap dia.


Pemprov DKI juga akan mengendalikan emisi kendaraan bermotor dengan mewajibkan seluruh kendaraan bermotor yang beroperasi di Jakarta lolos uji emisi mulai 2020. Kendaraan bermotor yang tidak lolos uji emisi nantinya akan bayar parkir lebih mahal. Termasuk juga mengimbau seluruh warga untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan beralih menggunakan transportasi umum seperti Busway, MRT dan lainnya.

Polusi Rekonsiliasi Ancam Indonesia Hijau 2030

Nyata sudah jika masalah polusi tidak akan bisa terselesaikan tanpa kerjasama seluruh pihak. Rekonsiliasi para pimpinan bangsa memang akan menurunkan tensi politik di Tanah Air. Politik sejatinya hanyalah bentuk pengejewantahan dari tarik-menarik kepentingan. Waktu akan membantu rekonsiliasi politik menemukan keseimbangannya sendiri.


Namun keseimbangan alam butuh kerjasama yang konkret dari berbagai pemangku kepentingan. Mulai dari pemerintah hingga masyarakat. Perlu banyak lagi upaya penanggulangan polusi udara. Sebagai individu, kita juga punya peran mengurangi polusi udara. Sedang pemerintah bertugas membuat upaya tersebut lebih terstruktur, sistematis dan masif.


Menurut pandangan saya pribadi, saya tidak setuju dengan terjadinya rekonsiliasi Jokowi-Prabowo. Rezim Jokowi Jilid II tidak lagi bersama Jusuf Kalla yang merupakan jebolan Astra Group, penguasa industri otomotif. Di kubu Prabowo, ada Sandiaga Uno, yang notabene anak didik dari Edwin dan Edward Soeryadjaya (anak dari pendiri Astra Group).


Karenanya, memisahkan kepentingan Astra Group (Kalla dan Uno cs) adalah kunci percepatan pembangunan infrastruktur yang ramah lingkungan di Indonesia. Untuk itu rekonsiliasi tidak perlu dilakukan agar pemerintahan yang berniat menggenjot transportasi umum yang tentunya lebih ramah lingkungan ketimbang transpor pribadi (kepentingan industri otomotif), dapat dikebut.


Terjadinya rekonsiliasi merupakan panggilan bagi kita semua untuk lebih kritis terhadap program pembangunan hijau yang ramah lingkungan. Oleh karenanya rekonsiliasi Jokowi-Prabowo merupakan hambatan bagi cita-cita terwujudnya Indonesia Hijau di 2030.



Acuan:


Siti Nurbaya Bataj Kualitas Udara Jakarta Buruk

Polusi Digugat DKI Tambah 10 Alat Ukur Kualitas Udara PM 25
0
1.6K
5
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan