- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
IT'S KEANE [Short Story]


TS
moviegangsta
IT'S KEANE [Short Story]
![IT'S KEANE [Short Story]](https://s.kaskus.id/images/2019/06/08/8476326_20190608101915.jpg)
"Kak, udah hampir jam enam lho. Bangun, mandi, terus segera ke masjidnya.”
Aku bisa mendengar suara Mama tapi aku agak malas untuk merespons. Aku hanya mengeluarkan suara mirip erangan, sebatas dia tahu aku sudah bangun. Benar-benar malas sekali bergerak dari kasur dan keluar dari selimut. Tempat ini tidak pernah terasa sedingin ini. Biasanya aku nggak butuh selimut tebal yang sudah kugunakan sejak SMP ini setiap kali pulang. Biasanya aku justru tidur sambil membuka jendela meski konsekuensinya aku harus berjibaku dengan kawanan nyamuk sepanjang malam (dan siang). Aku sedang berada di Waktu Indonesia Tengah, satu jam lebih cepat dari waktu Jakarta. Tapi jam tidurku selama seminggu di rumah masih mengikuti waktu Jakarta jadi kupikir nggak masalah kalau aku masih malas-malasan meski jam sudah menunjukkan hampir pukul enam di sini. Belum waktunya bangun. Biasanya aku bangun jam tujuh atau setengah delapan.
“Ah, hari ini kan Lebaran,” aku bergumam sambil meraba-raba di sekitar bantal, mencari handphone yang sejak semalam tak berhenti bergetar karena kedatangan banyak sekali notifikasi berisi ucapan selamat Idulfitri. Tidak satupun dari pesan-pesan itu langsung kubaca. Apalagi kubalas.
Sudah jadi kebiasaanku dari tahun ke tahun untuk tidak segera membalas pesan-pesan itu. Bukan karena aku malas (sebenarnya memang sih, hehe), tapi aku tidak ingin memberi kesan bahwa aku tidak punya kerjaan lain selain membalas pesan ucapan selamat Lebaran. Selain itu, karena ucapan Lebaran biasanya diikuti dengan kata-kata permohonan maaf (dan buatku meminta maaf itu adalah perkara serius) jadi aku butuh waktu untuk berpikir. Pesan yang kubalas itu dari siapa? Apakah aku pernah melakukan kesalahan-kesalahan tertentu yang menyakiti hatinya selama setahun terakhir? Apakah kita cukup banyak menghabiskan waktu bersama selama setahun terakhir? Apakah kita cukup banyak mengobrol selama setahun terakhir? Kalau semuanya negatif, aku tidak perlu buru-buru membalas pesan itu karena hampir pasti mereka juga mengirim ucapan selamat dan permintaan maaf itu hanya formalitas saja. Broadcast message. Buatku itu tidak terkesan tulus sama sekali.
“Kak!” Mama berteriak lagi dan dari suaranya dia terdengar lebih tegas dari yang tadi.
“Iya! Iya! Kakak bangun!” balasku sambil menguap lebar dan menggeliat. Aku akan bercumbu dengan kasur ini lagi nanti setelah pulang dari masjid. Sekarang sebaiknya aku mandi dulu.
Lebaran di 2019 dan dua sampai tiga tahun sebelumnya sudah tidak terasa meriah lagi. Aku merasa orang-orang mulai menyikapi Hari Lebaran sebagai perayaan formalitas saja yang dilakukan setiap tahun. Seperti upacara bendera Senin pagi di sekolah dulu. Sebagian besar sudah terlihat malas-malasan. Dekorasi kampung tidak lagi semeriah waktu aku masih remaja. Setiap tahunnya ritual salam-salaman terasa hambar. Penuh dengan wajah-wajah palsu yang punya pikiran yang sama: “Habis ini, ya kita gunjing lagi. Ghibah lagi.”
Ya oke. Aku juga begitu kok. Maafin. Mumpung lagi Lebaran.
Orang-orang yang bersemangat untuk begadang buat mendekor kampung sekarang sudah menua. Sudah tidak bersemangat seperti dulu. Sementara generasi penerus mereka usianya masih terlalu muda dan terlalu sibuk dengan gadget mereka. Tak ada lagi adegan mengetuk pintu satu rumah ke rumah lain untuk minta sumbangan buat mendekor kampung. Tak ada lagi adegan memotong bendera kertas dua hari sebelum Lebaran (yang biasanya jadi agenda yang paling kutunggu-tunggu). Sekarang semuanya terasa hambar.
Sekali lagi.
Sebenarnya aku lebih memilih diam di kamar, mendengarkan lagu-lagu patah hati atau nonton Netflix seharian. Meski rasanya tak bijak (dan tak akan dapat izin dari Mama) tapi inilah yang aku butuhkan daripada menghadapi wajah-wajah palsu itu. Aku tahu mereka. Aku kenal seperti apa mereka. Aku kenal orang-orang di kampung ini dan semakin mereka tua, semakin buruk perangainya.
Ah, aku seharusnya tidak berpikir negatif seperti ini di Hari Raya. Hahahaha... Maaf.
“Tadi Om Agung sekeluarga bilang mau mampir ke sini. Udah lama banget mereka nggak ke rumah, katanya. Jadi mungkin setelah dari masjid mereka mau langsung ke rumah. Jadi kamu nanti langsung pulang aja sehabis dari masjid ya. Mama nggak salat hari ini jadi nggak ke masjid,” kata Mama ketika aku keluar dari kamar mandi.
“Om Agung?” rasanya sudah lama sekali tidak mendengar nama ini disebut. Bayang-bayang wajah seorang laki-laki berusia 45 tahunan muncul di kepalaku meski aku tidak yakin bayangan yang muncul di kepalaku itu adalah Om Agung atau Gong Yoo. Aku seharian kemarin binge-watching Goblin. Tapi yang aku ingat, Om Agung ini memang tampan.
“Iya. Dia sama Keane katanya,”
Deg.
Shit.
Langkahku terhenti persis di depan pintu kamar. Sekujur tubuhku mendadak dingin. Dan ini bukan karena efek air saat mandi tadi.
Keane.
Nama itu sudah tak pernah terdengar lagi entah sejak kapan. Bahkan mungkin lebih lama dari aku tidak pernah mendengar nama Om Agung. Aku bisa merasakan wajahku memanas yang aku yakin sekarang warnanya sudah berubah kemerahan. Untung saja Mama tidak lihat. Aku masih berdiri di depan pintu dan sekarang kepalaku penuh dengan Keane.
Keane yang dulu selalu senang berteriak sambil lari-larian di depan rumah.
Keane yang dulu selalu berteriak ketakutan ketika melihat cacing tanah.
Keane yang dulu ngambek karena dia maunya masuk SMA tapi Om Agung ngotot dia harus masuk madrasah (akhirnya Om Agung kalah. Atau lebih tepatnya mengalah).
Aku tidak pernah bertemu dengan Keane ini lagi sejak... entahlah.
Aku rupanya masih menyimpan perasaan padanya. Itulah kenapa wajahku mendadak memerah.
Kalau ada hal yang membuatku bersemangat di Lebaran kali ini, lebih bersemangat dari Lebaran-Lebaran sebelumnya, Keane adalah orang yang harus mendapat ucapan terima kasih itu.
“F*ck. Harusnya kemarin aku beli saja baju di toko itu. Kenapa harus ragu-ragu sih?”
Aku mengumpat sambil melirik baju Lebaran dua tahun lalu yang baru disetrika Mama semalam.
F*ck.
Eh sekarang sudah boleh ngumpat kan ya? Kan sudah nggak puasa.
---
Aku sama sekali tidak mendengarkan dengan saksama khotbah salat Idulfitri hari ini. Kepalaku mendadak dipenuhi oleh kenangan-kenangan lama dengan Keane. Kebanyakan memang kenangan masa kecil dan masa remaja kami yang masih alay. Tapi buatku kenangan-kenangan itu terasa manis. Bahkan masih manis hingga saat ini. Mau bagaimana lagi?
Aku mungkin sekarang bisa bilang kalau aku jatuh cinta pada Keane. Kalau dulu, mana berani aku mengakui perasaan itu. Tapi kapan persisnya aku mulai merasakan kupu-kupu di dalam perutku setiap melihat Keane itu aku nggak tahu.
Mungkin sejak dia berteriak memanggil namaku ketika meluncur dari satu-satunya Waterboom di kota ini ketika kami SMP? Hari itu aku merasa sangat malu sekali tapi diam-diam aku senang. Alih-alih memaki atau berteriak wajar “AAAAAAAKKKK!!!!” seperti orang kebanyakan, dia lebih memilih meneriakkan namaku. Dia bilang dia takut tapi dia ingin membuktikan padaku kalau dia berani meluncur dari ketinggan. Mungkin sejak saat itu?
Atau mungkin ketika dia keracunan Mie Ayam di kantin sekolah (yang anehnya cuma dia doang yang keracunan, yang lain tidak), yang pertama kali dicarinya adalah aku. Dia ingin aku menemaninya di UGD. Walaupun kalau dipikir-pikir sih ini karena dia bisa dengan mudah menyuruhku untuk mengambilkannya minum, makan, atau sekedar membantunya turun dari kasur untuk berjalan ke toilet. Om Agung bahkan tidak mau repot-repot meminta orang lain buat menjaga Keane tapi lebih percaya padaku. Mungkin sejak saat itu?
Atau mungkin ketika aku melihat Keane bergandengan tangan dengan anak XII IPA 4 di SMA saat pesta perpisahan. Ketika aku merasa seperti semua yang ada di dadaku jatuh ke dasar perut, kakiku melemas, wajahku mendadak pucat. Ketika aku merasakan sedih dan marah di saat yang sama. Mungkin sejak saat itu?
Aku juga tidak ingat kapan terakhir kali aku menghubungi Keane. Sejak kita tidak lagi tinggal di kota yang sama, tidak lagi juga kita sering menyapa. Sejak melihatnya bergandengan tangan dengan anak XII IPA 4 itu aku tidak bicara lagi padanya. Persis keesokan harinya aku pindah ke Jakarta untuk persiapan kuliah dan sejak saat itu aku tidak pernah lagi bicara pada Keane. Tidak juga lewat media sosial. Aku memang seperti itu, pendendam. Ketika rasanya sudah hilang, aku lupa untuk memulai memperbaiki hubungan itu lagi.
Keane di sisi lain adalah anak yang “nggak enakan”. Kalau dia merasa aku menjauhinya, dia akan berusaha mengerti dan pelan-pelan menjauh. Takut mencari tahu alasannya. Di saat yang sama dia bukan orang yang akan mengajak “memulai lagi dari nol” dengan segera. Terlebih ketika dia sudah fokus melakukan hal lain. Yang kudengar dari Mama, Keane kuliah di luar negeri dan selama beberapa tahun itu dia bahkan sering lupa menelepon Om Agung. Pernah suatu hari Mama cerita padaku lewat telepon kalau Om Agung marah-marah ke Keane karena jarang menelepon atau memberi kabar. Tapi Keane malah cuek dan buru-buru menutup telepon karena dia paling nggak suka kalau Om Agung terlalu banyak menuntut dan bersikap, yang menurut Keane, manja seperti itu. Aku hanya tertawa sekaligus tidak mengerti. Aku sudah lupa rasanya punya Papa, sementara Om Agung adalah orangtua Keane satu-satunya.
Mungkin ini hari yang pas untuk mulai bicara lagi pada Keane?
Aku yang sejak tadi menggenggam ponsel ragu-ragu mengetik nama Keane di daftar kontak. Aku berniat untuk bertanya: Jam berapa dia akan datang hari ini? Apakah dia sudah di jalan? Apakah dia membawa sesuatu untuk dimakan bersama? Mungkin Om Agung masak sesuatu karena dia kan jago masak.
Apakah dia rindu padaku? Hehe.
Tapi mana mungkin aku punya nyali untuk melakukan itu. Aku terlalu lama berpikir sampai-sampai khotbah sudah selesai dan semua orang sudah berdiri dan berjalan keluar ruangan salat.
“Oh sudah selesai?”
Aku semakin berdebar.
Apakah Keane marah padaku karena selama ini aku tidak pernah menghubunginya? Aku bahkan tidak pernah menjelaskan kenapa aku tak lagi bicara padanya sejak pesta kelulusan itu. Dia bahkan tidak pernah berusaha untuk mencari tahu! Apakah Keane tahu soal perasaanku? Kalau dia tahu, lalu dia mengerti dan memaafkan aku, apakah masih ada kesempatan untuk kita bisa... yah... pacaran, gitu?
“IHHHHH!!!!!!”aku berteriak terlalu kencang sampai-sampai beberapa orang di sekitarku (yang sama-sama sedang mencari sandal mereka) melihat ke arahku dan memberi pandangan mencela.
“Pacaran sama Keane?! Gila, kali!?” kataku dengan volume suara sangat sangat kecil. Aku menemukan sandalku. Memasangnya dan buru-buru jalan keluar dari halaman masjid.
“Ya tapi ingin sih...” aku tersipu-sipu sendiri lalu berjalan agak cepat ke arah rumah.
Aku bahkan tidak punya persiapan apapun untuk bertemu Keane hari ini. Aku belum mempersiapkan hatiku sama sekali. Bagaimana kalau Keane mangajak pacarnya? Atau calon teman hidup yang dia impi-impikan selama ini? Bagaimana kalau dia memanfaatkan momen ini untuk memperkenalkannya ke Mama dan aku?
“F*ck. Kemungkinan itu kan selalu ada!”
Bagaimana kalau ternyata kita malah jadi canggung saking lamanya kita nggak ketemu? Lalu bagaimana kalau Keane sama sekali sudah berubah dan menjadi pribadi yang berbeda? Sudah bukan Keane yang dulu? Bukan lagi Keane yang clingy, yang selalu mau ada aku di setiap kegiatannya, yang selalu mau aku bantu ketika dia butuh, yang selalu bisa terbuka padaku tentang apapun (kecuali anak XII IPA 4 itu), yang sudah jadi lebih dari seorang teman. Sahabat. Amerika, Inggris, atau di manapun dia kuliah dan bekerja sekarang bisa jadi sudah mengubahnya menjadi sosok yang berbeda. Mungkin bahkan dia tidak lagi suka hal “menye-menye” seperti membicarakan kenangan masa lalu. Lagipula, yang menjauhinya dari awal kan memang aku.
Bagaimana kalau dia membenciku karena itu?
Bagaimana kalau...
JEDUG! BRUK!
“AAWW!”
“OH MY GOD. OH SHIT. SORI SORI! PA, NGGAK LIHAT!”
“Keane! NO TEXT AND DRIVE!”
“OH MY GOD. SORI BANGET. PAPA COBA KELUAR DULU! OH MY GOD! AKU NGGAK LIAT KIRAIN NGGAK ADA ORANG!”
Aku mendengar suara pintu mobil terbuka.
Aku mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahku.
“Rei?”
“Aw, eh, walaikumsalam, eh, assalamualaikum, Om Agung, ahahahaha...”
“Kamu nggak apa-apa Rei? Kamu bisa berdiri? KEANE! SINI BANTUIN!”
F**k,
Nggak gini juga sih ketemunya.
F**k.
F**k.
“KEANE!”
“IYA, IYA! OH MY GOD!”
Aku mendengar suara mesin mobil dimatikan.
Aku mendengar suara pintu mobil terbuka.
Aku bisa mendengar suara degup jantungku.
“DIA MASIH HIDUP KAN..... Pa....”
Mata kami bertemu sebelum akhirnya aku mengeluarkan tawa parau yang sangat canggung. Tak ada kata “Hai.” Tak ada sapaan basa-basi. Tak ada yang keluar dari mulutku kecuali tawa aneh itu. Tapi mendengar suara teriakan itu, aku merasa sedikit lega. Nggak, nggak sedikit. Aku merasa sangat lega. Dia masih Keane yang sama. Yang berisik. Yang doyan teriak. Yang selalu heboh dan bereaksi berlebihan.
Tapi apakah dia Keane yang masih sendiri?
- the end -






doelgenuk dan 9 lainnya memberi reputasi
10
2.8K
12


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan