Pict By Google


Part 1

Senja mulai menyapa merasuk hingga relung hati yang paling dalam bersama kesunyian.

Sepi karena kesendirian kadang sangat menyiksa. Menghancurkan seluruh semangat hidup. Nyatanya, bukan dunia yang mengucilkan diriku, tapi aku yang menjauh dari keramaian semesta. Tak terasa usiaku semakin menua, hingga 35 tahun.

***

3 Juli 2000, awal dimana perlahan mulai bisa kumengerti arti hidup yang sebenarnya. Perubahan itu mulai terjadi sejak aku mengenal Rani, gadis 25 tahun berparas ayu juga berbudi pekerti baik. Masih teringat saat awal kami berjumpa, karena hujan turun malam itu ketika menunggu bus di sebuah halte.

***

"Mas, boleh saya duduk di sini?" tanya seorang gadis, saat hendak duduk di sebelahku, dengan badan telah basah kuyup serta menggigil kedinginan.

"Owh silahkan, Mbak!"

Dia duduk di sebelahku denga wajah pucat pasi, dan tiba-tiba telah bersandar pada bahuku, dengan badan menggigil.

Apa yang harus kulakukan? Perasaan aneh apa ini? Antara panik dan berdebar karena baru pertama kali ini aku bersentuhan langsung dengan seorang gadis.

Langit juga mulai gelap, bus tak kunjung datang. Hawa dingin mungkin telah membuat gadis ini menjadi tak berdaya. Kulepas jaketku kemudian kupakaikan padanya. Terpaksa kurangkul bahunya dengan bersandar kepadaku agar tubuhnya tak roboh ke tanah. Sementara perasaanku mulai tak karuan.

"Mbak, bangun, Mbak!"

Tak ada respon, hanya embusan napas yang masih terasa dari hidungnya, sedikit membuatku lega. Setidaknya dia masih hidup. Entah dari mana datangnya gadis ini?

***

Hampir satu jam menunggu, akhirnya bus terakhir datang juga. Aku menggendongnya ke dalam bus. Ternyata gadis ini berat juga, ah apa aku saja yang terlalu kurus, hahaha. Bisa-bisanya aku tertawa dalam hati dengan keadaan seperti ini.

Suasana bus ternyata sepi, hanya kami berdua yang menjadi penumpanganya. Lebih baik kubawa pulang ke rumahku saja dahulu, sampai kondisinya membaik sebelum kutanyai dia. Adikku Hana, pasti mau meminjaminya pakain kering.

***

Turun di halte terdekat, nampaknya hujan sudah reda. Kembali kugendong dia menuju rumahku yang hanya berjarak seratus meter saja dari tempat kami berada kini.

"Hana, kakak pulang. Tolong bukakan pintu!"

"Sebentar, Kak."

Adikku mengerutkan dahinya setelah membukakan pintu.

"Kakak, itu siapa? Kok malam gini baru pulang kerja?"

"Sudah jangan tanya dulu! Cepat siapkan air panas dan handuk kering, pinjam satu setel pakain kamu juga, ya!"

"Hmmm ... aku tahu, pasti gadis cantik ini pacarmu ya, Kak? Cie-cie yang sudah punya pacar."

"Ah, kamu suka godain kakak aja, cepetan dong siapin yang kakak suruh tadi!"

"Ashiap komandan!"

Kurebahkan gadis itu di ranjang dalam kamarku. Disusul Hana yang datang membawa ember berisi air hangat, handuk dan juga baju ganti.

"Hana, kakak minta tolong, kamu gantiin baju gadis ini, ya! Kakak mau keluar dulu beli makanan."

"Oke bos, serahkan semuanya pada adikmu, ini."

***

Suasana jalanan mulai ramai lagi dengan pejalan kaki setelah sempat sepi karena turun hujan tadi. Langkahku tertuju pada sebuah warung makan, seperti biasa aku membeli nasi goreng. Namun, kali ini tiga bungkus.

Ya, sejak ayah dan ibu kami berpisah. Aku memutusan untuk hidup mandiri bersama adikku, Hana. Tak ingin berada dalam tekanan maupun masa lalu yang kelam. Saat orang tua tak lagi bisa menempatkan dirinya sebagai orang tua, hanya pertengkaran yang tak kunjung usai. Ah, apalah dayaku. Masa lalu biarlah berlalu. Toh juga sekarang mereka sudah bahagia dengan keluarga barunya masing-masing.

***

"Makasih, ya. Sudah nolong aku. Kenalin nama aku Rani." Itulah awal aku mengetahui namanya. Kami bertiga pun makan malam bersama.

Setelah rasa kantuk mulai tak tertahankan, aku memutuskan untuk tidur di sofa ruang tamu, karena Rani menggunakan kamarku.

Bersambung ...

01/07/2019