- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Cerita Kepala Kedua [20++]


TS
Kepalakedua
Cerita Kepala Kedua [20++]
Quote:
Buat orang-orang berumur dua puluhan yang mungkin lagi meragukan banyak kenyataan, tulisan ini aku persembahakan.
Spoiler for Cover:
Quote:
![Cerita Kepala Kedua [20++]](https://s.kaskus.id/images/2019/06/23/10623014_20190623090827.jpeg)
00: Dari Nol Ya!
Quote:
Di kamar kos yang minim fasilitas, aku duduk-duduk di kasur sambil baca buku paling menyedihkan di dunia; buku tabungan. Apa yang diceritakan di sana bikin aku menjerit, "YASALAAAM INI SALDO APA KODE POS?" Begitulah rasanya bangun tidur waktu hidup lagi tokai-tokainya. Dan itulah, satu dari sekian risiko mengejar passion dan mengikuti kata hati yang jarang diceritakan orang. Kata hati nggak pernah salah, cuma ya... sering juga bikin masalah.
Gimana caranya bayar kosan bulan depan?
Bakal cukup nggak ya buat makan?
Aing udah seperempat abad anjir masa gini-gini aja!
Aku mengangkat diri terus diam di depan lemari baju yang ada kacanya. Lumayan lama juga ya nggak melihat diri sendiri. Aku jadi pangling sama dia yang aku lihat di kaca. "Hei bro! Gagal lagi bro? Udah kerasa belum sakitnya? Hehe." Itu senyuman penuh ejekan, "kalem dulu, kalem."
Aku nunduk terus usap-usap wajah yang nggak seberapa indah, "capek juga ya ngejar-ngejar yang terbang." Keluhku.
"Kamu mah cuma denger kata orang sih, bermimpilah setinggi-tingginya. Giliran aing yang bilang kalau mau setinggi itu harus siap jatuh sesakit itu juga... nggak mau dengar." Suaranya meninggi.
"Maaf atuh anjir..." Balasku.
Demi mencari hiburan, aku membuka ponsel. Biasanya aku lihat-lihat Instagram. Aku suka Instagram, satu orang yang sama mukanya bisa beda-beda. Keren banget nggak sih...
Hari itu rasanya lain, nggak ada kesenangan kayak biasanya. Buka-buka dunia sosial maya bikin aku merasa semakin buruk. Aku berasumsi kalau semua orang punya hidup yang oke kecuali aku.
"Nggak gitu atuh anjir!" Dia bersuara agak keras. "Kamu nggak bisa megang kendali sama apa yang terjadi di luar sana. Kamu cuma bisa megang kendali sama apa yang di dalam situ." Dia menunjuk dadaku.
"Tapi..."
"Jangan lihat ke luar terus! Lihat ke dalam... ada aku."
***
Daripada tambah pusing, mending aku mandi aja. Terus ke luar cari udara segar yang sebenarnya nggak segar-segar amat. Mana ada udara segar di tengah kota Bandung yang lagi macet-macetnya. Di Lembang sana baru ada. Aku makan siang terus nongkrong di pinggir jalan Cihampelas. Banyak orang lalu lalang. Wajar, hari minggu waktunya orang-orang pada bersosialisasi. Jadi pada keluar rumah, biar kelihatan punya teman.
Duduk sendiri, mengamati orang-orang sekitar sini. Kalau diamati, rasa di wajahnya beda-beda. Aku jadi bertanya-tanya, mereka pada ngapain sih di sini? Pada bahagia nggak sih mereka itu? Lihat bapak-bapak tukang parkir itu? Iya, yang lagi ketawa lepas sama rekan sejawatnya. Mereka hore-hore di pinggir jalan, bukan tempat ngopi estetik.
Dia punya mimpi nggak sih? Coba samperin terus tanya baik-baik, "Jadi tukang parkir itu cita-cita Pak? Ini ngejar passion ya Pak?"
Nggak, kemungkinan dia cuma bertahan hidup aja dan terlihat baik-baik aja. Aku penasaran bagaimana cara dia memaknai hidup, ya? Aku mau tahu cara dia menambal segala kekurangan di hidupnya dan mengisi segala kekosongan di hatinya.
Dia nggak nongkrong di cafe kekinian.
Dia nggak sibuk mikirin gaya berpakaian.
Dia nggak peduli sama drama di dunia maya.
Di sini, dia bercanda sama teman-temannya. Menikmati yang seadanya, terus tertawa selepas-lepasnya. Keren ya, ringan dan menyenangkan. Lukanya tertutup rapi, tapi ketegarannya telanjang.
Pernyataan:
Aku yang lagi sejatuh ini masih punya banyak hal yang lebih baik dari dia.
Pertanyaan:
Apa itu berarti seharusnya aku punya banyak alasan buat lebih bahagia?
Aku penasaran bapak-bapak itu waktu masih muda mimpinya apa? Waktu remaja, aku punya mimpi mau bangun rumah sebelum umur 25. Sekarang udah lewat, "Udah 25 lebih kenapa belum punya rumah?"
"Hei!" Dia bersuara lagi, "itu harapan mulai berubah jadi tuntutan anjir! Jangan gitu!"
"Tapi..."
"Dengar!" Dia bersuara lebih keras, "kamu itu masih mampu bayar kos setiap bulan dan sama sekali nggak ada yang salah dengan itu. Emang belum ada rumah kayak yang kamu mimpikan, tapi... itu nggak apa-apa!"
"Nggak apa-apa ya?"
"Iyalah nggak apa-apa. Jangan sampai apa yang kamu harapkan bikin kamu benci sama apa yang jadi kenyataan."
"Emang aing seburuk itu ya? Sampai harus segagal ini?"
"Nggak buruk dan nggak gagal juga sih sebenarnya." Suaranya melunak, "yang bikin rasanya nggak enak itu karena kamu menggantungkan harapan dan kebahagiaan ke sesuatu di luar kendali."
"Masa sih?"
"Nggak sadar? Kan aing udah bilang berkali-kali anjir!" Suaranya meninggi lagi, "kamu berharap produk yang kamu jual laku keras karena kamu bakal bahagia karena itu. Padahal, semua itu di luar kendali kamu."
"..."
"Apa yang ada di dalam kendali? Segala hal yang kamu usahakan, sekecil-kecilnya. "
"...tapi nggak ada hasilnya." Aku menyimpulkan.
"Nggak apa-apa, nggak semuanya harus berhasil. Nggak semuanya harus menang, nggak semuanya harus sekarang. Seharusnya kamu cukup berharap jadi orang yang selalu mau berusaha apapun yang terjadi dan bahagia karena kamu mau menerima lelahnya."
"Iya, aku cuma agak malu. Aku pernah memimpikan sosok aku seindah-indahnya, ternyata aku belum seindah itu. Beda sama merek—"
"Hei." Dia menyanggah, "hidup itu bukan kompetisi, tapi dokumentasi. Semua yang indah nggak datang secepatnya, tapi setepatnya. Kamu mau orang yang cepat atau orang yang tepat?"
Hehe.
Aku agak senang menyadari itu. Kayak disiram air dingin pas cuaca lagi panas-panasnya.
"Aku nggak tahu harus ngapain lagi." Aku berterus terang.
"Kamu itu punya selalu punya tugas besar loh!"
"Apa?"
"Bikin kenangan."
"..."
"Hayu anjir bikin kenangan, biar nggak malu-maluin anak cucu."
"Oke hayu."
Matahari udah mau pamit, sebaiknya aku pulang ke kosan. Rasanya jadi agak ringan. Mungkin benar, ada yang salah. Ada yang belum baik dan harus diperbaiki. Aku mau menguasai dunia, tapi cukup duniaku aja. Bukan lagi dunia mereka, kegedean.
"Hei, terima kasih buat hari ini." Suara itu menenangkan, suara yang selama ini dengan sengaja aku abaikan. Suara kepala kedua yang aku yakin semua orang punya. "Besok coba lagi. Masih bisa jatuh dan bangkit lagi."
"..."
"Kalau hari ini belum jadi apa-apa, nggak apa-apa."
Baru mau tidur, ponsel bunyi. Ada chat dari seseorang.
'Aa apa kabar?
'
Anjir, pakai nanya kabar segala. Terus kalau aku bilang kabarku buruk dia mau apa?
'Kabarnya buruk, Neng. Keputusan yang aku anggap benar ternyata salah anjir. Kamu mau peluk aku nggak, Neng? Kayak dulu...'
Hapus... hapus... jangan gini balasnya!
'Baik, Neng.'
Bohong kecil gini nggak apa-apa kan? Semua orang pernah kan?
'Minggu depan aku ke Bandung ketemuan boleh nggak?'
Seandainya aku lagi punya sesuatu buat dibanggakan, pasti bakal aku iyakan.
Seandainya aku udah jauh lebih baik dari kali terakhir kita ketemu, pasti bakal aku iyakan.
Seandainya... ah nanti ajalah balasnya, tidur dulu aja.
Gimana caranya bayar kosan bulan depan?
Bakal cukup nggak ya buat makan?
Aing udah seperempat abad anjir masa gini-gini aja!
Aku mengangkat diri terus diam di depan lemari baju yang ada kacanya. Lumayan lama juga ya nggak melihat diri sendiri. Aku jadi pangling sama dia yang aku lihat di kaca. "Hei bro! Gagal lagi bro? Udah kerasa belum sakitnya? Hehe." Itu senyuman penuh ejekan, "kalem dulu, kalem."
Aku nunduk terus usap-usap wajah yang nggak seberapa indah, "capek juga ya ngejar-ngejar yang terbang." Keluhku.
"Kamu mah cuma denger kata orang sih, bermimpilah setinggi-tingginya. Giliran aing yang bilang kalau mau setinggi itu harus siap jatuh sesakit itu juga... nggak mau dengar." Suaranya meninggi.
"Maaf atuh anjir..." Balasku.
Demi mencari hiburan, aku membuka ponsel. Biasanya aku lihat-lihat Instagram. Aku suka Instagram, satu orang yang sama mukanya bisa beda-beda. Keren banget nggak sih...
Hari itu rasanya lain, nggak ada kesenangan kayak biasanya. Buka-buka dunia sosial maya bikin aku merasa semakin buruk. Aku berasumsi kalau semua orang punya hidup yang oke kecuali aku.
"Nggak gitu atuh anjir!" Dia bersuara agak keras. "Kamu nggak bisa megang kendali sama apa yang terjadi di luar sana. Kamu cuma bisa megang kendali sama apa yang di dalam situ." Dia menunjuk dadaku.
"Tapi..."
"Jangan lihat ke luar terus! Lihat ke dalam... ada aku."
***
Daripada tambah pusing, mending aku mandi aja. Terus ke luar cari udara segar yang sebenarnya nggak segar-segar amat. Mana ada udara segar di tengah kota Bandung yang lagi macet-macetnya. Di Lembang sana baru ada. Aku makan siang terus nongkrong di pinggir jalan Cihampelas. Banyak orang lalu lalang. Wajar, hari minggu waktunya orang-orang pada bersosialisasi. Jadi pada keluar rumah, biar kelihatan punya teman.
Duduk sendiri, mengamati orang-orang sekitar sini. Kalau diamati, rasa di wajahnya beda-beda. Aku jadi bertanya-tanya, mereka pada ngapain sih di sini? Pada bahagia nggak sih mereka itu? Lihat bapak-bapak tukang parkir itu? Iya, yang lagi ketawa lepas sama rekan sejawatnya. Mereka hore-hore di pinggir jalan, bukan tempat ngopi estetik.
Dia punya mimpi nggak sih? Coba samperin terus tanya baik-baik, "Jadi tukang parkir itu cita-cita Pak? Ini ngejar passion ya Pak?"
Nggak, kemungkinan dia cuma bertahan hidup aja dan terlihat baik-baik aja. Aku penasaran bagaimana cara dia memaknai hidup, ya? Aku mau tahu cara dia menambal segala kekurangan di hidupnya dan mengisi segala kekosongan di hatinya.
Dia nggak nongkrong di cafe kekinian.
Dia nggak sibuk mikirin gaya berpakaian.
Dia nggak peduli sama drama di dunia maya.
Di sini, dia bercanda sama teman-temannya. Menikmati yang seadanya, terus tertawa selepas-lepasnya. Keren ya, ringan dan menyenangkan. Lukanya tertutup rapi, tapi ketegarannya telanjang.
Pernyataan:
Aku yang lagi sejatuh ini masih punya banyak hal yang lebih baik dari dia.
Pertanyaan:
Apa itu berarti seharusnya aku punya banyak alasan buat lebih bahagia?
Aku penasaran bapak-bapak itu waktu masih muda mimpinya apa? Waktu remaja, aku punya mimpi mau bangun rumah sebelum umur 25. Sekarang udah lewat, "Udah 25 lebih kenapa belum punya rumah?"
"Hei!" Dia bersuara lagi, "itu harapan mulai berubah jadi tuntutan anjir! Jangan gitu!"
"Tapi..."
"Dengar!" Dia bersuara lebih keras, "kamu itu masih mampu bayar kos setiap bulan dan sama sekali nggak ada yang salah dengan itu. Emang belum ada rumah kayak yang kamu mimpikan, tapi... itu nggak apa-apa!"
"Nggak apa-apa ya?"
"Iyalah nggak apa-apa. Jangan sampai apa yang kamu harapkan bikin kamu benci sama apa yang jadi kenyataan."
"Emang aing seburuk itu ya? Sampai harus segagal ini?"
"Nggak buruk dan nggak gagal juga sih sebenarnya." Suaranya melunak, "yang bikin rasanya nggak enak itu karena kamu menggantungkan harapan dan kebahagiaan ke sesuatu di luar kendali."
"Masa sih?"
"Nggak sadar? Kan aing udah bilang berkali-kali anjir!" Suaranya meninggi lagi, "kamu berharap produk yang kamu jual laku keras karena kamu bakal bahagia karena itu. Padahal, semua itu di luar kendali kamu."
"..."
"Apa yang ada di dalam kendali? Segala hal yang kamu usahakan, sekecil-kecilnya. "
"...tapi nggak ada hasilnya." Aku menyimpulkan.
"Nggak apa-apa, nggak semuanya harus berhasil. Nggak semuanya harus menang, nggak semuanya harus sekarang. Seharusnya kamu cukup berharap jadi orang yang selalu mau berusaha apapun yang terjadi dan bahagia karena kamu mau menerima lelahnya."
"Iya, aku cuma agak malu. Aku pernah memimpikan sosok aku seindah-indahnya, ternyata aku belum seindah itu. Beda sama merek—"
"Hei." Dia menyanggah, "hidup itu bukan kompetisi, tapi dokumentasi. Semua yang indah nggak datang secepatnya, tapi setepatnya. Kamu mau orang yang cepat atau orang yang tepat?"
Hehe.
Aku agak senang menyadari itu. Kayak disiram air dingin pas cuaca lagi panas-panasnya.
"Aku nggak tahu harus ngapain lagi." Aku berterus terang.
"Kamu itu punya selalu punya tugas besar loh!"
"Apa?"
"Bikin kenangan."
"..."
"Hayu anjir bikin kenangan, biar nggak malu-maluin anak cucu."
"Oke hayu."
Matahari udah mau pamit, sebaiknya aku pulang ke kosan. Rasanya jadi agak ringan. Mungkin benar, ada yang salah. Ada yang belum baik dan harus diperbaiki. Aku mau menguasai dunia, tapi cukup duniaku aja. Bukan lagi dunia mereka, kegedean.
"Hei, terima kasih buat hari ini." Suara itu menenangkan, suara yang selama ini dengan sengaja aku abaikan. Suara kepala kedua yang aku yakin semua orang punya. "Besok coba lagi. Masih bisa jatuh dan bangkit lagi."
"..."
"Kalau hari ini belum jadi apa-apa, nggak apa-apa."
Baru mau tidur, ponsel bunyi. Ada chat dari seseorang.
'Aa apa kabar?

Anjir, pakai nanya kabar segala. Terus kalau aku bilang kabarku buruk dia mau apa?
'Kabarnya buruk, Neng. Keputusan yang aku anggap benar ternyata salah anjir. Kamu mau peluk aku nggak, Neng? Kayak dulu...'
Hapus... hapus... jangan gini balasnya!
'Baik, Neng.'
Bohong kecil gini nggak apa-apa kan? Semua orang pernah kan?
'Minggu depan aku ke Bandung ketemuan boleh nggak?'
Seandainya aku lagi punya sesuatu buat dibanggakan, pasti bakal aku iyakan.
Seandainya aku udah jauh lebih baik dari kali terakhir kita ketemu, pasti bakal aku iyakan.
Seandainya... ah nanti ajalah balasnya, tidur dulu aja.
Hei
Manusia,
Yang ada apa-apa
Yang bukan siapa-siapa
Yang belum ke mana-mana
Nggak apa-apa
Nggak apa-apa
Nggak apa-apa.
Manusia,
Yang ada apa-apa
Yang bukan siapa-siapa
Yang belum ke mana-mana
Nggak apa-apa
Nggak apa-apa
Nggak apa-apa.
Spoiler for INDEX:
00: Mulai Dari Nol!
01: Inovasi Dari Sini
02: Pesan Dari Hujan
03: Mimpiku yang Ada Kamunya
04: Teori Bintang Jatuh
Quote:
Halo Masgan dan Mbaksis sekalian


Mau numpang nulis cerita di sini ya
Kalau boleh, tinggalin jejaknya ya
Biar saya kenal masnya dan mbaknya sebagai manusia bukan cuma data hehe
Selamat menikmati! Maaf versi yang kemarin direvisi, yang ini lebih enak dibaca soalnya.



Mau numpang nulis cerita di sini ya
Kalau boleh, tinggalin jejaknya ya
Biar saya kenal masnya dan mbaknya sebagai manusia bukan cuma data hehe
Selamat menikmati! Maaf versi yang kemarin direvisi, yang ini lebih enak dibaca soalnya.
Diubah oleh Kepalakedua 02-07-2019 09:56






anton2019827 dan 35 lainnya memberi reputasi
34
13.3K
Kutip
65
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan