Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

irummmAvatar border
TS
irummm
Jalan Hidayahku



Manusia bebas memilih dengan siapa dia akan berdampingan, tapi Allah yang Maha menentukan dengan siapa kita akan disandingkan.

Seperti itulah yang terjadi dalam hidupku. Bayangan indah tentang rumah tangga yang dibangun dengan cinta dan keyakinan yang sama harus kandas dengan yang namanya "Takdir Tuhan".

Adalah aku, seorang gadis yang baru saja menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di sebuah kampung yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan orang kota. Walau sebenarnya sekolah di daerah perkotaan, tapi tak membuatku lantas mengikuti jejak teman-teman yang lebih suka berfoya-foya menghamburkan uang jajan yang mereka peroleh dari orang tuanya. Tak jarang mereka berbohong tentang uang sekolah demi bisa nonton dan berbelanja.


"Eh, Nda kamu gak pingin apa, kayak kita ngemall atau nonton? Jangan katrok banget dong jadi orang. Ayo ikut kita!" ucap Eko, salah satu anak kelas yang paling terkenal karena ketampanannya.

Walau ketampanan cowok itu melebihi artis Korea, tapi tidak lantas membuatnya sombong dan suka jaga image seperti cowok yang lain. Ia terkesan ramah bahkan kepeduliannya tinggi pada semua kawan.


"Nggak, ah, Ko. Kalian aja. Kasihan orang tuaku ngirim ke sekolah ini untuk belajar bukan main-main."

"Ah, kamu ini, Nda. Sekali-kali kan gak papa!"

Kalau sudah seperti itu aku hanya bisa tersenyum lalu mengalihkan pembicaraan demi kenyamanan.

***

Setelah menyelesaikan sekolah aku tak lagi meneruskan kuliah karena kedua orang tua tak memiliki biaya, aku memutuskan untuk mencari kerja. Semua tempat yang membuka lowogan kerja kudatangi dan menitipkan map merah berisi lamaran, hingga beberapa bulan kemudian salah satu perusahaan garment memanggil untuk interview.

Aku sangat bahagia karena hasil review menyatakan lolos dan akan dikerjakan pada bagian kasir. Kebetulan perusahaan itu baru buka jadi tidak begitu memusingkan jurusan asalkan bisa sesuai dengan kemampuan saja. Beruntung aku bisa komputer, jadi sang pemilik memilihku mengisi posisi itu.


Ke esokan harinya aku bangun sangat pagi, sengaja merahasiakan tentang pekerjaan yang kudapatkan pada orang tua agar menjadi kejutan.
Setelah membereskan seluruh kamar aku langsung mandi kemudian berpamitan pada ibu.

"Pagi-pagi begini mau ke mana, Nduk?" tanya ibu heran.

Aku pun menceritakan pada perempuan yang sudah banyak mengeluarkan air mata karena penderitaan hidup kami ini, tentang pekerjaan baruku di sebuah perusahaan. Walau gajinya masih kecil tapi bisa membantu meringankan beban mereka.

Mata tua itu berbinar mendengarkan ceritaku. Kulihat di sudut netra itu menggenang air mata kebahagiaan. Senyum mengembang di bibirnya yang pucat akibat tak pernah mengenal sapuan lipstik.

Aku segera berpamitan karena hari ini adalah pertama masuk kerja. Aku gak ingin terlambat datang. Di angan terbayang sebuah kebaya baru untuk ibu dan kemeja untuk ayah saat gajian nanti.

Hari pertama kerja kulalui dengan baik dan menyenangkan. Teman kerja semua orang yang baik, ramah dan tak ada yang berlaku arogan. Dari sekian teman ada seorang lelaki yang sejak perkenalan tadi terlihat sering memperhatikan dan mencuri pandang ke arahku.

Aku tersenyum saat mata kami bertumbukan, terlihat ia sangat kikuk mengetahui aku merasa ia perhatikan. Dia adalah Raka, lelaki muda berbadan sedang dengan tinggi sekitar 160 cm. Matanya yang sipit seperti warga keturunan terlihat menggemaskan saat sedang tertawa.

"Pulang ke mana?" pertanyaannya mengagetkanku. Rupanya aku terlalu asyik dengan komputer hingga tak menyadari Raka telah berdiri di depan meja.

"Eh, ya ke rumahlah, masa ke mana?" jawabku pelan.

Lelaki itu nampak sangat ramah. Ia menawarkan tumpangan saat kujawab naik angkutan umum pulang nanti. Aku menolak pelan, selain kami baru kenal, juga tak mau ada teman yang salah paham. Namun lelaki itu tetap ngotot mau mengantarkan.

Hampir sebulan sudah aku bekerja di tempat ini. Selama itu pula aku semakin dekat dengan Raka. Setiap berangkat maupun pulang kerja, lelaki itu selalu menyempatkan menjemput dan mengantarkan.

Awalnya tak ada perasaan apapun padanya. Namun, di sore itu ketika kami berboncengan berdua saat hendak pulang ke rumah, Raka menghentikan laju motornya, kemudian menepikan di bawah pohon yang rindang.

"Kok berhenti di sini?" tanyaku heran.

"Sengaja. Kita mampir taman bentar, yuk. Nggak kesorean 'kan?" tanyanya.

Aku pun mengangguk begitu saja. Lagian sudah lama sekali aku tak memanjakan ke dua mataku dengan melihat aneka bunga.

Ia pun kembali memacu motor ke arah taman. Tak butuh waktu lama untuk sampai. Selesai memarkirkan motornya kami berjalan beriringan di jalan paving merah yang ada di pinggir taman.

"Nda, boleh aku bicara sesuatu?"
Pertanyaan Raka tiba-tiba membuatku gugup dan tercengang beberapa waktu.

"Eh, i-iya. Ngomong aja."

Tiba-tiba ia meraih kedua tanganku, spontan aku menepiskan karena rasa gugup yang tak karuan. Baru pertama kalinya ada seorang lelaki yang berani menyentuh tangan ini tanpa izin.

"Maaf, Nda. Sejak pertama kali bertemu kamu, rasanya aku tak dapat lagi memungkiri perasaanku. Aku jatuh cinta padamu," kata terakhirnya membuatku menoleh ke sisi kanan-kiri. Kuputar mata melihat sekeliling taman sekedar mengurangi rasa nerves.

"Apa kamu bilang, Ka? Apa yang membuatmu jatuh cinta pada gadis jelek dan miskin kayak aku?"

Quote:


Aku hanya diam tak menjawab, benar-benar bingung menyikapi perasaannya. Aku takut jatuh cinta. Beruntung Raka tak memaksakan jawabannya. Ia hanya ingin jujur pada diri dan perasaannya. Sedangkan aku?

Hari-hari kami setelah momen tak terlupakan di taman itu tak lantas membuat canggung. Walau tak memberi jawaban secara langsung, tapi dari perhatian dan perlakuan manjaku padanya seolah menegaskan bahwa diriku pun sebetulnya merasakan hal yang sama. Hanya saja tak berani jujur agar tak kecewa nantinya.

"Makan, yuk!" ajak Raka saat jam istirahat tiba. Dan aku langsung mengiyakan karena memang cacing dalam perut sudah meminta haknya.

"Nda, diperhatiin mulu ma cowok di ujung,tuh! Kamu kenal?" tanya Raka dengan nada tak senang.

"Siapa? Ah ... paling juga lihat yang lainnya. Atau jangan-jangan kamu cemburu, ya?" jawabku cuek sambil meledek.

"Ya cemburulah. Sampai sekarang aja belum dapat jawaban masa dah mau diembat orang."

Aku menelan ludah mendengar jawaban Raka yang seolah menodong jawaban atas pertanyaannya yang belum keluar dari mulutku sampai saat ini.

"Maaf, Ka aku belum bisa." Kepalaku menunduk. Kuletakkan sendok di piring. Tenggorokanku rasanya tak bisa menelan makanan lagi.

"Udah santai aja. Ayo lanjut makannya. Aku udah seneng kok kita bisa begini terus meski tak kan pernah dapat jawaban. Atau, gimana kalau aku langsung lamar kamu aja?"

"Uhuk ...." Seketika gelas yang menempel di bibirku langsung menyembur isinya.

Pipiku terasa memanas tak menyangka Raka akan mengatakan hal di luar dugaan walau aku tahu dia sedang bercanda.


(Sumber gambar : Canva)

Sudah hampir enam bulan hubunganku dengan Raka--tepatnya hubungan tanpa status--berjalan mesra. Kami saling menunjukan perhatian dan kepedulian satu dengan yang lain. Benar-benar ia lelaki yang sangat baik, setiap hari menjadi kawan dan penghibur yang selalu ada.

Walau sebenarnya tak tega telah menggantungnya dengan hubungan ini, tapi aku tetap tak bisa mengungkapkan jawaban. Dalam hati terdalam aku bisa merasakan kalau dia akan mendapatkan perempuan yang lebih baik dariku.

Benar saja perasaanku selama ini. Pagi itu sebelum aku berangkat ke kantor, ada seorang mengetok pintuku. Saat itu ibu sudah pergi ke sawah bersama ayah, jadi hanya aku yang tinggal.

Segera beranjak ke depan untuk membukakan pintu dan melihat siapa yang datang. Kalau Raka gak mungkin sebab ia selalu menjemputku di depan gang dan tak pernah singgah sampai di rumah.

"Maaf ibu mencari siapa?" tanyaku saat pintu sudah terbuka dan melihat seorang wanita paruh baya berdiri dengan menenteng tas kulit juga kipas lipat di tangan.

"Benar kamu gadis yang bernama Nanda?" jawabnya ketus.

"Iya, ibu siapa kok tahu nama saya?"

"Aku ibunya Raka. Sudah gak usah pake basa-basi. Saya ke sini hanya mau bilang kalau Raka--anak saya--akan dijodohkan dengan gadis dari keluarga berada."

Jawaban ibu yang masih tetap di posisi semula seolah menjadi pedang yang menancap persis di bilik dada sebelah kiriku.

"Maksud ibu--?"

"Ya, maksud saya jauhi Raka. Jangan manfaatin kebaikan dia karena sebentar lagi ia akan jadi suami calon menantu saya!"

Setelah berkata seperti itu, ibu tadi membalikan tubuh. Kipas lipat yang ada dalam genggamannya ia mekarkan bergerak mengibarkan rambut ikal sebahunya, lalu berjalan menjauh.

Aku hanya bisa terdiam menatap punggungnya yang hilang tertelan pagar. Benar- benar tak percaya dengan yang baru saja aku dengar. Sendi tulangku serasa lunglai tak berdaya. Di saat itulah alarm ponsel tanda waktunya berangkat kerja berbunyi mengagetkan.

Cepat-cepat aku bersiap ke kantor. Hari ini aku akan berangkat lebih awal agar tak bertemu Raka di gang depan. Selesai berkemas, tanganku langsung menyambar tas yang masih tergeletak di atas meja. Segera berjalan cepat ke gang depan untuk mencari angkot.

Tak berapa lama angkot yang kutunggu sudah datang sehingga tak perlu menumpang Raka kali ini. Di atas angkot mataku terasa panas. Lelehan bening mengalir tanpa sadar. Segera kuseka agar tak menimbulkan perhatian di antara penumpang yang lain. Dada serasa terhimpit beban puluhan kwintal.

"Kenapa aku harus sakit hati? Kenapa harus kecewa? Kenapa harus menangis? Toh selama ini Raka bukan pacar? Bukan apa-apaku?" Segala macam pertanyaan timbul-tenggelam dalam pikiran. Semakin aku tak ingin memikirkan, semakin sakit himpitan di dada.

Sampai di kantor keadaan masih sepi. Hanya ada seorang office boy yang terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Aku langsung duduk di balik kursi dan menumpahkan semua air mata dengan menempelkan muka di meja ditopang kedua lengan.

"Hei, Nda kenapa kamu tak menunggu aku? Bingung tadi nungguin lama di gang," suara itu menghentikan tangisku.

Kuangkat muka untuk melihat ke arah pemilik suara itu.

"Nanda kamu nangis? Ada apa, siapa yang sudah menyakitimu?" cecarnya terlihat khawatir.

"Aku sendiri yang sudah menyakitiku, Ka. Kamu gak usah khawatir. Mulai hari ini biarkan aku pulang dan pergi sendiri, kamu gak perlu repot antar dan jemput lagi, ya!" ucapku sendu. Raka masih menatap penuh keheranan.

"Ada apa sebenarnya? Ayo cerita, Nda!" desaknya.

"Semoga kamu bahagia dengan pilihan ibumu, Ka!" Kugigit bibir bawah agar kuat mengucapkan itu.

Hari ini juga aku sudah berniat ingin mengundurkan diri dari perusahaan semata hanya ingin agar Raka bisa melupakan diriku dan tak membuat lukaku semakin dalam.

Setelah jam pulang aku menghadap boss dan menyerahkan surat pengunduran diri. Awalnya ia tak mengijinkanku keluar, karena ia menduga bahwa ini hanya emosi sesaat saja, tapi karena kuyakinkan akhirnya dengan berat hati izin pun aku dapatkan.

Sesampai di rumah aku langsung menemui ibu dan ayah. Kuceritakan kalau sudah mengundurkan diri dari pekerjaan dan berniat akan pergi ke kota mencari pekerjaan. Ibu terlihat sangat terpukul mendengar pengakuanku. Bagaimana pun aku anak perempuan satu-satunya yang mereka punya. Namun, keputusanku sudah bulat.

Aku tak mau menunggu waktu lebih lama. Paginya aku langsung pergi ke kota, meninggalkan ke dua orang tua yang sudah tua dan semua perasaan yang pernah tertanam pada seseorang, tapi tak pernah aku ungkapkan.

Quote:


Sesampai di kota aku langsung menemui sahabat yang sudah kutelepon sebelumnya. Selama satu minggu aku menumpang di tempat kosnya sambil mencari pekerjaan. Tuhan memang sayang padaku. Di hari ke-8 aku dipanggil kerja oleh sebuah perusahaan yang bergerak di bidang retail. Aku diterima kerja sebagai kasir di sana berdasar pengalaman kerja. Semuanya berjalan tanpa ada hambatan apapun. Aku masih menumpang di tempat temanku dan berjanji jika sudah menerima gaji akan segera mencari kost sendiri.

Selama di kos teman itu aku sering memperhatikan kesehariannya. Beribadah dengan tekun juga membaca ayat suci alquran dengan suara indah. Entah kenapa, setiap Indah--temanku--membaca ayat suci itu hatiku berdesir kencang. Seperti ada kekuatan yang sedang menghantar rasa damai dan tenang ke seluruh jiwa. Bahkan kalau Indah tak mengaji aku selalu memintanya membaca.

Indah tersenyum mendengar keinginanku setiap menyuruhnya mengaji di dekatku.

"Alhamdulilah sepertinya kamu dapat hidayah, Nda. Awalnya dulu aku sungkan mau ngaji di hadapanmu karena kita berbeda keyakinan."

"Hidayah, apa itu?" tanyaku cepat.

"Petunjuk. Ya ... semacam petunjuk dari Allah untuk hamba yang dipilih-Nya!" jawab Indah tegas. Sepertinya ia ingin mencari kebenaran atas jawabannya.

"Benarkah?" jawabku singkat dan dijawab dengan anggukan kecilnya.

"Kenapa aku yang dipilih?" tanyaku lagi.

"Karena Allah melihatmu layak untuk dipilih! Apa kamu merasa senang kalau dengar aku mengaji?" tanya Indah kemudian.

Aku hanya mengangguk pelan. Senyum Indah semakin lebar menghias bibirnya yang tipis.

"Alhamdulilah, dengarkan terus Nda agar hatimu semakin menemukan kedamaian. Kalau kamu ingin mengetahui artinya, silakan pinjam dan baca terjemahannya." Indah menyodorkan Alquran bersampul kuning emas itu.

Semua berjalan tanpa aku bisa merencanakan dan mengendalikan. Segalanya seperti kebetulan dan sudah ada yang mengaturnya. Tak lama aku bekerja, ada seorang lelaki teman Indah yang diam-diam menaruh perasaan. Lewat Indah ia selalu menitipkan salam. Kata Indah, Irwan nama lelaki itu sering menanyakan tentang aku. Hingga akhirnya ia pun meminta izin untuk bertemu denganku.

Karena Indah meyakinkan kalau ia orang baik, akhirnya aku mau menemuinya ditemani sahabatku itu di sebuah rumah makan. Tak kusangka ia adalah lelaki berpostur tinggi dengan wajah yang bersih dan bersinar. Aura menenangkan tepancar dari mukanya. Seketika aku merasakan getaran halus di dalam hati. Entah apa, tak bisa memaknainya.

Ia tak banyak bicara seperti lelaki pada umumnya. Sikapnya lembut penuh simpati. Sekali-kali saja ia menanyakan tentangku yang kujawab dengan nada kikuk.

Sepulang dari pertemuan itu, wajah Irwan berlalu-lalang dalam pikiranku. Kucoba menepiskan, tapi selalu gagal.

"Heh, bengong aja. Melamunin Irwan, ya?" Goda Indah saat memergoki aku sedang melamun.

"Ye ... apa-an?" jawabku mengilah.

"Eh, tapi dia cakep 'kan? Gimana, mau dipepetin aja, nih?" Goda Indah lagi.

"Dih ... pepetin tembok maksudnya?"

"Pepetin orangnyalah, Nda. Dia naksir kamu, tuh!" Mata Indah dikedip-kedipkan.

"Busyet ... baru juga ketemu."

"Namanya juga cinta pada pandangan pertama. Cie ... cie, udah jadian aja!" imbuh Indah.

Aku terdiam mendengar candaan Indah. Apa mungkin yang kurasakan ini juga cinta? Semudah dan secepat itukah datangnya?

"Tapi, In. Bagaimana dengan keyakinan kami yang berbeda? Apa gak akan jadi penghambat?" tanyaku ragu.

"Ia akan dengan senang hati membimbingmu di jalan Allah kalau kau tak keberatan mengikuti jalannya. Dan di kamusnya tak ada istilah pacaran, tapi menikah. Ingat itu!"

"What?" Aku membelalakkan mata.

"Begitulah. Ia tak mau pakai pacaran kayak ABG segala. Kalau kamu menerima perasaannya maka ia akan langsung memintamu pada keluarga!" jawab Indah antusias.

"Gila ... yakin kamu? Terus kalau nanti ada apa-apa setelah nikah gimana? Rugi dong aku gak ada komitmen dulu!"

"Nanti kamu bakal paham dengan sendirinya kalau sudah mengenalnya sangat dekat."

Kukatupkan kedua telapak tanganku menutupi mulut dengan dua jari menjepit hidung.

"Pikirkan masak-masak dulu, Nda. Jangan sampai menyesal di belakang harinya. Sebagai sahabat aku hanya meyakinkan kalau Irwan itu lelaki yang sangat baik dan sabar."

Seketika pikiranku melayang pada sosok Raka yang juga baik dan penyabar, tapi aku tinggalkan begitu saja tanpa alasan.
"Ah, apa kabar kamu sekarang Raka?"

**

Setelah menerima gaji pertama aku benar-benar menepati janji. Segera aku pindah ke tempat kost yang baru. Letaknya tak jauh dari tempat Indah. Jadi kami bisa selalu bertemu.

"Dapat salam dari Irwan. Katanya mau main ke kost barumu. Boleh?" tanya Indah suatu sore.

"Baiklah. Sebagai kawan yang baik aku gak akan menolak," ucapku serius.

"Nah, gitu dong. Biar kutelepon dia."

Benar saja, malam hari selepas Isya lelaki itu datang dengan menaiki mobil sedan warna merah. Penampilannya sangat berbeda saat pertemuan kami beberapa hari lalu. Malam ini ia nampak sangat elegan dengan kemeja panjang warna cream yang dilinting lengannya hingga siku.

Indah yang sedari tadi menemani, senyum-senyum menggoda yang membuat aku semakin salah tingkah.

"Cie yang diapeli bidadara!" ucapnya sambil mengedipkan mata manja.

"Assalamualaikum semua," ucapnya dan dijawab oleh Indah yang berdiri di sampingku.

Kami duduk di teras kost dengan lampu yang temaram. Aku sangat disibukkan dengan hati yang berdetak kencang. Semoga mereka berdua tak mendengar degup ini, Tuhan.

"Apa kabar, Nda?" ucapan lembutnya membuatku tak berdaya.

"Ba-baik." jawabku terbata. Indah hanya melirik ke arahku sambil tertawa ringan membuat wajahku panas semua.

"Oya, Nda kata Indah kamu senang belajar tentang islam?" tanyanya kemudian yang kujawab dengan anggukan.

"Alhamdulilah. Itu gak kebetulan, lho!" ucapnya lagi.

"Maksudnya?" tanyaku terperangah.

"Ya selain hidayah, barangkali Allah telah menyiapkan kejutan." jawab lelaki itu kalem.

"Kejutan apa, ya?" tanyaku sambil melirik ke arah Indah. Gadis itu hanya mengangkat bahu.

"Nanda, bolehkah aku menjadikan kamu istriku?"

Pertanyaan Irwan seperti butiran es yang jatuh dari langit mengenai kepalaku. Sakit tiba-tiba dan membuatku merasakan dingin semua. Tangan tiba-tiba seperti menggenggam es batu saking dinginnya.

"Jangan bercanda!" jawabku terbata.

"Apa aku seperti orang sedang bercanda? Tidak kan? Kalau gak percaya tanya aja ke Indah!" Yang dijawab dengan senyum semringah gadis itu.

"Ta-tapi--"

"Aku tahu banyak yang jadi pertimbanganmu, Nda. Tapi aku yakin kalau kamu jodoh yang Allah kirimkan untukku," ucapnya sangat percaya diri.

"Aku gak akan memaksamu. Pikirkan dulu saja!" ucapnya kemudian.

Setelah agak lama kami mengobrol, ia pun berpamitan. Namun baru saja ia berdiri dan hendak meninggalkan teras,

"Irwan, aku mau!" jawabku.

Mulut Indah membentuk huruf O sempurna yang langsung ia tutup dengan kedua telapak tangannya.

"Kamu serius, Nda dengan jawabanmu? Tak butuh waktu berpikir dulu?" tanya lelaki yang juga nampak kaget itu sambil memandang ke arahku.

"Tidak perlu. Kalau kamu yakin aku adalah jodohmu maka aku pun juga yakin!" jawabku mantap.

***

Tak butuh waktu lama untuk menyiapkan segalanya. Setelah ia datang ke orang tuaku untuk meminang, kami segera menyiapkan semua keperluan untuk pernikahan. Ayah-ibu tak keberatan kalau aku harus berpindah keyakinan mengikuti suami nantinya.

"Yang terpenting kamu bisa mempertanggung jawabkan keyakinan dan hidupmu, Nduk. Berjalanlah di atas keyakinan yang baru dengan mematuhi semua ajaran-Nya," pesan ayah saat aku meminta restunya.

Hari pernikahanku pun telah tiba. Dengan air mata yang berlinang aku memeluk tubuh ringkih ibu. Kuciumi tangan dan kedua pipinya sebelum akad nikah digelar dengan wali hakim yang menikahkan.

"Ashadu alla ilaha ilallah wa ashaduanna muhammadarasulullah," ucapku menirukan suami yang menuntunku ke jalan-Nya sebelum kami mengucapkan sumpah di hadapan penghulu.

Allah Maha membolak-mbalikkan hati. Semua berjalan sesuai takdirnya tanpa kita bisa melawan sedikit pun.


~ end ~


Jember, 21052019
Diubah oleh irummm 21-05-2019 23:56
fafaridhidayat
KnightDruid
anasabila
anasabila dan 21 lainnya memberi reputasi
22
4.9K
76
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan