- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Rontoknya Caleg dari Kalangan Artis


TS
Herdwi78
Rontoknya Caleg dari Kalangan Artis

Jakarta - Pemilu Legislatif 2019 kali ini ditandai dengan banyak hal, salah satunya rontoknya calon legislatif (caleg) dari kalangan artis. Dari 91 sosok yang terbilang artis yang maju dalam pileg, mayoritas baik yang incumbent maupun pendatang baru gagal melangkah ke Senayan. Mereka yang gagal seperti Ahmad Dhani, Sundari Soekotjo, Andre Hehanusa, Lucky Perdana, Emilia Contessa, Denada, Venna Melinda, Manohara, dan Sari Koeswoyo. Akibat yang demikian membuat DPR periode 2019-2024 akan kering dari lalu lalang wakil rakyat dari kalangan biduan, biduanita, dan bintang film serta sinetron itu.
Tentu hal demikian berbeda dengan DPR periode-periode sebelumnya. Pada periode 2014-2019 saja ada 18 artis yang menyegarkan suasana Senayan. Mereka itu di antaranya Desy Ratnasari, Primus Yustisio, Lucky Hakim, Anang Hermansyah, Eko Hendro Purnomo, Rieke Diah Pitaloka, Tantowi Yahya, Rachel Maryam Sayidina, dan Jamal Mirdad.
Suksesnya artis menjadi pendulang suara dari pemilu ke pemilu rupanya menjadi resep yang mujarab dan instan bagi banyak partai politik sehingga mereka menyodorkan artis kepada masyarakat untuk menambah kursi di parlemen. Strategi yang demikian juga digunakan oleh partai politik dalam pemilu tahun ini.
Rupanya kebiasaan yang terbilang instan, merekrut kader partai politik dari kalangan artis, kali ini tak menemui keberuntungan seperti pada tahun-tahun sebelumnya, meski di antara artis yang maju ada juga yang lolos. Dengan pelajaran yang di dapat pada Pemilu 2019, selanjutnya sepertinya partai politik tidak akan menggebu-nggebu lagi mengajak artis menjadi caleg. Walaupun merekrut artis untuk menjadi caleg, namun partai politik melakukan dengan selektif. Tidak semua artis yang cantik dan seksi langsung diajak untuk berpolitik.
Mengapa artis-artis kali ini banyak yang gagal melenggang ke Senayan dibanding dengan dua atau tiga periode sebelumnya? Ada beberapa faktor yang kemungkinan bisa menyebabkan artis tak mudah lagi menjadi wakil rakyat. Pertama, dari dinamika di DPR terasa bahwa kinerja wakil rakyat dari kalangan artis terlihat tidak maksimal. Kontribusi mereka dalam fungsinya untuk membuat undang-undang, melakukan pengawasan, dan budgeting tidak tampak.
Dalam forum-forum yang ada, yang lebih menonjol adalah dari politisi yang terkader. Hal inilah yang akhirnya ditangkap oleh masyarakat bahwa wakil rakyat yang mereka pilih, dari kalangan artis, rupanya tidak berfungsi secara maksimal. Mereka, kalangan artis, bisa saja rajin hadir dalam sidang-sidang di DPR namun kontribusi mereka dalam forum-forum itu bisa jadi tidak menimbulkan greget tersendiri.
"Kecewa" dengan sikap yang demikian membuat masyarakat enggan untuk mencoblos mereka. Sekarang ada pikiran di masyarakat mengapa memilih wakil yang cantik, tampan, seksi, pandai menyanyi, menghibur, acting, dan menari bila tidak bisa memperjuangkan nasib rakyat. Kekecewaan inilah yang ditumpahkan pada Pemilu 2019 padahal biasanya masyarakat terhipnotis oleh keindahan tubuh para artis sehingga memilih mereka.
Kedua, dalam sistem pemilihan terbuka, caleg dari kalangan artis maupun non-artis dalam satu partai, mereka bertarung bebas, terbuka, dan saling tidak mau mengalah. Masing-masing menggunakan strategi tanpa mempedulikan kawan sendiri, berjuang di tengah masyarakat agar terpilih. Lihat saja bagaimana persaingan seru sesama caleg PDIP di Dapil V Jawa Timur antara Krisdayanti dengan Wasekjen PDIP Ahmad Basarah.
Masing-masing memiliki tim sukses dan bergerak, entah sendiri-sendiri atau bersama, keduanya berkejaran dalam meraih suara. Dari masing-masing tim sukses dengan kerja yang tak sama membuat Krisdayanti meraih 132.131 suara, sedang Ahmad Basarah meraih 104.914 suara.
Dengan melihat gambaran di Dapil V Jawa Timur, pastinya caleg dari kalangan artis dan non-artis, tak mau peduli dengan status-status yang ada. Caleg dari kalangan non-artis bisa jadi lebih bersemangat bekerja sebab bisa jadi popularitas yang dimiliki tidak setinggi caleg dari kalangan artis.
Ketiga, artis terlena dengan popularitasnya. Sebagaimana kita ketahui, mereka maju dalam pemilu dengan berbekal popularitas yang dimiliki. Popularitas mereka terbentuk sejak lama dengan sering tampil di televisi, koran, dan media massa lainnya. Hal demikian membuat masyarakat se-Indonesia mengenal dirinya. Tak heran bila artis ditempatkan di dapil mana saja meski sebelumnya ia tidak tahu bahkan tidak pernah mengunjungi daerah pemilihannya.
Namun sayang, modal besar yang dimiliki yakni popularitas, tidak digunakan secara penuh. Mereka terlalu "pede" dengan popularitas yang dimiliki sehingga tidak maksimal turun ke masyarakat. Mereka tentu mengelak bila dibilang tidak turun ke masyarakat. Benar mereka turun ke masyarakat namun titik-titik yang dikunjungi tidak masif padahal masyarakat kita sekarang adalah masyarakat yang ingin diperhatikan dan disentuh secara langsung. Mereka lebih menyenangi caleg yang datang langsung kepadanya daripada sekadar popularitas atau alat peraga kampanye di depan mata.
Untuk itulah tak heran bila caleg dari kalangan non-artis, yang popularitasnya tak setinggi dengan artis, bisa lolos ke Senayan karena mereka bisa mengambil hati masyarakat dengan mendatangi dan memberikan harapan.
Ardi Winangun Direktur Indonesia Political Review
(mmu/mmu)
https://m.detik.com/news/kolom/d-459...from=wpm_nhl_7






greedaon dan 7 lainnya memberi reputasi
8
6.1K
30


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan